Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat
Keseluruhan tersebut memiliki kaitan dalam hubungan ketergantungan satu sama lain. Uraian tersebut dapat disimpulkan oleh Arief 2001 bahwa hutan dituntut
untuk mampu menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua makhluk hidup di dalamnya, menjadi gudang
penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi tanah dan erosi, menghasilkan sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sumber hasil hutan
ikutan bagi penduduk setempat, tempat wisata alam, dan terutama untuk kepentingan penelitian.
Sedangkan Djajapertjunda 1959, diacu dalam Ernawati 1995 memberikan pengertian hutan rakyat sebagai tanaman pohon-pohonan kayu
tahunan dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang memiliki
fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Selanjutnya Lestarini 1991 mengemukakan bahwa dari segi pengelolaannya hutan rakyat sama dengan kebun
rakyat atau agrohutani yang merupakan sistem tata guna lahan permanen dengan dicirikan unsur tanaman semusim dan tanaman tahunan.
Miniarti 2007 menyebutkan bahwa esensi dari hutan rakyat itu sendiri adalah suatu bentuk hutan yang pengelolaannya berbasis rakyat, yakni rakyat
memiliki wewenang penuh dalam pengelolannya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, sehingga masyarakat dapat mandiri dan dapat mengambil
manfaatnya dalam upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Awang et al. 2001 yang mengatakan bahwa
pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal dan lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara.
Penelitian Hardjanto, diacu dalam Suharjito 2000 mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri. Dalam hal
ini petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2.
Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai
pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih 10 dari pendapatan total.
Secara fisik, hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di
lapangan. Menurut Suharjito 2000, keberagaman pola tanam struktur dan komposisi jenis tanaman hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya
masyarakat. Umumnya, pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu: murni monokultur dan campuran
polyculture. 1.
Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan
diusahakan secara homogen monokultur. Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu: lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan, dan
pengawasannya. Menurut Hardjanto, diacu dalam Suharjito 2000, upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan jenis ini karena pada sistem ini
lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2.
Hutan Rakyat Campuran a.
Hutan Rakyat Campuran polyculture dengan 2-5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Dari segi silvikultur cara
ini lebih baik dibandingkan jenis monokultur, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis, dan dari segi
ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya
memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.
b. Hutan Rakyat Campuran dengan Sistem AgroforestryWanatani. Pola ini
merupakan kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya, yaitu: perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya secara terpadu. Pola ini
berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekonomis maupun ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan
dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis.
Sedangkan Rahmawaty 2004, diacu dalam Hudiyani 2010 menyebutkan tiga pola hutan rakyat yang dikenal dalam pengembangan hutan
rakyat, sebagai berikut: 1.
Pola swadaya, hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu
sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan
teknis kehutanan. 2.
Pola subsidi, hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya,
atau bantuan lainnya atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
3. Pola kemitraan Kredit Usaha Hutan Rakyat, hutan rakyat yang dibangun atas
kerjasama masyarakat dan perusahaan dengan insentif permodalan berupa kredit kepada masyarakat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan
kerjasama ini adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai
dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat.