BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jumlah penduduk yang semakin meningkat mendorong semakin banyak perkembangan industri perkayuan, sehingga kebutuhan pasokan bahan baku kayu
pun semakin meningkat. Pemenuhan bahan baku tersebut dapat berasal dari izin pemanfaatan kayu baik dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hasil pembukaan
lahan. Namun, persediaan bahan baku kayu masih belum mencukupi. Disebutkan oleh Subarudi et al. 2000, diacu dalam Suryandari dan Puspitojati 2003 bahwa
kebutuhan pasokan bahan baku kayu adalah sebesar 63,48 juta m
3
th. Sedangkan pasokan bahan baku kayu yang tersedia menurut Anonim 2001 hanya sebesar
33,5 juta m
3
th yang merupakan sumbangan pasokan dari hutan alam sebesar 22,5 juta m
3
th, hutan tanaman sebesar 3,5 juta m
3
th, dan hasil pembukaan lahan sebesar 7,5 juta m
3
th. Hal ini menunjukkan masih terdapat kekurangan pasokan bahan baku kayu sebesar 29,98 juta m
3
th. Berdasarkan hal tersebut, maka pembangunan hutan rakyat memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
guna turut serta memberikan sumbangan pasokan bahan baku kayu yang belum terpenuhi selama ini.
Di sisi lain, kebiasaan petani yang menerapkan sistem tebang butuh pada hutan rakyat miliknya membuat kepastian jadwal dan volume produksi tidak dapat
ditentukan, sehingga berimplikasi pada ketidakpastian pengadaan bahan baku industri. Hal ini akan mengganggu rencana produksi atau kontrak dalam penjualan
industri. Harrison 2000, diacu dalam Daniyati 2009 menyebutkan bahwa pada kenyataannya permintaan kayu oleh industri perkayuan banyak beralih ke hutan
tanaman yang diusahakan pada skala besar. Oleh karena itu, perlu suatu perbaikan manajemen agar hutan rakyat dapat mengikuti budaya bisnis yang memerlukan
pengaturan dan kepastian dalam pengelolaan, salah satunya melalui pengaturan hasil.
Pengaturan hasil itu sendiri dapat berjalan lancar apabila diarahkan menjadi pengelolaan berkelompok dan berlembaga yang akan menjadi suatu unit
manajemen hutan rakyat. Harapannya pengelolaan dengan cara ini mampu
menjamin kelestarian sumberdaya alam baik untuk kepentingan pemilik hutan rakyat maupun kepentingan lingkungan sekitar Awang 2007. Namun, yang lebih
berinteraksi langsung dengan para petani hutan rakyat adalah unit kelestarian hutan rakyat. Tingkat kelestarian dalam unit tersebut harus terjaga, salah satunya
dengan cara tidak diperkenankan terjadi penebangan yang berlebih. Gabungan dari beberapa unit kelestarian ini akan membentuk suatu unit manajemen hutan
rakyat yang satuannya bisa saja per desa ataupun per kabupaten. Dalam hal ini, penulis ingin meneliti kesediaan para petani hutan rakyat di
Desa Sumberejo untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat. Desa Sumberejo yang berada di Kecamatan Batuwarno,
Kabupaten Wonogiri telah memperoleh sertifikasi PHBML LEI pertama kali di Pulau Jawa pada tahun 2004. Oleh karena itu, apabila unit kelestarian hutan rakyat
dapat dibentuk dan pengaturan hasil dapat diterapkan di desa ini, maka diharapkan dapat menjadi contoh dan modal motivasi bagi hutan rakyat lain untuk juga
melakukan sertifikasi. Dengan begitu, diharapkan akan semakin banyak hutan rakyat yang lestari tanpa melakukan penebangan berlebih. Selain itu, diharapkan
pula dapat menjadi modal bagi hutan rakyat untuk mengikuti budaya bisnis industri yang selalu berkembang. Untuk itu dilakukan penelitian yang berjudul
“Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri”.
1.2 Rumusan Masalah