Kesediaan Membayar TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kajian mengenai kesediaan membayar beras analog belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan topik Willingness to Pay khususnya dalam menilai manfaat dari sumberdaya lingkungan atau sumberdaya ekonomi lainnya yang memiliki intangible benefit.

2.1. Kesediaan Membayar

Willingness to Pay Perhitungan WTP biasanya dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan yaitu dengan menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husodo et al 2009, sebanyak 40 responden bersedia membayar produk organik di Kodya Yogyakarta dengan harga premium. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua responden memiliki penilaian yang sama terhadap produk organik, bahkan sebanyak 60 persen responden menolak untuk membayar. Keengganan membayar ini disebabkan karena belum adanva kesadaran akan manfaat produk organik. Selain itu, keraguan akan jaminan mutu produk organik seringkali juga menjadi faktor penyebab konsumen belum sanggup membayar produk organik dengan harga premium. Berbeda halnya dengan penelitian Daulay 2012 mengenai kesediaan konsumen untuk membayar mie instan sayur di Serambi Botani. Walaupun harga yang dipasarkan mie instan sayur sudah mahal yaitu Rp 8.000,00, namun sebanyak 48 persen responden masih bersedia membayar dengan harga tersebut, bahkan 36 persen responden bersedia membayar di atasnya. Sebagian besar responden mengaku bersedia membayar mie instan sayur karena memiliki manfaat yang tidak dapat dibandingkan dengan uang yaitu manfaat kesehatan, sehingga responden beranggapan bahwa harga mie instan sayur sepadan dengan manfaat yang diberikan. Radam et al. 2010 mengkaji kesediaan konsumen Malaysia membayar produk makanan yang berlabel “Tanpa Tambahan MSG”. Dari 200 responden, sebanyak 159 responden bersedia membayar produ k berlabel “Tanpa Tambahan MSG” karena sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa produk makanan yang berlabel tanpa MSG tidak membahayakan kesehatan dan memiliki 11 nutrisi yang lebih. Sisanya sebanyak 41 orang menyatakan tidak bersedia dan menyatakan produk tanpa MSG rasanya tidak enak. Ameriana 2006 mengkaji kesediaan konsumen membayar premium untuk tomat aman residu pestisida di Lembang, Bandung. Dari 162 responden yang diwawancara, 59,26 responden menyatakan bersedia untuk membayar premium bagi tomat aman residu pestisida. Dalam artian, seandainya harga tomat tanpa label Rp 2.000,00 per kilogram, mereka bersedia membayar lebih dari Rp 2.000,00 untuk tomat berlabel aman residu pestisida. Sedangkan sisanya sebanyak 40,74 menyatakan tidak bersedia membayar premium. Sedangkan hasil penelitian Bernard dan Mitra 2007 yang mengkaji kesediaan membayar produk eco-labelling di Amerika menunjukkan bahwa hanya 13 responden bersedia membayar 10 di atas harga premium, sedangkan sekitar 27 responden tidak bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk yang lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan belum adanya pemahaman yang baik dari konsumen mengenai perhatian terhadap lingkungan dan penggunaan produk ramah lingkungan. Dalam mengestimasi WTP konsumen untuk membayar beras berlabel rendah kalori di Tokyo, Iwamoto 2012 menggunakan metode Percobaan Pilihan Choice Experiment untuk mengevaluasi nilai setiap atribut secara individu. Metode ini selanjutnya digunakan sebagai metode analisis dalam pertimbangan beberapa atribut beras seperti atribut rendah kalori, atribut produksi asal lokal dan padi kultivar, harga, dan lain-lain. Iwamoto 2012 juga menyatakan bahwa Choice Experiment dan CVM merupakan metode analisis yang paling cocok untuk digunakan pada pengukuran nilai ekonomi dari non-market goods. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Daulay 2012. Untuk mengestimasi nilai WTP mie instan sayur, Daulay 2012 menggunakan pendekatan CVM Contingent Valuation Method. Adapun tahap-tahap yang dilakukan oleh Daulay 2012, yaitu mendapatkan penawaran besarnya nilai WTP dan memperkirakan nilai-rata-rata WTP. Tahap CVM tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Radam et al. 2010 yang membuat pasar hipotesis terlebih dahulu dimana Radam et al. 2010 menanyakan apakah responden bersedia 12 membayar jika harga produk berlabel tanpa tambahan MSG lebih tinggi RM 0,1- 0,5 dibandingkan produk yang memiliki MSG. Pasar hipotesis merupakan tahapan penting sebelum mendapatkan nilai WTP, karena dari hipotesis ini seseorang dibuat memiliki preferensi yang nantinya akan dituangkan ke dalam bentuk uang nilai WTP, berapa nilai maksimum yang bisa responden bayarkan berdasarkan hipotesis dan preferensi yang dimiliki. Untuk mendapatkan nilai lelang, Radam et al. 2010 menggunakan metode pilihan dikotomi dimana responden diberi pilihan bersedia atau tidak bersedia dengan tawaran yang diberikan. Hal ini serupa dengan metode yang digunakan Husodo et al. 2009 yang juga menggunakan teknik pilihan dikotomi. Sedangkan Daulay menggunakan metode open-ended question dalam mendapatkan nilai lelang dimana responden diberikan kebebasan dalam menyatakan nilai moneter rupiah yang ingin dibayar untuk mie instan sayur. Begitu juga dengan Ameriana 2006 menggunakan metode open-ended question dalam mendapatkan nilai WTP tomat yang berlabel aman residu. Dalam mendapatkan nilai lelang, tidak ada teknik yang superior dibandingkan dengan teknik lainnya, tergantung kepada masalah yang diteliti, serta ketersediaan sumberdaya penelitian. Setelah itu nilai lelang seluruh responden tersebut dihitung rataannya. Berdasarkan hasil yang diperoleh Daulay 2012, rataan nilai WTP responden untuk mie instan sayur adalah sebesar Rp 7.990,00. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan harga mie instan sayur yang dipasarkan yaitu Rp 8.000,00. Sedangkan Radam et al.2010 memperoleh rataan nilai WTP sebesar RM 0.43 untuk produk berlabel “Tanpa Tambahan MSG” yang mengindikasikan bahwa responden bersedia membayar dengan harga premium sebesar RM 0.43. Ameriana 2006 mendapatkan harga yang sangggup dibayar konsumen untuk tomat aman residu pestisida adalah berkisar antara Rp 2.250-Rp 6.000 per kilogram atau sekitar 12,50 sampai 200 lebih mahal dari harga tomat tanpa label. Tetapi dari sebarannya, harga premium yang paling banyak disanggupi oleh responden berkisar antara Rp 2.500-Rp 3.000 per kilogram 81,24. Untuk tahap selanjutnya perlu dibuat kurva lelang sehingga bisa menggambarkan kesediaan konsumen yang ingin membayar terhadap suatu produk, dan rataan WTP tersebut 13 harus diagregatkan dengan mengonversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan.

2.2. Faktor-Faktor Kesediaan Membayar