55 pengambil keputusan dalam konsumsi rumah tangga, terutama pangan pokok.
Daulay 2012 menyatakan bahwa perempuan lebih memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi keluarga dan pengambil keputusan dalam
pembelian mie instan sayur di Serambi Botani dibanding laki-laki. Selanjutnya, Radam et al. 2010 juga menyatakan bahwa perempuan lebih sadar kesehatan
dibandingkan dengan laki-laki saat ini. Namun, ternyata jenis kelamin tidak dapat mewakili kesediaan membayar.
Berdasarkan output hasil uji Chi-Square pada Lampiran 1. nilai Asymp. Sig 2- sided lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 0,4960,10. Maka dapat
diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kesediaan membayar beras analog. Berdasarkan pengamatan di lapang, meskipun
responden perempuan lebih bersedia membayar beras analog, namun dalam kesediaan membayarnya responden perempuan memiliki banyak pertimbangan
dan membandingkannya dengan beras-beras sehat yang lain seperti beras organik, beras merah, dan lain-lain. Berbeda dengan responden laki-laki yang mengaku
tidak akan segan-segan membayar suatu produk jika produk tersebut memang memiliki manfaat lebih. Namun, karena beras analog merupakan produk baru
yang belum dikenal masyarakat luas, membuat responden laki-laki belum memiliki gambaran mengenai beras analog baik dari segi keunggulan, manfaat
yang didapat jika mengonsumsi, maupun kualitas beras analog.
6.1.2. Hubungan antara Usia dengan Kesediaan Membayar
Responden yang bersedia membayar beras analog lebih banyak berasal dari responden dengan kalangan usia 36-50 tahun yaitu sebanyak 38 responden,
sedangkan yang tidak bersedia membayar pada kalangan usia ini adalah sebanyak 18 responden. Responden pada usia ini umumnya sudah berkeluarga dan memiliki
pendapatan sendiri sehingga bersedia membayar beras analog sesuai tingkat kemampuannya. Selain itu, konsumen pada usia ini biasanya akan lebih selektif
dalam pemilihan konsumsi pangan yang lebih sehat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk konsumsi keluarganya.
Selanjutnya, diikuti dengan responden berusia 25-35 tahun, bersedia membayar beras analog sebanyak 16 responden dan tidak bersedia membayar
sebanyak 6 responden. Kategori usia ini merupakan usia dimana responden berada
56 pada tahap dewasa lanjut dan awal pembentukan keluarga. Responden pada usia
ini mengaku tidak terlalu selektif dalam pemilihan konsumsi pangan, namun sudah mulai memperhatikan pangan yang lebih sehat untuk keluarga. Sebanyak
13 responden berusia 51-65 tahun bersedia membayar beras analog, 4 responden tidak bersedia. Pada usia yang sudah tergolong tua dan cenderung tidak produktif
ini, umumnya persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil pula. Responden berusia 16-18 tahun dan 19-24 tahun memiliki jumlah yang
sama yaitu sebanyak 2 responden bersedia membayar beras analog, 1 responden tidak bersedia membayar beras analog. Hal ini mengindikasikan bahwa beras
analog tidak terlalu diminati oleh kalangan remaja lanjut dan dewasa awal, karena dalam keputusan konsumsinya mereka memiliki orangtua yang memiliki andil
lebih besar. Hanya terdapat 1 responden yang berusia lebih dari 65 tahun yang bersedia membayar beras analog. Meskipun beras analog sangat baik dikonsumsi
oleh kalangan usia lanjut, namun karena responden pada usia ini kemampuan fisik seseorang cenderung sudah sangat menurun sehingga orang tersebut akan
menurun mobilitasnya untuk mengunjungi Serambi Botani. Nilai Asymp.Sig.2-sided pada Pearson Chi-Square pada karakteristik
responden berdasarkan usia menunjukkan angka 0.982 yang berarti lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 0,9820,10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara karakteristik usia dengan kesediaan membayar beras analog, karena beras analog merupakan produk pangan pokok yang memiliki
manfaat kesehatan yang dibutuhkan oleh berbagai kalangan usia.
6.1.3. Hubungan antara Status Pernikahan dengan Kesediaan Membayar