Setelah  penemuan  gambar  bergerak  oleh  Muybridge,  inovasi  kamera mulai  berkembang  ketika  Thomas  Alfa  Edison  mengembangkan  fungsi
kamera  gambar  biasa  menjadi  kamera  yang  mampu  merekam  gambar  gerak pada tahun 1888, sehingga kamera mulai bisa merekam objek  yang bergerak
secara  dinamis.  Maka  dimulailah  era  baru  sinematografi,  yakni  sebuah  alat yang  secara  bersamaan  dapat  memfoto  dan  memproyeksikan  gambar  yang
ditandai dengan diciptakannya sejenis film dokumenter singkat oleh  Lumière Bersaudara.
Film  yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di Boulevard  des  Capucines,  Paris,  Prancis  dengan  judul  Workers  Leaving  the
Lumières Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian ditetapkan
sebagai hari lahirnya sinematografi. Pada  awal  lahirnya  film,  memang  tampak  belum  ada  tujuan  dan  alur
cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh oleh ranah industri,  mulailah  film  dibuat  lebih  terkonsep,  memiliki  alur  dan  cerita  yang
jelas.  Meskipun  pada  era  baru  dunia  film  gambarnya  masih  tidak  berwarna alias hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio. Ketika itu, saat orang-
orang  tengah  menyaksikan  pemutaran  sebuah  film,  akan  ada  pemain  musik yang  mengiringi  secara  langsung  gambar  gerak  yang  ditampilkan  di  layar
sebagai efek suara. Kemudian,  film  bicara  yang  pertama  muncul  pada  tahun  1927  di
Broadway,  Amerika  Serikat,  meskipun  dalam  keadaan  belum  sempurna sebagaimana dicita-citakan. Baru pada tahun 1935 film bicara boleh dikatakan
mencapai  kesempurnaan.  Waktu  pemutarannya  cukup  lama  dan  ceritanya
panjang, karena film pada masa itu banyak yang berdasarkan novel dari buku dan disajikan dengan teknik yang baik.
Diawali  pada  tahun  1945  film  mengalami  kemerosotan  yang  cukup tajam. Hal ini disebabkan karena munculnya televisi.
18
Pada tahun-tahun sejak rumah-rumah penduduk terdapat pesawat televisi, film telah surut peminatnya.
Amerika  Serikat  mengalami  kemerosotan  jumlah  pengunjung  sampai  lebih dari setengahnya. Demikian pula dengan negara-negara lain.
Lalu,  pada  tahun  1952  Fred  Waller  memperkenalkan  sistem “Cinerama”. Layarnya yang enam kali lebih besar dari layar yang biasa, tidak
bisa  digunakan  secara  umum  karena  mahalnya  biaya  dan  karena  kesukaran teknik  dalam  pemutarannya  di  gedung-gedung  bioskop.  Penelitian  pun
dilanjutkan. Pada tahu n 1953 sistem “tiga dimensi” ditemukan. Penonton tidak
hanya melihat gambar yang rata seperti biasanya, melainkan menonjol ke luar, seolah-olah apa yang disaksikan itu adalah kenyataan. Akan tetapi, sistem ini
pun  mengalami  kesukaran  teknik  sehingga  tidak  dapat  dengan  mudah disajikan kepada publik.
Kemudian,  pada  tahun  1953  publik  yang  sekian  lama  terpesona  oleh TV  berhasil  ditarik  kembali  ke  gedung-gedung  bioskop.  Hal  itu  disebabkan
penemuan “Cinemascope” oleh perusahaan film 20th Century Fox. Layarnya yang lebar yang meskipun tidak menandingi Cinerama, tetapi dapat disajikan
kepada  publik.  Publik  menyambut  dengan  antusias.  Hal  itu  ditandingi perusahaan  film  Paramount,  dengan  memperkenalkan  sistem  Vista  Vision
dengan  sukses  pula.  Layar  untuk  Vista  Vision  tidak  selebar  layar  untuk
18
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 126.
Cinemascope , tetapi layarnya dapat menampilkan gambar-gambar yang tajam
dan dapat memuaskan penonton.
19
5. Film sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa yang ditujukan  kepada  sejumlah  khalayak  yang  besar.  Proses  komunikasi  massa
melibatkan  aspek  komunikasi  interpersonal,  komunikasi  intrapersonal, komunikasi  kelompok  dan  komunikasi  organisasi.  Teori  komunikasi  massa
umumnya  memfokuskan  pada  struktur  media,  hubungan  media  dan masyarakat,  hubungan  antar  media  dan  khalayak,  aspek  budaya  dan
komunikasi  massa,  serta  dampak  atau  hasil  komunikasi  massa  terhadap individu.
20
Littlejohn, menyatakan bahwa komunikasi massa merupakan: “The  process  whereby  media  organizations  produce  and  transmit
messages to large publics and the process by which those messages are sough, used, understood, and influences.
”
21
Komunikasi  massa,  proses  di  mana  organisasi-organisasi  media memproduksi  dan  menyampaikan  pesan-pesan  kepada  khalayak  luas  dan
proses di mana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh khalayak.
Seperti  kita  ketahui  bersama  bahwa  media  massa  seperti  surat  kabar, televisi,  film,  radio,  dan  juga  internet,  serta  proses  komunikasi  massa  peran
yang dimainkannya semakin banyak dijadikan sebagai objek studi. Gejala ini
19
Onong  Uchjana  Effendi,  Ilmu,  Teori  dan  Filsafat  Komunikasi,  Bandung:  PT.  Citra Aditya Bakti, 2007, h. 204-205.
20
Eko Harry Susanto, Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik,
Jakarta: Mitra Wacana Media penerbit, 2010, h. 9.
21
Pawito,  Penelitian  Komunikasi  Kualitatif,  Yogyakarta:  PT.  LKiS  Pelangi  Aksara, 2008, Cet. Ke-2, h. 16.
seiring  dengan  meningkatnya  peran  media  massa  itu  sendiri  sebagai  suatu institusi penting dalam masyarakat.
Media  sering  kali  berperan  sebagai  wahana  pengembangan kebudayaan,  bukan  saja  dalam  pengertian  pengembangan  bentuk  seni  dan
simbol,  tetapi  juga  dalam  pengertian  pengembangan  tata  cara,  mode,  gaya hidup  dan  norma-norma.  Media  telah  menjadi  sumber  dominan  bukan  saja
bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi  masyarakat  dan  kelompok  secara  kolektif.  Media  masa  selaku  sumber
kekuatan  alat  kontrol,  manajemen,  dan  inovasi  dalam  masyarakat  dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
Film  dinilai  sebagai  salah  satu  media  komunikasi  masa  yang  efektif. Selain  membawa  pesan  persuasi,  film  sudah  melekat  dalam  kehidupan
masyarakat modern dan dianggap sebagai sumber berita maupun hiburan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, pemanfaatan film sering kali dijadikan
sebagai  alat  propaganda.  Hal  tersebut  berkenaan  dengan  pandangan  yang menilai  bahwa  film  memiliki  jangkauan  realisme,  pengaruh  emosional,  dan
popularitas yang hebat. Upaya  membaurkan  pengembangan  pesan  dengan  hiburan  memang
sudah  lama  diterapkan  dalam  kesusastraan  dan  drama,  namun  unsur-unsur baru dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya memanipulasi
kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas.
6. Film sebagai Media Dakwah
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab “da‟wah”. mempunyai tiga huruf asal,  yaitu  dal
, „ain, dan wawu. Dari ketiga huruf asal
ini,  terbetuk  beberapa  kata  dengan  ragam  makna.  Makna-makna  tersebut  di antaranya berarti memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon,
menamakan,  menyuruh  datang,  mendorong,  menyebabkan,  mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi.
22
Dari  pengertian  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  dakwah  adalah kegiatan  yang  bersifat  menyeru,  mengajak  dan  memanggil  orang  untuk
beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syariat dan akhlak Islam.
Menurut  M.  Natsir  dalam  pemikirannya  mengenai  dakwah  Islam, memberikan  pengertian  bahwa  dakwah  Islam  merupakan  ajakan  yang  berisi
amar  ma‟ruf  nahi  munkar.  Menurutnya  ajakan  tersebut  tidak  cukup  dengan lisan, melainkan juga dengan bahasa, perbuatan dan kepribadian mulia secara
nyata.
23
Seiring  perkembangan  teknologi  komunikasi,  komunikasi  dakwah juga  memanfaatkan  penggunaan  media  modern.  Sebagaimana  komunikasi
pada  umumnya,  berdakwah  melalui  media  memiliki  keunggulan  utama  soal efisiensi  dan  efektifitas  penyebaran  pesan.  Dalam  artian,  komunikasi  yang
berhasil mencapai tujuan, mengesankan, dan mampu menghasilkan perubahan sikap  attitude  change  pada  komunikan.  Sedangkan,  pengertian  media
dakwah  sendiri  adalah  alat  yang  menjadi  perantara  penyampaian  pesan dakwah kepada mitra dakwah.
Aktifitas dakwah niscaya menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang  muslim.  Kesadaran  akan  kewajiban  berdakwah  harus  ada  pada  diri
22
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2009, cet. Ke-2, h. 6.
23
Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999, h. 80.