Gaya Bahasa Tokoh perubahan sikap
tersebut karena kemuliaan keturunan laki-laki yang kelak akan diberikan pada istrinya sehingga istri begitu memanja suami. Hamli justru beranggapan
bahwa kemuliaan keturunan akan didapat bahwa suami dapat menjalankan kewajiban yang sebenar-benarnya.
Kondisi yang salah tersebut membuat kedudukan suami lebih lemah dibanding istrinya. Suami menjadi tidak berhak untuk mengatur dan
memimpin rumah tangganya. Jika diibaratkan, suami di Padang bukan nahkoda yang memimpin ke mana kapal berlayar tapi seperti supir yang
menjalankan mobil sesuai keinginan penumpang. Seperti dalam kutipan yang diucapkan Hamli berikut.
“Menurut pendapat saya, dalam suatu keluarga, laki-laki itulah yang harus jadi pemimpin, yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya,
karena menurut bagian tubuhnya, dialah pihak yang melindungi, sedangkan anak dan istrinya, menurut keadaannya, memanglah pihak
yang harus dilindungi. Jadi, bukan istri yang harus memelihara suaminya
dan bukan pula orang lain yang harus memelihara anaknya.”
122
Di novel ini, kekuatan pengarang untuk mengkritik sistem laki-laki jemputan begitu terasa dengan tidak membuat tokoh di dalamnya menurut
dengan tradisi tersebut. Bahkan, jauh sebelum Hamli menentang adat tersebut, tokoh Sutan Bendahara yang merupakan ayah Hamli tidak mengikuti tradisi
laki-laki jemputan ketika menikahi ibu kandung Hamli. Dan, walaupun dia dijemput oleh orang tua perempuan itu, seluruh uang
dan barang-barang jemputan itu, berasal dari dirinya sendiri, yang diberikannya kepada orang tua istrinya ini, dengan maksud, supaya
perkawinannya jangan sampai melanggar adat istiadat Padang, sehingga menjadi buah tutur orang yang berbisa mulutnya, yang hendak
menghinakannya; dia sebagai seorang sutan telah merendahkan derajatnya,
karena suka
mengawini perempuan,
yang tiada
menjemputnya, perbuatan yang dipandang tiada patut dan merusak adat nenek moyang.
123
Sikap Sutan Bendahara menjadi cermin bahwa tradisi laki-laki jemputan benar-benar menjadi bentuk kritikan keras yang ingin disampaikan Marah
Rusli. Sutan Bendahara, bangsawan asli Padang yang menikahi gadis Padang
122
Ibid., h.355.
123
Ibid., h.222.
keturunan Jawa serta hidup di lingkungan yang menganut tradisi tersebut justru tidak mengikuti adat negerinya. Meskipun orang-orang akan
memandangnya sebagai laki-laki jemputan namun itu dilakukan agar tidak mendapat hukum sosial di masyarakatnya.
2. Nikah sesama suku Minangkabau
Koentjaraningrat dalam Yahya Samin dan kawan-kawan memaparkan bahwa pernikahan di Minangkabau bersifat eksogami yaitu melarang
pernikahan sesama suku karena masih bersaudara. Selain itu, pernikahan di sana juga menganut sistem endogam yaitu mengutamakan pernikahan
sekampung. Seseorang akan lebih dihormati lagi jika menikah dengan anak mamaknya saudara laki-laki ibu sehingga mempermudah pembagian harta
pusaka.
124
Sistem endogam ini merupakan salah satu kritik yang disampaikan Marah Rusli di novelnya lewat tokoh Hamli.
Sejak masih kecil, Hamli sudah dijodohkan dengan anak mamaknya. Sesuai dengan garis keturunan ibu, maka hubungan seseorang dengan anak
pamannya menjadi tidak sedarah. Perjodohan anak dengan kemenakan dilakukan untuk mempermudah pembagian harta pusaka nanti. Hanya saja
Hamli menolak dijodohkan dengan anak mamaknya meskipun biaya sekolahnya selama ini dibiayai oleh mamaknya.
“Pertama, karena perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan; sehingga anak yang
akan menjalani dan akan merasakan buruk-baik perkawinan itu seumur hidupnya, dan tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orang
tua
atau mamaknya.”
125
Meskipun dalam sebuah pernikahan melibatkan kedua keluarga, namun pada dasarnya yang menjalani adalah dua orang, suami dan istri. Anak yang
kelak akan menjadi suami atau istri sudah seharusnya tahu bagaimana calon pasangannya karena akan hidup bersama seumur hidupnya. Ketidakaktifan
anak dalam menentukan pasangannya nanti dapat diibaratkan membeli kucing dalam karung. Anak tidak dapat menentukan apakah orang tersebut layak atau
124
Yahya Samin,dkk, Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Depdikbud, 1993 h. 25
125
Marah Rusli, op. cit., h. 58.