penjaga kereta api disalahkan saat terjadi kecelakaan kereta api yang memakan banyak korban jiwa. Akibatnya, ia dipenjara beberapa bulan.
Kehidupan di penjara membuatnya menyadari kesalahannya pada ibu, kakak, dan keponakannya. Apalagi ia bukan hanya menentang
pernikahan Hamli tetapi juga berbuat jahat untuk menghancurkan pernikahan keponakannya tersebut.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan novel Memang Jodoh adalah orang ketiga mahatahu. Dalam cerita ini, pengarang hanya sebagai narator yang
menyampaikan peristiwa. Narator penggunakan nama, dia, dan ia untuk menyebutkan nama tokoh. Selain itu, narator juga mengetahui segala hal
tentang tokoh serta motivasinya dalam melakukan suatu tindakan. Hamli terdiam beberapa lamanya, seperti menimbang apa yang baik
diperbuatnya pada waktu itu. Tetapi, hatinya murung bercampur sebal mendengar putusan kaum keluarganya ini. Sampai sekian teguh mereka
terikat oleh adat negerinya sehingga mau membuang anak-anaknya, yang tak bisa mengikuti aturannya.
114
Penggunaan orang ketiga mahatahu ini menjelaskan betapa tidak sukanya pengarang terhadap kondisi sosial yang ada di dalam masyarakat
Minangkabau. Orang ketiga mahatahu membuat pengarang bebas menceritakan dengan menyelipkan sikap subjektifnya dengan mengetahui
motif para tokohnya.
6. Gaya Bahasa
Marah Rusli sering menyelipkan pantun di tengah-tengah dialog antartokoh. Memang, meskipun novel ini baru diterbitkan pada 2013, namun
sebenarnya novel ini telah dibuat sekitar tahun 60an serta ceritanya berlatar tahun 1920an. Masyarakat Minangkabau sering penggunakan pantun sebagai
bentuk penyampaikan pesan. “Ke pulau kita ke pulau
114
Ibid., h. 152.
Ke pulau menjaring udang; Bergurau kita bergurau
Bergurau bergirang- girang.”
115
Selain menggunakan pantun, diksi yang digunakan dalam novel ini memiliki makna yang berlainan jika dikaitkan dengan zaman sekarang.
Perubahan makna yang ada dalam novel ini ke arah lebih negatif atau peyorasi.
Sebagai contoh penggunaan kata “kawin”. Dalam novel ini, kata “kawin” sering diucapkan oleh Hamli yang merupakan tokoh berpendidikan.
Jika dihubungkan dengan zaman sekarang, orang-orang lebih menggunakan kata “nikah” daripada kawin. Hal yang sama terjadi pada kata “beranak”.
Kata tersebut jika dikatakan di zaman sekarang, akan terdengar kasar karena kata lain yang lebih positif adalah “melahirkan”.
“Karena pikiran yang sederhana pun dapat memikirkan, bahwa penyakit ini memang penyakit rindu kawin, niscaya ia takkan ada mulai dari
Padang ini akan takkan bertambah keras di Bogor karena sebelumnya saya berangkat ke tanah Jawa, saya telah dapat kawin di Padang ini
bahkan sepuluh kali pun, menurut kebiasaan kita di sini.”
116
B. Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli
Memang Jodoh adalah karya terakhir dari penulis Sitti Nurbaya, Marah Rusli. Novel ini diterbitkan pada 2013 atau 45 tahun setelah kematian
penulisnya. Marah Rusli sendiri yang berpesan bahwa buku ini boleh diterbitkan ketika tokoh-tokoh di dalamnya sudah meninggal agar tidak
menyakiti mereka. Memang, novel ini semacam semiautobiografi Marah Rusli yang menggunakan nama-nama lain dalam tokohnya.
Seperti yang diungkapkan Atar Semi bahwa karya sastra digunakan pengarang untuk mengungkapkan masalah kehidupan yang dialaminya.
117
Marah Rusli menggunakan Memang Jodoh sebagai pengungkapan konflik kehidupan pribadinya dengan menggunakan nama yang berbeda. Masalah
yang diangkat Marah Rusli pun seputar adat pernikahan dalam masyarakat Minangkabau yang pernah dialaminya puluhan tahun silam. Lewat tokoh
115
Ibid., h.35.
116
Ibid., h. 349.
117
M. Atar Semi, op. cit., h. 73.
Hamli, Marah Rusli mengungkapkan kegusarannya tentang adat pernikahan Minagkabau yang sebenarnya justru merugikan masyarakatnya sendiri.
Masyarakat di sana hanya memikirkaan warisan adat nenek moyang tanpa memikirkan baik buruk dari adat tersebut. Mulai dari uang mahar yang justru
diberikan pihak perempuan ke pihak laki-laki hingga kewajiban beristri banyak dan menikah harus sesama orang Minangkabau yang menyimpang
dari normalnya kehidupan. Berikut adalah hasil penjabaran mengenai kritik dalam novel Memang Jodoh.
1. Laki-laki jemputan
Menurut Amir M.S., adat Minangkabau menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau yang biasa
dikatak an “uxori local”. Sistem ini menetapkan jika dalam pernikahan,
suamilah yang harus pindah dan tinggal di kediaman istrinya meski tanpa mengubah status persukuannya. Suami dipandang sebagai pendatang atau
tamu terhormat.
118
Sistem seperti itu membuat suami menjadi pihak yang pasif. Artinya ketika terjadi pernikahan, maka yang harus dijemput dengan
uang adalah pihak laki-laki. Sistem ini menjadikan kedudukan istri lebih berkuasa atas suaminya.
“Kebangsawananku, rupaku yang tampan, kepandaian, dan pangkatku yang lumayan serta umurku yang masih muda, bukanlah semuanya itu
penarik hati yang amat kuat bagi perempuan Padang, bahwa tak boleh kukatakan, idaman ibu-ibu Padang yang punya anak gadis? Asal aku
menurutkan kebiasaan yang dilazimkan dan dimuliakan di sana, yang sebenarnya wajib pula bagi laki-laki Padang, yaitu dilamar, dikawinan
sana-sini, sebuah kebiasaan yang akan mendatangkan pujian dan
penghargaan tinggi, ....”
119
Kritik Marah Rusli ini disampaikan melalui sindirian yang diucapkan oleh tokoh Hamli. Ketika Hamli harus memilih apakah akan melanjutkan
pendidikannya di Belanda dengan biaya yang sangat mahal demi mendapatkan penghasilan lebih tinggi. Hamli bisa saja mendapatkan
118
Amir M.S., Adat Minangkabau: Pola Hidup dan Tujuan Orang Minang, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1999, h. 25.
119
Marah Rusli, op.cit., h.31.