Sinopsis Memang Jodoh Karya Marah Rusli

pemikirannya lewat pendidikan, akan memilih meninggalkan negerinya karena tidak mau terikat dengan adat yang menyusahkan itu. Hingga akhirnya, yang tersisa di Padang adalah orang-orang tua dan masyarakat yang justru tidak berpendidikan sehingga tidak akan ada yang mengolah tanah Padang lagi. 2. Alur Marah Rusli menggunakan alur campuran dalam menceritakan Memang Jodoh. Alur campuran dimulai dengan menjabarkan keadaan yang dialami tokoh utama dan dilanjutkan dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Peristiwa-peristiwa lain yang dialami tokoh juga muncul hingga diakhiri dengan selesainya konflik yang dialami tokoh utama. Cerita Memang Jodoh dibuka dengan pidato Marah Hamli di hadapan keluarga dan para sahabatnya. Ia berbicara dalam rangka peringatan ulang tahun pernikahannya ke lima puluh. Isi pidato Marah Hamli berupa lika-likunya menjalani pernikahan hingga tahun emas. “.... Dalam masa setengah abad itu, perkawinan kami banyak mengalami kesukaran, penderitaan, dan kesengsaraan, bahkan maut yang mengancam. Tapi, Tuhan telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami berdua, dengan usia panjang dan jodoh yang kekal, sehingga masa perkawinan kami yang panjang itu dapat kami lalui dengan rukun dan damai, penuh kasih sayang.” 83 Pidato Marah Hamli itu menjelaskan penyelesaian cerita yang dialami tokoh aku, yaitu hidup bahagia bersama istrinya selama lima puluh tahun. Munculnya penyelesaian cerita di awal novel dibuat pengarang agar pembaca dapat menerka-nerka konflik apa yang dialami si tokoh utama hingga cerita berakhir demikian. Kata-kata berkonotasi negatif yang diucapkan Hamli dalam pidatonya: kesukaran, penderitaan, kesengsaraan, dan maut yang mengancam, menjadi kunci untuk membuka gambaran mengenai konflik-konflik tokoh Hamli. Sementara kata-kata berkonotasi positif yang diucapkan Hamli: rukun, damai, dan penuh kasih sayang, diletakkan setelah kata-kata negatif. Hal demikian digunakan pengarang untuk memaparkan 83 Ibid., h. 17-18 bahwa kebahagiaan muncul setelah melewati cobaan. Setelahnya, cerita tidak langsung memasuki babak konflik, tetapi awal cerita di mana pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Dengan memundurkan waktu ke lima puluh tahun lalu, pengarang pertama kali mendeskripsikan tokoh utama, Marah Hamli. Pendeskripsian tokoh Hamli dilakukan dengan teknik dramatik lewat dialog tokoh. Di sini, pengarang seperti ingin menjawab pertanyaan tentang sosok Hamli di awal cerita. Penyelesaian yang dilakukan tokoh Hamli dengan menulis autobiografi pernikahannya bersama sang istri akan membuat pembaca bertanya, seperti apa sosok Hamli hingga mampu menulis sebuah autobiografi. “Ayahku setuju dengan rencana ini dan sanggup membiayaiku di negeri Belanda Rp90,- sebulan, yang dipandang cukup oleh Tuan Smith untuk hidup di sana apabila aku hidup sederhana,” jawab Hamli. “Sedangkan mamakku Baginda Raja telah pula menggadaikan sawahnya Rp1.000,- untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin dan keperluan yang lain- lain....” 84 Selain memperkenalkan tokoh Hamli, Marah Rusli juga mendeskripsikan tokoh Din Wati. Perempuan ini yang menjadi tokoh protagonis bersama Hamli. Tokoh perempuan yang kelak menjadi istri Hamli inilah yang di awal cerita membuat Hamli menulis autobiografi Memang Jodoh. Tatkala Radin Asmaya melihat kemenakannya keluar dengan dandanan seperti itu, tak d isengajanya keluar pujian dari mulutnya. “Din Wati, jika berdandan seperti ini, memang susah mencari bandingannya. Cantik jelita, molek manis. Sedap dipandang mata, senang dipandang hati,” katanya. 85 Selain memperkenalkan tokoh Hamli dan Din Wati, di babak perkenalan, Marah Rusli juga memperkenalkan tokoh-tokoh lain. Uniknya, tokoh-tokoh yang dideskripsikan Marah Rusli di awal cerita adalah tokoh-tokoh yang mendukung tokoh utama. Tokoh bibi Kalsum, nenek Hamli, dan orangtua Din Wati yang merupakan tokoh-tokoh yang menentang konflik yang dialami Hamli dan Din Wati. 84 Ibid., h. 28 85 Ibid., h. 97 Setelah memperkenalkan tokoh-tokoh dalam Memang Jodoh, Marah Rusli mulai membawa pembaca ke alur menuju konflik. Peristiwa awal menuju konflik ini dimunculkan setelah kedua tokoh utama dipertemukan di stasiun Bogor. Sebetulnya konflik awal novel ini hanya terpusat pada penyakit pilu Hamli. Artinya, seharusnya Din Wati tidak termasuk dalam pusaran konflik yang kelak dialami Hamli. Atau bahkan, konflik besar seharusnya tidak terjadi. “Jika datang penyakit sedihnya itu, tiba-tiba hilang sekalian keriangannya; ya, acap kali seperti dia Hamli tak ingatkan dirinya lagi, walaupun dia sedang bersuka-suka, sedang beramai-ramai dengan sahabat-sahabatnya atau sedang tekun belajar. Terkadang sedang makan enak-enak, tiba-tiba dia menjadi diam lalu termenung, acapkali sampai berjam-jam lamanya dia melihat ke satu tempat atau merenung sesuatu benda, yang tiada dilihatnya. Pendengarannya hilang, karena bahwa dipanggil, dia tak menjawab. Perasaannya pun tak ada, karena ketika buku yang dibacanya jatuh ke pangkuannya, dia tidak merasakannya, makanan lezat kesukaannya, ditinggalkannya. Bahwa dilihat air mukanya, tampak seperti dia sungguh-sungguh menderita sakit yang tak dapat ditahannya, karena air matanya bercucuran mengalir ke pipinya. 86 Kehadiran Din Wati ketika nenek Hamli, Khatijah, menceritakan penyakit pilu Hamli pada Kalsum membuat Din Wati tergerak untuk menolong Hamli. Namun, pertolongan yang Din Wati lakukan justru membawanya dan Hamli ke konflik yang lebih besar meskipun penyakit pilu laki-laki itu hilang. Melihat penyakit pilu Hamli, pengarang seperti ingin mengecoh pembaca untuk menafsirkan konflik yang sebenarnya. Jika dikaitkan dengan tahap pengenalan tokoh di awal cerita, akan terasa jika konflik dalam novel ini adalah psikologis tokoh Hamli dengan penyakit pilunya. Namun, ketika cerita beranjak ke konflik, akan terungkap jika masalah yang dialami tokoh Hamli bukanlah permasalahan psikologis. Kehadiran Din Wati yang menarik perhatian Hamli hingga penyakit pilunya semakin lama hilang membuat laki-laki itu ingin menikahi Din Wati. Namun, di bagian inilah konflik sesungguhnya dimunculkan pengarang. 86 Ibid., h. 131-132.