berakibat kekhawatiran keluarga mereka akan nasib Hamli dan keluarganya.
Kedua, adalah kedatangan Baginda Raja ke rumah Hamli di Blitar. Kedatangan mamak Hamli ini karena Baginda Raja ingin meminta maaf
atas kesalahannya pada Hamli, Din Wati, dan nenek Hamli. Permintaan maaf ini menjadi antiklimaks dalam cerita Memang Jodoh. Baginda
Raja yang dulu begitu teguh memegang adat istiadat Padang menjadi lunak ketika mendapat musibah.
Setelah sebulan lamanya Hamli kembali dengan keluarganya ke Blitar, tiba-tiba dengan tak disangka-sangkanya, datangnya
mamandanya, Baginda Raja, ke rumahnya, di Kampung Kepanjen Kidul. Kedatangan ini disambut dengan riang dan tulus ikhlas oleh
Hamli dengan istrinya dan neneknya, Khatijah.
98
Selesainya masalah Hamli dengan keluarganya tidak membuatnya terlepas dari tuntutan adat itu. Laki-laki bangsawan dipandang mulia
keturunannya di mata orang Padang sehingga Hamli terus dipaksa untuk menikahi perempuan dari sukunya. Di Semarang, Hamli
menerima telegram dari Baginda Alim, Jaksa pensuiunan Medan yang sudah dua kali meminang Hamli. Telegram Baginda Alim berisi
informasi seolah-olah Hamli sudah menikah dengan anak Baginda Alim. Memang di Padang dapat dilakukan tanpa pengantin laki-laki yang
sedang berhalangan. Jarak yang jauh antara Semarang dan Jati Negara-tempat Baginda Alim tinggal-membuat laki-laki itu berpikir
bisa segera mewujudkan keinginannya untuk bermantukan Hamli. Terlebih rumah orang tua istri Hamli berada jauh dari Semarang
sehingga Baginda Alim dapat membuat karangan yang menyatakan bahwa Hamli setuju untuk menikah lagi.
8 Jakarta
Kota Jakarta memberikan ketentraman bagi Hamli dan keluarganya. Di kota ini, seluruh keluarganya berkumpul-tinggal bersama dengannya
dan Din Wati. Ayah dan ibunya yang telah bercerai juga berkumpul.
98
Ibid., h. 437.
Orang tua Din Wati yang berada di Bogor juga tidak begitu jauh dari Jakarta.
Hanya saja masalah adat pernikahan masih terus menghantui Hamli dan Din Wati. Di Jakarta, Baginda Alim mendatangi Din Wati langsung
untuk membujuk agar mau dimadu. Din Wati meskipun tidak suka dimadu menyuruh Baginda Alim meminta langsung pada Hamli.
Memegang teguh pendapatnya, Hamli tetap menolak beristri lebih dari satu.
Sikap tidak tahu malu Baginda Alim yang terus meminta Hamli menjadi menantunya meskipun sudah tiga kali ditolak karena ia tinggal
satu kota dengan Hamli. Ditambah keluarga Hamli tinggal di Jakarta sehingga perkawinan Hamli dan anaknya akan lebih mudah. Ayah, ibu,
nenek, dan mamak Hamli justru menyerahkan perkara pernikahan ini pada Hamli, yang sebenarnya tidak lazim bagi orang Padang.
9 Semarang
Ketika Hamli tinggal di Semarang, ia mengalami beragam peristiwa menyedihkan. Dimulai dengan meninggalnya ibunya, Siti
Anjani. Berselang enam tahun kemudian, giliran neneknya, Khatijah meninggal. Neneknya dimakamkan di samping makam anaknya di
Semarang yang juga tanah nenek moyangnya. Ayah dan mamaknya, Baginda Raja juga meninggal ketika Hamli
tinggal di Semarang. Keduanya meninggal di Padang sehingga Hamli tidak dapat melihat jenazahnya. Rencana Sutan Bendahara yang hendak
tinggal bersama Hamli tidak pernah terwujud karena saat kembali ke Padang, ia meninggal.
10 Sukabumi
Sukabumi menjadi latar tempat Hamli dan Din Wati menghabiskan masa pensiunnya. Di Kota ini pula menjadi latar awal cerita ketika
Hamli memberikan kado di ulang tahun emas pernikahannya bersama Din Wati yang berupa buku berjudul Memang Jodoh.
b. Latar Waktu
1 2 November 1961
Di waktu ini menjadi pembuka cerita dalam novel Memang Jodoh. Pada 2 November 1961 menjadi hari ulang tahun emas pernikahan
Hamli dan Din Wati. Latar waktu ini juga menjadi pembuka Hamli dalam menjelaskan cerita di buku yang ditulis sebagai kado bagi
istrinya, yakni cerita perjalanan pernikahan mereka selama lima puluh tahun.
Hari ini, Kamis tanggal 2 November 1961, saat umurku 72 tahun, usia perkawinanku dengan istriku, Nyai Radin Asmawati, yang
kini berumur 69 tahun, genap 50 tahun. Dalam masa setengah abad itu, perkawinan kami banyak mengalami kesukaran,
penderitaan, dan kesengsaraan, bahkan maut yang mengancam.
99
2 2 November 1911
Tidak ada penjelaskan secara langsung mengenai penggunaan latar waktu ini. Namun, melihat di bagian awal cerita ketika Hamli
merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke 50 tahun, maka pernikahannya sudah pasti 50 tahun sebelumnya. Pada 2 November
1911, Marah Hamli membuat keputusan yang kelak akan mendatangkan konflik besar, yakni dengan menikahi perempuan Sunda, Nyai Radin
Asmawati. Di waktu ini menjadi awal adanya konflik tokoh Hamli terkait masalah adat pernikahan suku Minangkabau.
3 Meletusnya Gunung Kelud
Pada 1919, Gunung Kelud di Blitar meletus. Letusan gunung ini memakan korban hingga ribuan jiwa. Ketika peristiwa ini terjadi, Hamli
sedang tinggal di Blitar. Ia dan keluarganya mengungsi untuk menyelamatkan diri.
Selepas meletusnya Gunung Kelud, Baginda Raja, mamak Hamli yang tadinya begitu membenci Hamli menjadi insyaf. Berita
meletusnya Gunung Kelud membuat Baginda Raja khawatir pada kemenakannya hingga akhirnya dia menjenguk Hamli. Pertemuan itu
diakhir dengan berubahan sikap Baginda Raja menjadi mendukung
99
Ibid., h. 17.
Hamli.
c. Latar Sosial
Sebagaian besar latar sosial dalam Memang Jodoh mengenai kondisi masyarakat di Padang dengan adat matrilinealnya. Meskipun latar
tempatnya tidak terlalu banyak menggunakan Kota Padang, kondisi yang di alami tokoh-tokohnya seputar adat istiadat Minangkabau. Dalam
Memang Jodoh, kondisi sosial masyarakat Minangkabau inilah yang menyebabkan tokoh utama mendapatkan konflik. Bahkan selain menjadi
menyebab konflik, latar sosial masyarakat Minangkabau inilah yang membuat Marah Rusli menyampaikan kritikannya.
Latar sosial kehidupan masyarakat begitu mendominasi dalam Memang Jodoh. Sistem matrilineal yang menyebabkan berbedanya kehidupan
masyarakat Minangkabau dengan masyarakat di daerah lain, khususnya mengenai adat pernikahan. Latar sosial sosial Memang Jodoh meliputi adat
laki-laki jemputan, pernikahan sesama suku Minangkabau, hingga hubungan anak dan kemenakan.
4. Tokoh dan Penokohan
Sesuai dengan penelitian mengenai kritik sosial dalam novel Memang Jodoh, maka penulis membagi tokoh ke dalam tiga bagian, tokoh yang
menentang adat, tokoh konservatif, dan tokoh yang mengalami perubahan sikap.
a. Tokoh Menentang Adat
1
Marah Hamli
Hamli merupakan pemuda bangsawan Padang bergelar Marah. Gelarnya diperoleh dari ayahnya yang merupakan bangsawan Padang
bergelar Sutan. Dikarenakan menikahi seorang yang bukan bangsawan Minangkabau, maka gelar yang diturunkan ke anaknya menurun
menjadi Marah. Tokoh Hamli meskipun bersuku asli Minangkabau, ia justru menjadi tokoh utama penentang adat Minangkabau. Setidaknya
ada beberapa konsep adat istiadat yang bagi Hamli seharusnya ditinggalkan karena merugikan orang-orang Minangkabau sendiri.
Di awal cerita, ketika Hamli baru saja lulus dari Sekolah Raja, ia berdebat dengan ibunya tentang peran laki-laki dalam sebuah rumah
tangga. Dalam pernikahan, lazimnya yang memberikan mahar adalah pihak laki-laki, namun di Padang justru sebaliknya. Laki-laki di Padang
khususnya kaum bangsawan begitu dimuliakan. Bagi perempuan yang ingin menikahinya harus memberi uang jemputan atau mahar dengan
jumlah yang besar dan memberinya nafkah. Tugas laki-laki dalam rumah tangga hanya sebatas memberi keturunan pada istrinya.
“.... Di mana-mana, suami itu dipandang sebagai kepala keluarga, sehingga dia bertanggung jawab penuh atas anak dan istrinya, yang
harus dipelihara dan dibelanya. Menurut sifat-sifatnya sebagai manusia, memang dialah pemelihara dan pembela. Tetapi mengapa
di Padang ini, dia dijadikan orang yang harus dipelihara dan dibela, sehingga tidak dapat dia menjalankan kewajibannya sebagai suami
dan bapak?”
100
Selain mengenai uang jemputan, Hamli juga menentang keras adat Minangkabau yang mengharuskan orang-orangnya menikah dengan
sesama suku dan menikahi banyak perempuan bagi pemuda bangsawan. Bahkan Hamli bukan hanya menentang lewat suara tetapi juga
perbuatan. Ia menikahi gadis yang bukan berasal dari Padang dan menolak memadukan istrinya. Dengan penolakan itu, Hamli harus rela
dibuang dari negeri Padang. Bagi keluarga dan orang-orang tua di sana, Hamli bukan lagi orang Padang karena telah melanggar adat istiadat
nenek moyang mereka. Setelah berkata demikian menolak menikah lagi dengan
perempuan Padang, berdirilah Hamli. Setelah memberi salam, keluarlah dia dari rumah permusyawaratan itu, diikuti oleh ibu dan
neneknya, yang berdukacita atas akhir rapat itu; kerena sekarang pembuangan Hamli dari kaum keluarganya tak dapat diindahkan
lagi dan bersama-sama dengan dia akan terbuang pula nenek dan ibunya yang memihak kepadanya.
101
Pembuangan Hamli ini berlaku seumur hidup. Sampai akhirnya ia
100
Ibid., h. 59.
101
Ibid., h. 367.
menulis cerita Memang Jodoh 50 tahun kemudian, Hamli tidak pernah menampakkan kakinya di tanah Padang.
2
Radin Asmawati
Radin Asmawati atau Din Wati adalah istri Hamli yang juga menentang adat istiadat Minangkabau. Din Wati adalah gadis Sunda
yang tinggal di Bogor. Ia sama sekali tidak memiliki darah Minangkabau sehingga seharusnya tidak terlibat dalam urusan adat
istiadat Minangkabau. Namun, keputusannya untuk menikah dengan Hamli yang merupakan bangsawan Padang membuatnya ikut berkonflik
dengan adat ini. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Hamli, Din
Wati sebenarnya sudah tahu bagaimana adat Minangkabau. Ia sendiri sempat ragu dengan keputusannya itu. Namun, akhirnya ia sendiri
percaya bahwa Hamli adalah jodoh yang sudah ditentukan Tuhan untuknya.
Sesungguhnya, sejak waktu itu hati Din Wati tidak ragu-ragu lagi dan dia yakin bahwa Hamli inilah jodoh sejatinya, yang telah
ditakdirkan Tuhan sebelum mereka lahir dan telah ditampakkan pada ibu Hamli di dalam mimpi dan telah diramalkan pula oleh
Ajengan Kiai Naidan, takala Din Wati baru berumur sepeuluh tahun.
102
Meskipun telah menikah, rumah tangganya terus mendapat tantangan dari keluarga Hamli. Hal ini karena keluarga Hamli di Padang
masih berambisi untuk menikahkan Hamli dengan gadis sesama suku. Din Wati yang berposisi sebagai istri Hamli tetap mempertahankan
prinsipnya dengan tidak mau dimadu apa pun alasannya. Penolakan Din Wati untuk diduakan bertentangan dengan adat
Minangkabau. Ia tidak merasa malu dan hina karena suaminya hanya memiliki satu istri meskipun lazimnya di Padang sebaliknya.
3
Sutan Bendahara
Sejak awal, ayah Hamli ini tidak suka dengan adat istiadat
102
Ibid., h.178