Riwayat Hidup Kritik sosial dalam novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia

C. Sinopsis Memang Jodoh Karya Marah Rusli

Memang Jodoh bercerita tentang Marah Hamli, seorang pemuda bangsawan dari Padang. Ketika baru saja lulus dari Sekolah Raja di Bukittinggi, Hamli ditawari gurunya untuk meneruskan sekolah ke Belanda. Ia tidak mendapat restu dari ibunya karena ia merupakan anak satu-satunya dari ibunya. Sebagai gantinya, Hamli akhirnya meneruskan sekolahnya ke sekolah pertanian di Bogor. Di Bogor, Hamli bertemu dengan Din Wati, gadis bangsawan sunda. Ketika itu Hamli sedang menjemput bibinya sementara Din Wati menjemput kerabat yang dulunya tinggal bersebelahan dengannya di Bogor. Ternyata, orang yang mereka jemput sama, yaitu Bibi Kalsum. Sejak pertemuan itulah keduanya menjadi semakin akrab. Apalagi ketika Din Wati mendengar penyakit pilu Hamli yang diceritakan neneknya, Khatijah. Rasa belas kasihan yang awalnya timbul dalam diri Din Wati berubah menjadi perasaan cinta. Hamli pun merasakan penyakit pilunya hilang ketika ia bersama Din Wati. Maka, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Hanya saja, meskipun keduanya berasal dari keluarga bangsawan, bukan perkara mudah menyatukan mereka dalam pernikahan. Baik dari keluarga Hamli maupun Din Wati menentang pernikahan mereka. Keluarga Din Wati memiliki riwayat buruk dengan orang Sumatera. Sementara keluarga Hamli enggan meninggalkan tradisi di Padang yang mengharamkan menikahi orang di luar suku Minangkabau. Dengan berbekal restu dari ayah Hamli dan Din Wati, keduanya akhirnya melangsungkan pernikahan secara sederhana dan hanya dihadiri kerabat terdekat. Berita pernikahan mereka akhirnya terdengar sampai ke Padang. Keluarga Hamli seperti mendapat tamparan keras akibat pernikahan itu. Mereka melakukan segala cara untuk melepaskan tali pernikahan Din Wati dan Hamli. Ketika Hamli kembali ke Padang untuk menengok ibunya, ia disidang oleh keluarga besarnya terkait pernikahannya dengan gadis Sunda. Para tetua adat terus berupaya agar Hamli mau menceraikan istrinya. Saat Hamli tidak menolak, mereka memaksa agar Hamli mau berpoligami dengan menikahi gadis Minangkabau untuk melepaskan tuntutan adat. Hamli tetap menolak poligami di kalangan bangsawan Padang. Akhirnya ia dibuang dari tanah kelahirannya. Memasuki ulang tahun pernikahan ke lima puluh tahun, Hamli memberikan kado kepada istrinya berupa buku berjudul Memang Jodoh. Buku ini menjadi bukti cinta sejati Hamli dan Din Wati selama mengarungi pernikahan yang penuh liku. 36 BAB IV UNSUR INTRINSIK DAN KRITIK SOSIAL NOVEL MEMANG JODOH

A. Unsur-unsur Intrinsik Novel Memang Jodoh Karya Marah

Rusli 1. Tema Tema dalam novel ini adalah masalah adat pernikahan dalam kebudayaan Minangkabau. Seperti yang diungkapkan E. Kosasih bahwa salah satu cara menemukan tema adalah dengan memperhatikan dialog para tokoh dan komentar pengarang terhadap peristiwa. Pengungkap tema cerita dikemukakan lewat dialog yang diucapkan tokoh Marah Hamli. “Sebab, saya tak bisa dan tak suka beristri banyak,” sahut Hamli dengan suara gagah. 80 “..., dalam suatu keluarga, laki-laki itulah yang harus jadi pemimpin, yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya, karena menurut bangun tubuhnya, dialah pihak yang melindungi, sedangkan anak dan istrinya, menurut keadaannya, memanglah pihak yang harus dilindungi. Jadi, bukan istrinya yang harus memelihara suaminya, dan bukan pula orang lain yang harus memelihara anaknya.” 81 Ucapan tokoh Marah Hamli menjadi semacam jembatan pemikiran Marah Rusli yang ingin disampaikan kepada pembaca untuk menentang adat pernikahan di sana. Sesuai dengan adat istiadat di sana, maka dalam ikhwal pernikahan, posisi laki-laki dilamar sedangkan perempuan melamar. Apalagi bahwa laki-laki itu dari kalangan bangsawan, ia bukan hanya dilamar tapi juga tidak wajib menafkahi anak dan istrinya. Perannya sebagai pemberi nafkah digantikan bibi istri atau mertua, sedangkan ia sendiri juga dinafkahi mereka. Di Padang, laki-laki keturunan bangsawan begitu dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, banyak orang berlomba untuk menikahkan anak 80 Marah Rusli, Memang Jodoh, Bandung, Qanita, 2013, h. 353. 81 Ibid., h.355.