Latar Waktu Unsur-unsur Intrinsik Novel Memang Jodoh Karya Marah
menulis cerita Memang Jodoh 50 tahun kemudian, Hamli tidak pernah menampakkan kakinya di tanah Padang.
2
Radin Asmawati
Radin Asmawati atau Din Wati adalah istri Hamli yang juga menentang adat istiadat Minangkabau. Din Wati adalah gadis Sunda
yang tinggal di Bogor. Ia sama sekali tidak memiliki darah Minangkabau sehingga seharusnya tidak terlibat dalam urusan adat
istiadat Minangkabau. Namun, keputusannya untuk menikah dengan Hamli yang merupakan bangsawan Padang membuatnya ikut berkonflik
dengan adat ini. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Hamli, Din
Wati sebenarnya sudah tahu bagaimana adat Minangkabau. Ia sendiri sempat ragu dengan keputusannya itu. Namun, akhirnya ia sendiri
percaya bahwa Hamli adalah jodoh yang sudah ditentukan Tuhan untuknya.
Sesungguhnya, sejak waktu itu hati Din Wati tidak ragu-ragu lagi dan dia yakin bahwa Hamli inilah jodoh sejatinya, yang telah
ditakdirkan Tuhan sebelum mereka lahir dan telah ditampakkan pada ibu Hamli di dalam mimpi dan telah diramalkan pula oleh
Ajengan Kiai Naidan, takala Din Wati baru berumur sepeuluh tahun.
102
Meskipun telah menikah, rumah tangganya terus mendapat tantangan dari keluarga Hamli. Hal ini karena keluarga Hamli di Padang
masih berambisi untuk menikahkan Hamli dengan gadis sesama suku. Din Wati yang berposisi sebagai istri Hamli tetap mempertahankan
prinsipnya dengan tidak mau dimadu apa pun alasannya. Penolakan Din Wati untuk diduakan bertentangan dengan adat
Minangkabau. Ia tidak merasa malu dan hina karena suaminya hanya memiliki satu istri meskipun lazimnya di Padang sebaliknya.
3
Sutan Bendahara
Sejak awal, ayah Hamli ini tidak suka dengan adat istiadat
102
Ibid., h.178
Minangkabau. Sama seperti Hamli yang merupakan suku asli Minangkabau, Sutan Bendahara menentang keras adat tersebut.
Kehidupan pernikahannya
yang berakhir
dengan perpisahan
dikarenakan kerasnya adat Minangkabau. Sutan Bendahara menikah dengan Siti Anjani, ibu Hamli,
berdasarkan cinta. Namun karena begitu besarnya kuasa adik perempuannya yang mengharuskannya menikah lagi, ia terpaksa
menurutinya. Siti Anjani yang tidak suka dimadu akhirnya meminta bercerai dari suaminya. Meskipun masih menyayangi istrinya, Sutan
Bendahara terpaksa harus menceraikan istri pertamanya. “Paksaan atas perkawinan itulah yang tak saya setujui; karena telah
saya rasakan sendiri, bagaimana tak enaknya perkawinan yang dipaksakan orang,” jawab Sutan Bendahara, karena ia teringat
kepada bunda Hamli, yang harus diceraikannya atas perintah kakak perempuannya, sementara sampai saat itu dia masih sayang kepada
istrinya ini.
103
Pengalaman pahit masa lalu membuatnya mendukung upaya Hamli menikahi gadis Sunda yang bertentangan dengan adat Minangkabau.
Ditambah dengan ia tinggal di Medan sehingga secara tidak langsung terhindar dari orang-orang tua yang selama ini sangat konservatif pada
adat Padang.
4
Khatijah
Bila melihat asal-usul nenek moyang, nenek Hamli ini bukanlah suku Minangkabau asli. Keluarganya berasal dari tanah Jawa yang pergi
ke Padang dan akhirnya menetap di sana hingga beberapa keturunan berikutnya. Karena menetap di Padang, ia menjadi masuk ke dalam
suku Melayu dan harus mengikuti adat istiadat di sana. Khatijah termasuk tokoh yang menentang adat Minangkabau. Ia
mendukung pernikahan Hamli dan Din Wati. Alasan menolak mengikuti adat Minangkabau lebih dikarenakan rasa sayang terhadap cucunya.
Penyakit pilu Hamli akan hilang jika cucunya menikah dengan gadis
103
Ibid., h. 287.
Sunda membuatnya mengabaikan aturan tanah kelahirannya. “.... Tetapi di dalam masalah Hamli seperti sekarang ini, saya tak
peduli dia kawin dengan perempuan mana pun, daripada dia menderita seperti ini, apalagi karena kita keturunan Jawa, bukan
orang Padang asli,” kata Khatijah panjang lebar.
104
Khatijah merupakan orang tua yang menjadi simbol kritik bahwa adat istiadat seharusnya ada untuk mempermudah kehidupan manusia,
bukan sebaliknya. Jika saja tetap mempertahankan adat, penyakit pilu Hamli belum tentu akan sembuh dan justru membuat cucunya semakin
menderita. Ketika Hamli mendapat tentangan dari keluarga, Khatijah ikut
membela cucunya. Bahkan ia ikut terbuang dari Padang hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di tanah Jawa.
5
Kalsum
Kalsum adalah keponakan Khatijah yang telah lama tinggal di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh yang juga menentang adat Minangkabau dengan
mendukung pernikahan Hamli dan Din Wati. Sebelumnya ia juga sudah menikahkan Sutan Melano, pemuda Padang yang masih berkerabat
dengan suaminya dan Julaiha, gadis Sunda. Hubungan yang kian lama kian karib antara keduanya Hamli dan
Din Wati, diperhatikan, diikuti, dibiarkan, dan disetujui oleh Kalsum dan Khatijah, dengan kegirangan dan kesyukuran yang
amat sangat .... Oleh sebab itu, Kalsum dan Khatijah tidaklah menghalang-halangi hubungan mereka, bahkan menolong agar
bertambah rapat.
105
Penyetujuan Kalsum atas Hamli dan Din Wati mengisyaratkan penentangan adat pernikahan oleh Kalsum. Dorongan atas hubungan
Hamli dan Din Wati dilakukan karena alasan logis, faktor penyakit pilu Hamli. Ini menjadikannya melakukan hal yang bertentangan dengan
adat dengan pertimbangan masuk akal yang berbanding terbalik dengan
orang-orang tua di Padang.
104
Ibid., h. 141.
105
Ibid., h. 146-147.