Pengetian Novel Pengertian Sosiologi Sastra

Bagian ini disebut pula klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya, misalnya berhasil-tidaknya menyelesaikan masalah. 5. Penyelesaian ending Sebagai akhir cerita, bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Namun, ada pula novel yang menyelesaikan akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir cerita dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian. 17 Setidaknya berdasarkan bagian-bagian alur di atas, Robert Stanton menjelaskan dua elemen dasar yang membangun alur, yaitu konflik dan klimaks. Konflik internal yang tampak jelas yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya setidaknya dimiliki dalam karya fiksi. 18 Konflik utama selalu terikat teramat intim dengan tema cerita. Seperti yang diungkapkan dalam bagian tema, bahwa konflik dan tema merupakan satu kesatuan yang sejalan. Sementara klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga akhir cerita tidak dapat dihindarkan lagi. Klimaks muncul dari perkumpulan konflik dalam cerita. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. 19

c. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Biasanya latar dilukiskan dengan menggunakan kalimat-kalimat deskriptif. Latar dapat merangkum oang-orang yang menjadi karakter dalam cerita. 20 Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini dapat 17 E. Kosasih, op. cit., h. 58. 18 Robert Stanton, op. cit., h. 31. 19 Ibid., h. 32. 20 Ibid., h. 35. memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana yang sungguh-sungguh ada. 21 1. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berhubungan dengan kondisi ruang dan bentuk. Pengunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. 2. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan biasanya dihubungkan dengan waktu faktual dan kaitannya dengan peristiwa sejarah. 3. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 22 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan ketiga latar di atas dalam penelitian. Ketiga latar tersebut erat kaitannya dengan objek penelitian, yakni kritik sosial.

d. Penokohan

Penokohan adalah salah satu cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh dalam cerita. 23 Aminudin menjelaskan penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku. 24 Dalam penokohan, pembaca dapat menemukan karakter-karakter dari tokoh yang ditampilkan pengarang di ceritanya. Untuk menggambarkan karakter tokoh, pengarang dapat menggunakan teknik berikut. 1. Penggambaran Cakapan 21 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 217. 22 Ibid., h. 227-233. 23 E. Kosasih, op. cit., h. 61. 24 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1987, h. 79. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. 2. Penggambaran Fisik atau Perilaku Tokoh Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang menunjukkan reaksi, sifat, dan sikap yang mencerminkan dirinya. Sedangkan perlukisan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan itu. 3. Penggambaran Lingkungan Kehidupan Tokoh Pelukisan suasana latar dapat mengidentifikasikan sifat kedirian tokoh. Lingkungan kehidupan tokoh dapat menjelaskan secara tersirat seperti apa tokoh tersebut. Seseorang yang sering berada dalam lingkungan masjid, biasanya digambarkan sebagai tokoh yang baik. 4. Pengungkapan Jalan Pikiran Tokoh Merupakan teknik pikiran dan perasaan yang tak pernah dilakukan secara konkret dalam bentuk tindakan dan kata-kata. Jalan pikiran tokoh dapat juga hal yang terlintas dalam benak si tokoh tersebut. 5. Penggambaran oleh Tokoh Lain Merupakan teknik reaksi yang diberikan tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. 25

e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya. 26 Abrams dalam Nurgiyantoro menjelaskan sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana mejadikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang berbentuk cerita dalam karya fiksi. 27 Sudut pandang menjadi bagian yang tidak dapat terlepas dari cerita. Hal ini dapat menjelaskan kedudukan pengarang dalam cerita yang dibuatnya. Macam-macam sudut pandang dijelaskan oleh Burhan Nurgiantoro. 25 Burhan Nurgiantoro, op. cit., 201-209. 26 E. Kosasih, op. cit., h. 62. 27 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 1. Orang pertama sebagai tokoh utama Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang menggunakan istilah aku atau saya dalam menarasikan ceritanya. Tokoh aku atau saya menjadi pusat cerita. Hanya ada orang- orang di luar tokoh si “aku” yang berhubungan dengan si “aku” yang diceritakan. Tokoh si “aku” menjadi tokoh utama dalam ceritanya sehingga pembaca hanya akan mengetahui tokoh utama dari dalam sedangkan tokoh lain dari luar. Si aku mengisahkan peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah maupun fisik. Ia menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita. 2. Orang pertama sebagai tokoh tambahan Tokoh aku tidak selalu menjadi tokoh utama dalam cerita. Pengarang dapat juga menggunakan tokoh aku tetapi hanya sebagai tokoh pembantu dalam cerita. Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh aku hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita yang dialami tokoh lain. Tokoh aku hanya muncul sebagai bingkai cerita. 3. Orang ketiga mahatahu Dalam sudut pandang orang ketiga, pengarang menggunakan kata ia, dia, atau nama orang dalam ceritanya. Dalam hal ini, pengarang berada di luar cerita. Posisi pengarang hanya menyampaikan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Abrams dalam Nurgiyantoro memaparkan bahwa narator mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi tokoh. Narator bebas menceritakan apa saja, berpindah-pindah dari tokoh dia yang satu ke dia yang lain. Pengarang dalam hal ini mengetahui tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi tokoh. Oleh karena itu, narator bebas menceritakan tindakan dan kata hati tokoh- tokohnya. Pembaca juga akan dibuat tahu “luar-dalam” masing-masing tokoh. 4. Orang ketiga sebagai pengamat Di sini, pengarang tidak mengganggu dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, atau tokoh-tokoh yang diceritakan. Pengarang hanya dapat menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dijangkau oleh indera. Pengarang juga hanya melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh tokoh sebagai pusat kesadaran. 28

f. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya. 29 Pengarang bisa menaruh pesan yang ingin disampaikan di salah satu bagian pembangun novel. Pembaca bisa mengetahui pesan dari pengarang lewat karakter tokoh atau konflik yang dimunculkan dalam cerita. Terkadang, amanat juga bisa dimunculkan secara implisit sehingga pembaca harus lebih jeli menemukan amanatnya.

g. Gaya Bahasa

Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan nada atau suasana persuasif dan merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antartokoh 30 . Bahasa menjadi media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan pesan lewat ceritanya. Bahasa dalam dialog atau narasi dapat menjelaskan karakter tokoh yang ada dalam cerita.

C. Pengertian Sosiologi Sastra

Istilah sosiologi muncul pertama kali dalam buku karangan August Comte yang berjudul Cours De Philosophie Positive. Kata socius berasal dari bahasa Latin yang artinya teman dan logos dari bahasa Yunani yang berarti cerita atau berbicara. Dapat diartikan bahwa sosiologi berarti teman bercerita atau berbicara. 31 28 Ibid., h.256-265. 29 E. Kosasih, op. cit., h. 64. 30 Ibid., h. 64. 31 Syahrial Syarbaini dan Rusdiyanta, Dasar-dasar Sosiologi, Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009, Berbeda dengan sosiologi, sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Kata sas berarti mengarahkan atau memberi petunjuk, sedangkan akhiran tra berarti alat atau sarana. Sastra berarti alat, sarana, atau buku petunjuk untuk mengajar atau pengajaran yang baik. Ketika terbentuk kata jadian, kesusastraan, maka makna sastra menjadi lebih spesifik, yakni karya yang baik. 32 Objek dalam ilmu sosiologi dan sastra memiliki kesamaan, yaitu manusia dalam masyarakat. Arti masyarakat sendiri adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, sosiologi meneliti kehidupan manusia dalam masyarakat dengan analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastra menelitinya dengan subjektif melalui gambaran emosi dan perasaan. 33 Jadi, sosiologi meneliti masyarakat dengan objektivitas sedangkan sastra dengan subjektivitas. Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono, jika diadakan penelitian suatu masyarakat yang sama oleh dua orang sosiolog, maka hasil penelitiannya besar kemungkinan menunjukkan persamaan. Sedangkan bahwa dua orang novelis yang melakukan penelitian di suatu masyarakat yang sama, hasilnya akan cenderung berbeda. Cara manusia meneliti masyarakat dengan perasaannya tergantung dari sudut pandang seseorang yang menyebabkan perbedaan itu. 34 Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba. Sebagai produk budaya, sastra tidak dapat lepas dengan genesisnya, yaitu manusia sebagai pengarang. Eksistensi sastra dikarenakan ada manusia sebagai pengarang yang hidup dalam sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. 35 Hal serupa h. 2. 32 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 1. 33 Ibid., h. 3-4. 34 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Depdikbud, 1978, h. 8. 35 Heru Kuriniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, h. 6. diungkapkan M. Atar Semi bahwa karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. 36 Pengarang karya sastra yang merupakan anggota masyarakat membuat karya sastra yang menampilkan kultur zamannya dengan sifat-sifat yang ditentukan oleh masyarakatnya. Interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat di mana pengarang hidup muncul karena adanya kegelisahan keduanya. Ini yang menyebabkan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra. Jacob Sumardjo juga mengungkapkan hal serupa bahwa karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya. 37 Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Bahkan masyarakat seringkali menentukan nilai karya sastra di zamannya. 38 Kehidupan masyarakat yang berada di zamannya dapat mempengaruhi penulis dalam proses pembuatan karya sehingga esensi nilai tergantung dari sistem nilai masyarakat itu sendiri. Seperti yang Faruk katakan bahwa karya sastra dimaksudkan pengarang sebagai cerminan masyarakat dan alat perjuangan sosial untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi. 39 Seperti yang diungkapkan Nyoman Kutha Ratna bahwa hubungan sastra dan masyarakat terjadi sepanjang masa. Maka, sebagai kreativitas estetis maupun renspons kehidupan sosial, sastra yang baik akan mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap berarti bagi aspirasi kehidupan seniman dan manusia. Pengarang melukiskan sikap dan kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial. Jadi, sastra yang ditulis pengarang bukan sekadar melukiskan tokoh secara fisik saja. 40 Sebagai sebuah dunia miniatur, Nyoman Kutha Ratna mengungkapkan fungsi karya sastra sebagai dokumentasi kejadian –kejadian yang 36 M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, Bandung, Angkasa, 1993, h.73. 37 Jacob Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia, Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982, h. 15. 38 M. Atar Semi, op. cit., h. 73. 39 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra Edisi Revisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 45. 40 Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 34 dikerangkakan dalam kreativitas dan imajinasi. Sastra memiliki kemungkinan untuk mengalihkan kejadian alam semesta yang beragam dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. Sastra secara keseluruhan mengambil bahan dari masyarakat. Seperti karya-karya dari ilmu kemanusiaan lain yang mengambil bahan dari masyarakat, karya sastra memberikan cara pandang yang berbeda. Dengan medium bahasa, karya sastra dapat menunjukkan maksud yang sama meskipun menggunakan cara yang bertentangan. 41 Hal senada diungkapkan Laurenson dan Swingewood dalam Endaswara yang melihat persepektif sosiologi sastra dengan memandang karya sastra sebagai dokumen sosial di mana refleksi situasi sastra tersebut diciptakan, sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan sastra sebagai manifes peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. 42 Rene Wellek dan Austin Waren memberikan gambaran mengenai hubungan deskriptif antara sastra dan masyarakat. Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status dan ideologi pengarang menjadi masalah yang berkaitan di sini. Sebagai warga masyarakat, pengarang dapat dikatakan makhluk sosial. Latar sosial tertentu juga dapat menentukan keterikatan pengarang terhadap ideologi tertentu pula. Oleh karena itu, mengumpulkan informasi pengarang merupakan sumber utama dalam mengkaji sosiologi sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, dan hal lain dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Terakhir adalah masalah pembaca dan dampak sosial. 43 Sementara Ian Watt dalam Heru Kurniawan menyebutkan tiga klasifikasi dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini meliputi analisa mata pencaharian, profesionalisme pengarang dengan profesi kepengarangannya, dan hubungan pengarang dengan masyarakat yang ingin dituju dalam bentuk isi karya sastra. Lebih lanjut, analisis ini memaparkan 41 Ibid., h. 35 42 Suwardi Edraswara, Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi, Yogyakarta: Medpress, 2008, h. 79 43 Rene Wellek dan Austin Waren, op. cit., h. 111-112. hubungan pengarang dengan suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini berkaitan sedekat apa hubungan sastra dalam mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep cerminan ini tentu saja berbeda karena keadaan masyarakat sebenarnya tidak akan sama dengan penggambaran dalam karya sastra karena pandangan dunia pengarang. Cerminan di sini hanya sebatas keadaan masyarakat yang digambarkan pengarang atau mempresentasikan semangat zamannya. Ketiga adalah fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sejauh mana sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Sastra berfungsi sebagai perombak dan mengajarkan nilai dengan cara menghibur. Akhirnya, sastra memiliki nilai sosial, yaitu berperan dalam terjadinya proses perubahan sosial. 44 Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono dalam Heru Kurniawan mengenai relasi sosiologi dan sastra. Relasi pertama dimediasi oleh pengarang. Pikiran dan perasaan pengarang selalu merepresentasikan pandangannya terhadap kondisi sosial masyarakat di tempat pengarang tinggal. Pandangan dunia dalam karya sastra muncul sebagai nilai-nilai yang terbentuk dalam diri pengarang sebagai konsekuensi di kehidupan bermasyarakat. Pengarang memotret anggota dan kehidupan masyarakat sesuai dengan pandangan dan ideologinya. Hal ini yang menegaskan bahwa pengarang merupakan faktor utama dalam dunia yang digambarkan dalam sastra karena pengarang merupakan bagian dari anggota masyarakat. 45 Relasi kedua dimediasi oleh fakta sastra. Sastra merepresentasikan kehidupan yang dibangun lewat kata-kata. Kehidupan yang berupa peristiwa-peristiwa terbentuk dengan bantuan aspek tokoh, tempat, dan latar yang menjadi padu. Meskipun sastra merupakan hasil rekaan, peristiwa yang ada dalam karya sastra merupakan relasi dengan kondisi sosial masyarakatnya. Dunia rekaan hanyalah desain pengarang untuk 44 Heru Kurniawan, op. cit., h. 11. 45 Ibid., h. 6 merepresentasikan dengan dunia sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat dinilai dan dianalisis dengan seperangkap teori dan konsep sosiologi. 46 Ketiga adalah relasi yang dimediasi oleh pembaca. Pada dasarnya, karya sastra adalah produk budaya berupa benda mati yang akan bermakna bila terjalin komunikasi melalui interpretasi dengan pembaca. Pembaca karya sastra adalah individu yang hidup di suatu kondisi masyarakat tertentu. Maka, kondisi budaya dan sosial tempat tinggal pembaca dapat mempengaruhi interpretasi mereka terhadap karya sastra. Nantinya, nila-nilai sosial karya sastra yang mempengaruhi pembaca yang dapat menyebabkan perubahan sosial pembaca. 47 Relasi keempat dimediasi oleh kenyataan. Seperti salah satu pendekatan analisis karya sastra yang diungkapkan Abrams, mimetik, yang memandang karya sastra sebagai cermin kenyataan. Kenyataan sosial dalam rekaan karya sastra merupakan kenyataan yang sebenarnya. 48 Relasi terakhir dimediasi oleh bahasa. Penggunaan bahasa menjadi media paling umum dalam sastra karena secara konsep estetika sastra masih dimediakan dalam bahasa. Dalam sastra, bahasa merupakan media sirkulasi dan komunikasi sosial yaang universal. Dalam hubungannya antara sosiologi dan sastra bahasa dijadikan media komunikasi utama dalam relasi antarindividu di masyarakat. Penggunaan bahasa dalam sastra mencerminkan kondisi masyarakat karena eksistensi bahasa menunjukkan keberadaan suatu kelompok masyarakat. 49 Dalam hubungan sosiologi dengan sastra yang dimediasi oleh kenyataan ada unsur realitas yang dibangun pengarang di atas karya fiksinya. Ini sejalan dengan penuturan Umar Junus yang mengatakan bahwa imajinasi selalu terikat kepada realitas sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi. 50 46 Ibid., h. 7 47 Ibid., h. 8 48 Ibid., h. 9 49 Ibid., h. 9-10. 50 Umar Junus, Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983, h. 3. Tidak ada karya sastra yang sama sekali terlepas dari kehidupan sosial, termasuk karya sastra yang paling absurd. 51 Karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya. 52 Kekuatan imajinasi membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin dekat hubungannya kepada peristiwa kongkret. 53 Karya sastra yang sedikit imajinasi akan menjelaskan secara kongkret dengan peristiwa yang terjadi dalam masyarakatnya. Analisis karya sastra dengan sosiologi tidak hanya meneliti sastra dan masyarakat. Lebih dari itu, ini merupakan sebuah media pandangan pengarang terhadap kondisi realitas sosial di masyarakatnya.

D. Pengertian Mimetik

Abrams membagi pendekatan kajian karya sastra ke dalam empat bagian, mimetik, objektif, ekspresif, dan pragmatik. Pendekatan mimetik merupakan pengkajian karya sastra yang menitikberatkan hubungan karya sastra dengan kenyataan. Istilah mimetik sendiri bermula dari perdebatan filsuf Plato dengan muridnya, Aristoteles. Plato berpendapat bahwa karya sastra hanya peneladanan, bayangan, atau tiruan dari dunia kenyataan. Sebab, dunia emprik tidak mewakili kenyataan, dan hanya mampu menirunya lewat mimesis. Dijelaskan Plato bahwa mimesis hanya terikat pada ide pendekatan bukan menghasilkan kopian yang sesungguhnya. Karya sastra yang merupakan bagian seni hanya dapat meniru dan membayangkan kenyataan. Seni berbeda dengan dunia kenyataan. Tataran seni lebih rendah dari kenyataan. Seorang tukang menjadi lebih tinggi dari seniman karena dapat menciptakan sebuah benda secara mutlak. 54 Hal senada juga diungkapkan Yudiono K.S. yang mengatakan seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di 51 Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 43. 52 Jacob Sumardjo, op. cit., h. 15. 53 Umar Junus, op. cit., h. 6. 54 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, h. 220. bawah realitas sosial dan ide. 55 Seni hanyalah meniru dan membayangkan hal yang tampak, sehingga berdiri di bawah kenyataan. 56 Menurut Plato, pendekatan seni terbaik adalah dengan mimesis karena dalam seni tidak ada pertentangan realisme dan idealisme. Maka seni harus benar. Seniman juga harus tahu bahwa lewat seni, ia mencoba mendekati yang idel dari jauh. 57 Aristoteles menyanggah Plato. Ia mengatakan justru seni menyucikan jiwa manusia lewat katharsis. Dampak karya seni lewat pemuasan estetik, membuat keadaan jiwa dan budi manusia justru ditingkatkan. Selanjutnya, Aristoteles juga menyanggah pendapat Plato dengan mengatakan bahwa seniman tidak meniru kenyataan. Seniman justru membuat dunianya sendiri. Apa yang diciptakan di keseluruhan dunianya itu masuk akal karena berdasarkan unsur-unsur dunia nyata. Jelas bahwa seniman menilai karyanya lebih tinggi dari pada tukang. Karena, karya seni merupakan sarana pengetahuan untuk membayangkan pemahaman terhadap aspek yang tidak dapat diungkapkan dengan cara lain. 58 Karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan. Teori mimetik muncul dengan menganggap karya seni sebagai pencerminan, peniruan, ataupun bayangan realitas. A. Teeuw menyebutnya dunia kenyataan saling berjalinan dengan dunia rekaan. 59 Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra diciptakan dengan daya khayal. 60 Umar Junus mengatakan bahwa kekuatan imajinasi membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin dekat hubungannya kepada peristiwa kongkret. 61 Karya sastra yang sedikit imajinasi akan menjelaskan secara kongkret dengan peristiwa yang terjadi dalam masyarakatnya. 55 Yudiono K.S., Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2009, h. 42. 56 Partini, Pengantar Pengkajian Sastra, Bandung: Yayasan Pustaka Wina, 1992, h. 66. 57 A. Teeuw. op. cit., h. 220-221. 58 Ibid., h. 222. 59 Ibid., h. 231. 60 Jacob Sumardjo dan Saini K.M., op. cit., h. 13. 61 Umar Junus, op. cit., h. 6. Kenyataan bukanlah sesuatu yang diberikan secara objektif, dapat ditinjau dan tafsirkan secara individual tanpa pra anggapan. 62 Penafsiran tidak dapat ditentukan dengan melihat kenyataan. Oleh karena itu, pembaca harus berhati-hati dalam mengambil data faktual dalam sebuah karya sastra meskipun karya tersebut terlihat sangat realis. Problematika kehidupan yang dipaparkan pengarang dalam cerita itu bukan merupakan problem yang asing dalam kehidupannya, namun problem yang akrab dan sangat dikuasainya. Ada keterikatan relitas yang alami pengarang dengan imajinasi dalam cerita fiksinya. Problem cerita yang menjadi dasar penulisan cerita rekaan tidak dapat direka-reka pengarang dan merupakan kenyataan yang menjadi sumber penciptaan cerita rekaan. 63

E. Pengertian Kritik Sosial

Kritik berasal dari bahasa Yunani, krinein yang artinya mengamati, membanding, dan menimbang. 64 Kata kritikos dalam bahasa Yunani kuno pada mulanya dipergunakan oleh kaum Pergamon pimpinan Crates untuk membedakan dengan kaum ahli tata bahasa bahawasan. Kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian nilai-nilai sastra. 65 Bahwa memandang kritik sebagai ilmu, maka sifat dari kritik adalah objektif dan idealis. 66 Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. 67 Stendal dalam Endaswara mengatakan karya sastra merupakan cermin perjalanan jalan raya dan biru langit hidup manusia mekipun kadang-kadang mencerminkan lumpur dalam kubangan. Maksudnya karya sastra kadang-kadang mengekspresikan kebaikan dan keburukan hidup manusia. 68 62 A. Teeuw, op. cit., h. 227. 63 Herman J. Waluyo, Pengkajian Sastra Rekaan, Salatiga: Widia Sari Press, 2002, h. 53. 64 Djamaludin Adinegoro, Tata Kritik, Jakarta: N.V. Nusantara, 1958, h. 10. 65 Yudiono K.S., op. cit., h. 29-30. 66 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1991, h. 238. 67 Suwardi Edraswara, op. cit., h. 78. 68 Ibid., h. 88. Jadi karya sastra merupakan ekspresi baik dan buruk manusia dalam kehidupan sosial di periode tertentu. Ideologi sastrawan diperuntukan untuk mengkritisi kondisi sosial di masyarakat yang tidak sejalan dengan pemikiran sastrawan. Pengarang harus mendokumentasikan keadaan sosial budaya masyarakat karena karyanya adalah dokumentasi sosial budaya 69 . Sastrawan diharapkan tampil sebagai pengontrol atau pengecek pelbagai kecenderungan negatif dalam masyarakat. 70 Kritik sosial dalam novel merupakan bagian dari sejarah yang disampaikan pengarang. Lewat tulisannya, sastrawan ingin memprotes kultur sosial di masyarakat yang menurut sastrawan berbelok dari semestinya. Selain menjadi karya seni, novel bisa dijadikan alat protes dari sistem yang salah.

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak pernah dilepaskan dari pembelajaran sebuah karya sastra. Tulisan berbentuk karya sastra yang menjadi sumber belajar siswa adalah bentuk apresiasi terhadap karya sastra itu sendiri. Jika siswa memandang karya sastra tidak bermanfaat, maka ia akan menafsirkan bahwa karya sastra bukanlah sebuah tulisan yang patut dipelajari. Oleh karena itu, siswa harus ditunjukkan bahwa karya sastra memiliki relevansi terhadap masalah di dunia nyata sehingga pengajaran sastra akan dipandang sebagai sesuatu yang penting. 71 B. Rahmanto memaparkan empat manfaat dari pengajaran sastra di sekolah, yaitu: a. Membantu keterampilan berbahasa Dengan mempelajari sastra, siswa dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Siswa 69 Herman J. Waluyo, op. cit., h. 53. 70 Sapardi Djoko Damono, Politik Ideologi, dan Sastra Hibrida, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h. 72. 71 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993, h. 15. dapat menyimak dan berbicara sebuah karya sastra yang dibicarakan guru atau temannya. Dalam keterampilan membaca, siswa dapat meningkatkannya dengan membaca sebuah karya sastra. Setelahnya, ia dapat mendiskusikan unsur-unsur karya sastra lewat keterampilan menulis. b. Meningkatkan pengetahuan budaya Sastra bukanlah sesuatu yang menghadirkan pengetahuan secara langsung. Pengetahuan yang berbentuk budaya disajikan secara implisit dalam karya sastra. Lewat pengajaran sastra, siswa dapat dirangsang untuk mencari tahu apa yang ada secara tersirat dalam karya sastra yang erat kaitannya dengan pengetahuan budaya. c. Mengembangkan cipta dan rasa Dalam hal ini, sastra bermanfaat agar siswa dapat mengembangkan penalarannya yang bersifat indera, sosial, dan agama. Siswa dapat menggunakan inderanya untuk mengungkap apa yang ada dalam karya sastra. Penalaran sosial dan agama dapat merangsang kepekaan rasa siswa terhadap yang yang telah diterima oleh indera. d. Menunjang pembentukkan watak Karya sastra dapat membuat siswa membentuk kepribadian yang lebih baik. Siswa dapat mengambil contoh dari tokoh-tokoh dalam karya sastra untuk mengembangkan kepribadiannya. Jika tokoh tersebut dapat memberi tauladan, maka dapat ditiru perbuatan, dan juga sebaliknya. 72

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian ini pernah dilakukan oleh Silvy Riana, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dengan judul Hubungan Mamak terhadap Kemenakan dalam Dijemput Mamaknya Karya Hamka. Penelitian ini memaparkan kekuatan mamak atas kemenakannya lewat pandangan Hamka sebagai penulisnya. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Yanutisa Ananta, mahasiswa Universitas Padjadjaran dengan judul Penerjemahan Pantun 72 Ibid., h. 16-24.