Penokohan Unsur-unsur Intrinsik Novel
Berbeda dengan sosiologi, sastra berasal dari bahasa Sansekerta. Kata sas berarti mengarahkan atau memberi petunjuk, sedangkan akhiran tra berarti
alat atau sarana. Sastra berarti alat, sarana, atau buku petunjuk untuk mengajar atau pengajaran yang baik. Ketika terbentuk kata jadian,
kesusastraan, maka makna sastra menjadi lebih spesifik, yakni karya yang baik.
32
Objek dalam ilmu sosiologi dan sastra memiliki kesamaan, yaitu manusia dalam masyarakat. Arti masyarakat sendiri adalah orang-orang yang hidup
bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, sosiologi meneliti kehidupan manusia dalam masyarakat dengan analisis ilmiah dan objektif,
sedangkan sastra menelitinya dengan subjektif melalui gambaran emosi dan perasaan.
33
Jadi, sosiologi meneliti masyarakat dengan objektivitas sedangkan sastra dengan subjektivitas.
Hal senada diungkapkan Sapardi Djoko Damono, jika diadakan penelitian suatu masyarakat yang sama oleh dua orang sosiolog, maka hasil
penelitiannya besar kemungkinan menunjukkan persamaan. Sedangkan bahwa dua orang novelis yang melakukan penelitian di suatu masyarakat
yang sama, hasilnya akan cenderung berbeda. Cara manusia meneliti masyarakat dengan perasaannya tergantung dari sudut pandang seseorang
yang menyebabkan perbedaan itu.
34
Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba. Sebagai produk budaya, sastra tidak dapat lepas dengan genesisnya, yaitu
manusia sebagai pengarang. Eksistensi sastra dikarenakan ada manusia sebagai pengarang yang hidup dalam sistem sosial masyarakat. Oleh karena
itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
35
Hal serupa
h. 2.
32
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 1.
33
Ibid., h. 3-4.
34
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Depdikbud, 1978, h. 8.
35
Heru Kuriniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, h. 6.
diungkapkan M. Atar Semi bahwa karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.
36
Pengarang karya sastra yang merupakan anggota masyarakat membuat karya sastra yang menampilkan kultur zamannya dengan sifat-sifat yang
ditentukan oleh masyarakatnya. Interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat di mana pengarang hidup muncul karena adanya kegelisahan
keduanya. Ini yang menyebabkan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra. Jacob Sumardjo juga mengungkapkan hal serupa bahwa karya
sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya.
37
Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Bahkan
masyarakat seringkali menentukan nilai karya sastra di zamannya.
38
Kehidupan masyarakat yang berada di zamannya dapat mempengaruhi penulis dalam proses pembuatan karya sehingga esensi nilai tergantung dari
sistem nilai masyarakat itu sendiri. Seperti yang Faruk katakan bahwa karya sastra dimaksudkan pengarang sebagai cerminan masyarakat dan alat
perjuangan sosial untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi.
39
Seperti yang diungkapkan Nyoman Kutha Ratna bahwa hubungan sastra dan masyarakat terjadi sepanjang masa. Maka, sebagai kreativitas estetis
maupun renspons kehidupan sosial, sastra yang baik akan mencoba mengungkapkan perilaku manusia dalam suatu komunitas yang dianggap
berarti bagi aspirasi kehidupan seniman dan manusia. Pengarang melukiskan sikap dan kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial. Jadi, sastra
yang ditulis pengarang bukan sekadar melukiskan tokoh secara fisik saja.
40
Sebagai sebuah dunia miniatur, Nyoman Kutha Ratna mengungkapkan fungsi
karya sastra
sebagai dokumentasi
kejadian –kejadian yang
36
M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, Bandung, Angkasa, 1993, h.73.
37
Jacob Sumardjo, Masyarakat dan Sastra Indonesia, Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982, h. 15.
38
M. Atar Semi, op. cit., h. 73.
39
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra Edisi Revisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 45.
40
Nyoman Kutha Ratna, op. cit., h. 34