Hasil Penelitian yang Relevan

mengunjungi Padang meskipun telah dibuang. Kecintaan pada tanah kelahirannya memang belum hilang. Namun, keinginanya tidak pernah terwujud karena Marah Rusli meninggal dalam sakitnya pada 17 Januari 1968. Ia dimakamkan di makam keluarga di Bogor dan di samping makam istri satu-satunya, Raden Ratna Kancana. 77

B. Karya-karya Marah Rusli

H.B. Jassin menjuluki Marah Rusli sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Hal ini dikarenakan Marah Rusli dianggap sebagai sastrawan pertama yang memperkenalkan bentuk roman dalam kesusastraan Indonesia. Sebelumnya, Indonesia hanya mengenal sastra lewat cerita-cerita legenda tentang dewa-dewa yang jauh dari unsur realita. Berikut adalah deskripsi singkat megenai karya-karya Marah Rusli. 1. Sitti Nurbaya Sitti Nurbaya pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1922. Roman ini menceritakan tentang percintaan tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri. Ayah Sitti Nurbaya, Baginda Sulaiman meminjam uang pada Datuk Maringgih. Ketika ayah Sitti Nurbaya terjerat hutang dengan Datuk Maringgih, Sitti Nurbaya terpaksa menebusnya dengan menerima pinangan Datuk Maringgih. 2. Tesna Zahara Setelah Sitti Nurbaya, Marah Rusli menulis roman Tesna Zahara. Naskah tersebut dikembalikan oleh Balai Pustaka dan tidak pernah diterbitkan hingga sekarang. Ketika Marah Rusli berada di Sumbawa, naskah tersebut hilang. 78 3. Anak dan Kemenakan Seperti Sitti Nurbaya, cerita ini seputar adat yang terjadi di Padang. Muhammad Yatim, Aziz, Puti Bidasari, dan Siti Nurmala adalah empat orang yang sudah menjalin persahabatan sejak kecil. Persahabatan itu memunculkan 77 Pengantar yang disampaikan Rully Roesli, cucu Marah Rusli dalam novel Memang Jodoh, h. 13 78 Lembaga Bahasa dan Kesusatraan, op. cit. percintaan antara Yatim dan Puti Bidasari serta Aziz dan Siti Nurmala. Dua pasang kekasih yang menghadapi rintangan ketika ingin menikah karena di Padang, kaum bangsawan harus menikah dengan kaum bangsawan pula. Namun, di akhir cerita keempat orang tersebut dapat menikah dan hidup bahagia. 4. La hami Berbeda dengan Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan, La Hami merupakan romah sejarah tentang bangsawan di Sumbawa. La Hami adalah anak raja Bima yang dibuang oleh Mangkubumi yang berkeinginan merebut gelar raja darinya. Setelah besar, La Hami memperjuangkan agar dapat bertemu kembali dengan orang tua dan menikahi kekasihnya yang seorang raja. Di akhir cerita, La Hami dapat bertemu dengan keluarganya dan menikah dengan kekasihnya. 79 5. Memang Jodoh Novel ini menceritakan Marah Hamli yang menikah dengan Din Wati, gadis keturunan Sunda. Ia mendapat penolakan dari keluarganya karena menurut adat Minangkabau, ia hanya boleh menikahi gadis Padang. perlawanan Hamli terhadap adat istiadat Padang membuatnya dibuang secara adat oleh keluarganya. Pembeda antara novel Memang Jodoh dan karya-karya Marah Rusli sebelumnya adalah karena ini merupakan novel terakhir Marah Rusli yang baru diterbitkan pada 2013. Berbeda dengan novel lainnya, novel Memang Jodoh diterbitkan hampir lima puluh tahun setelah kematian Marah Rusli. Novel ini sebenarnya sudah diperkenalkan Marah Rusli pada keluarga dan kerabatnya di hari ulang tahun pernikahannya ke lima puluh tahun. Namun, pengarangnya sendiri melarang penerbitan novel ini sebelum tokoh-tokoh di dalamnya meninggal. Ini dikarenakan Marah Rusli tidak ingin melukai hati keluarganya di Padang. Hal ini yang membuat banyak orang berspekulasi bahwa novel ini semacam semi autobiografi Marah Rusli. 79 Izarwisman Mardanas, op. cit., h. 29-30.

C. Sinopsis Memang Jodoh Karya Marah Rusli

Memang Jodoh bercerita tentang Marah Hamli, seorang pemuda bangsawan dari Padang. Ketika baru saja lulus dari Sekolah Raja di Bukittinggi, Hamli ditawari gurunya untuk meneruskan sekolah ke Belanda. Ia tidak mendapat restu dari ibunya karena ia merupakan anak satu-satunya dari ibunya. Sebagai gantinya, Hamli akhirnya meneruskan sekolahnya ke sekolah pertanian di Bogor. Di Bogor, Hamli bertemu dengan Din Wati, gadis bangsawan sunda. Ketika itu Hamli sedang menjemput bibinya sementara Din Wati menjemput kerabat yang dulunya tinggal bersebelahan dengannya di Bogor. Ternyata, orang yang mereka jemput sama, yaitu Bibi Kalsum. Sejak pertemuan itulah keduanya menjadi semakin akrab. Apalagi ketika Din Wati mendengar penyakit pilu Hamli yang diceritakan neneknya, Khatijah. Rasa belas kasihan yang awalnya timbul dalam diri Din Wati berubah menjadi perasaan cinta. Hamli pun merasakan penyakit pilunya hilang ketika ia bersama Din Wati. Maka, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Hanya saja, meskipun keduanya berasal dari keluarga bangsawan, bukan perkara mudah menyatukan mereka dalam pernikahan. Baik dari keluarga Hamli maupun Din Wati menentang pernikahan mereka. Keluarga Din Wati memiliki riwayat buruk dengan orang Sumatera. Sementara keluarga Hamli enggan meninggalkan tradisi di Padang yang mengharamkan menikahi orang di luar suku Minangkabau. Dengan berbekal restu dari ayah Hamli dan Din Wati, keduanya akhirnya melangsungkan pernikahan secara sederhana dan hanya dihadiri kerabat terdekat. Berita pernikahan mereka akhirnya terdengar sampai ke Padang. Keluarga Hamli seperti mendapat tamparan keras akibat pernikahan itu. Mereka melakukan segala cara untuk melepaskan tali pernikahan Din Wati dan Hamli. Ketika Hamli kembali ke Padang untuk menengok ibunya, ia disidang oleh keluarga besarnya terkait pernikahannya dengan gadis Sunda. Para tetua