Karya-karya Marah Rusli Kritik sosial dalam novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa dan sastra indonesia

36 BAB IV UNSUR INTRINSIK DAN KRITIK SOSIAL NOVEL MEMANG JODOH

A. Unsur-unsur Intrinsik Novel Memang Jodoh Karya Marah

Rusli 1. Tema Tema dalam novel ini adalah masalah adat pernikahan dalam kebudayaan Minangkabau. Seperti yang diungkapkan E. Kosasih bahwa salah satu cara menemukan tema adalah dengan memperhatikan dialog para tokoh dan komentar pengarang terhadap peristiwa. Pengungkap tema cerita dikemukakan lewat dialog yang diucapkan tokoh Marah Hamli. “Sebab, saya tak bisa dan tak suka beristri banyak,” sahut Hamli dengan suara gagah. 80 “..., dalam suatu keluarga, laki-laki itulah yang harus jadi pemimpin, yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya, karena menurut bangun tubuhnya, dialah pihak yang melindungi, sedangkan anak dan istrinya, menurut keadaannya, memanglah pihak yang harus dilindungi. Jadi, bukan istrinya yang harus memelihara suaminya, dan bukan pula orang lain yang harus memelihara anaknya.” 81 Ucapan tokoh Marah Hamli menjadi semacam jembatan pemikiran Marah Rusli yang ingin disampaikan kepada pembaca untuk menentang adat pernikahan di sana. Sesuai dengan adat istiadat di sana, maka dalam ikhwal pernikahan, posisi laki-laki dilamar sedangkan perempuan melamar. Apalagi bahwa laki-laki itu dari kalangan bangsawan, ia bukan hanya dilamar tapi juga tidak wajib menafkahi anak dan istrinya. Perannya sebagai pemberi nafkah digantikan bibi istri atau mertua, sedangkan ia sendiri juga dinafkahi mereka. Di Padang, laki-laki keturunan bangsawan begitu dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, banyak orang berlomba untuk menikahkan anak 80 Marah Rusli, Memang Jodoh, Bandung, Qanita, 2013, h. 353. 81 Ibid., h.355. perempuan mereka dengan laki-laki bangsawan. Mereka melamar dengan uang dan harta yang melimpah agar laki-laki bangsawan mau menikahkan anak mereka. Tujuannya hanya satu, yaitu memberi keturunan kepada istrinya. Hamli yang merupakan laki-laki bangsawan Padang menentang keras adat seperti itu. Baginya, adat seperti itu akan membuat suami hanya sebagai tamu dan tidak memilki hak apa-apa terhadap anak istrinya. Suami yang dipandang sebagai kepala keluarga harus dinafkahi oleh keluarga istrinya. Padahal, sifat perempuan adalah mengandung dan melahirkan anak sedang suami melindungi anak dan istrinya. Masalah adat pernikahan di Padang bukan sekadar peran laki-laki dalam keluarga tetapi juga tentang kewajiban menikah dengan sesama suku Padang. Hamli diwajibkan menikah dengan perempuan Padang. Hal ini semacam tugas penjunjungan adat istiadat Padang bagi keluarga. Bahwa ada laki-laki yang menikah dengan perempuan di luar suku Padang, maka akan dianggap pembawa aib bagi keluarga. Laki-laki tersebut juga harus menerima hukuman sosial, yaitu dibuang dari tanah airnya. Masyarakat Padang begitu menjunjung tinggi pernikahan sesuku karena dianggap memperkuat jalinan kekeluargaan suku Padang. Sebaliknya, pernikahan dengan di luar suku justru akan merenggangkan kekeluargaan suku Padang. “Kami keluarga Hamli di Padang minta kau kawin di Padang ini karena kami ingin melepaskan utang kami kepada bangsa kami; sebab kalau kau tak kawin dengan perempuan Padang, niscaya kamilah yang akan mendapat malu, karena seakan-akan kami tak dapat mengawinkan kau. Asal kau sudah kawin di Padang ini, tak dapatlah orang berkata, bahwa kami telah menyia-nyiakan kau dalam kewajiban kami, karena tak dapat dan tak kuasa membujuk kau. Itu suatu aib yang amat besaar bagi kami. ” 82 Banyak masyarakat Padang yang tetap mempertahankan pusaka nenek moyang tidak memikirkan baik buruk adat yang mereka junjung tinggi tersebut. Akibatnya, orang-orang, khususnya pemuda yang sudah terbuka 82 Ibid., h. 357-358. pemikirannya lewat pendidikan, akan memilih meninggalkan negerinya karena tidak mau terikat dengan adat yang menyusahkan itu. Hingga akhirnya, yang tersisa di Padang adalah orang-orang tua dan masyarakat yang justru tidak berpendidikan sehingga tidak akan ada yang mengolah tanah Padang lagi. 2. Alur Marah Rusli menggunakan alur campuran dalam menceritakan Memang Jodoh. Alur campuran dimulai dengan menjabarkan keadaan yang dialami tokoh utama dan dilanjutkan dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Peristiwa-peristiwa lain yang dialami tokoh juga muncul hingga diakhiri dengan selesainya konflik yang dialami tokoh utama. Cerita Memang Jodoh dibuka dengan pidato Marah Hamli di hadapan keluarga dan para sahabatnya. Ia berbicara dalam rangka peringatan ulang tahun pernikahannya ke lima puluh. Isi pidato Marah Hamli berupa lika-likunya menjalani pernikahan hingga tahun emas. “.... Dalam masa setengah abad itu, perkawinan kami banyak mengalami kesukaran, penderitaan, dan kesengsaraan, bahkan maut yang mengancam. Tapi, Tuhan telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami berdua, dengan usia panjang dan jodoh yang kekal, sehingga masa perkawinan kami yang panjang itu dapat kami lalui dengan rukun dan damai, penuh kasih sayang.” 83 Pidato Marah Hamli itu menjelaskan penyelesaian cerita yang dialami tokoh aku, yaitu hidup bahagia bersama istrinya selama lima puluh tahun. Munculnya penyelesaian cerita di awal novel dibuat pengarang agar pembaca dapat menerka-nerka konflik apa yang dialami si tokoh utama hingga cerita berakhir demikian. Kata-kata berkonotasi negatif yang diucapkan Hamli dalam pidatonya: kesukaran, penderitaan, kesengsaraan, dan maut yang mengancam, menjadi kunci untuk membuka gambaran mengenai konflik-konflik tokoh Hamli. Sementara kata-kata berkonotasi positif yang diucapkan Hamli: rukun, damai, dan penuh kasih sayang, diletakkan setelah kata-kata negatif. Hal demikian digunakan pengarang untuk memaparkan 83 Ibid., h. 17-18