Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli

keturunan Jawa serta hidup di lingkungan yang menganut tradisi tersebut justru tidak mengikuti adat negerinya. Meskipun orang-orang akan memandangnya sebagai laki-laki jemputan namun itu dilakukan agar tidak mendapat hukum sosial di masyarakatnya. 2. Nikah sesama suku Minangkabau Koentjaraningrat dalam Yahya Samin dan kawan-kawan memaparkan bahwa pernikahan di Minangkabau bersifat eksogami yaitu melarang pernikahan sesama suku karena masih bersaudara. Selain itu, pernikahan di sana juga menganut sistem endogam yaitu mengutamakan pernikahan sekampung. Seseorang akan lebih dihormati lagi jika menikah dengan anak mamaknya saudara laki-laki ibu sehingga mempermudah pembagian harta pusaka. 124 Sistem endogam ini merupakan salah satu kritik yang disampaikan Marah Rusli di novelnya lewat tokoh Hamli. Sejak masih kecil, Hamli sudah dijodohkan dengan anak mamaknya. Sesuai dengan garis keturunan ibu, maka hubungan seseorang dengan anak pamannya menjadi tidak sedarah. Perjodohan anak dengan kemenakan dilakukan untuk mempermudah pembagian harta pusaka nanti. Hanya saja Hamli menolak dijodohkan dengan anak mamaknya meskipun biaya sekolahnya selama ini dibiayai oleh mamaknya. “Pertama, karena perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan; sehingga anak yang akan menjalani dan akan merasakan buruk-baik perkawinan itu seumur hidupnya, dan tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orang tua atau mamaknya.” 125 Meskipun dalam sebuah pernikahan melibatkan kedua keluarga, namun pada dasarnya yang menjalani adalah dua orang, suami dan istri. Anak yang kelak akan menjadi suami atau istri sudah seharusnya tahu bagaimana calon pasangannya karena akan hidup bersama seumur hidupnya. Ketidakaktifan anak dalam menentukan pasangannya nanti dapat diibaratkan membeli kucing dalam karung. Anak tidak dapat menentukan apakah orang tersebut layak atau 124 Yahya Samin,dkk, Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Depdikbud, 1993 h. 25 125 Marah Rusli, op. cit., h. 58. tidak menjadi pasangannya karena semua hal itu menjadi urusan orang tua dan mamaknya. Akhirnya, ia akan tahu pasangannya justru setelah pernikahan itu dilaksanakan. Pengaitan pernikahan dengan sesama orang Minangkabau karena orang-orang tua biasanya masih berpegang teguh dengan adat istiadat dan pernikahan selalu dikaitkan dengan urusan orang tua, bukan anak. Dalam kasus Hamli, ia juga diharuskan mengikuti tradisi nenek moyangnya. Ketika Din Wati dan Hamli ingin melanjutkan cinta mereka ke jenjang pernikahan, Burhan memberitahu Din Wati masalah pernikahan dalam adat di Padang. “Laki-laki di Padang tak diizinkan kawin dengan perempuan yang bukan masuk suku Padang. Dipandang sangat hina apabila seorang laki-laki, lebih-lebih perempuan, kawin dengan orang yang berasal dari daerah lain. Oleh sebab itulah, perkawinan campuran biasanya tidak tahan lama dan tak dapat dipertahankan, segera putus kembali; karena ia membawa beberapa halangan, dan dihalang-halangi. Jika lama juga jodoh mereka, perkawinan itu akan menjadi neraka dunia, bagi suami, lebih-lebih istrinya.” 126 Ketika Hamli memutuskan untuk tetap menikahi Din Wati, gadis yang bukan berasal dari Padang, maka keluarga Hamli bukan hanya murka tapi juga berbuat segala cara untuk memisahkan mereka. Cara-cara yang digunakan juga beragam, mulai dari memfitnah Din Wati, sampai mencelakai istri Hamli tersebut. Keluarga Hamli begitu berambisi untuk mengembalikan Hamli ke jalan yang sesuai dengan adat nenek moyang mereka, seperti dalam kutipan berikut. “Tetapi mengapa Din Wati yang harus dicelakakan karena dia tidak bersalah dalam hal ini?” dakwa Mpok Nur. “Supaya Hamli menderita kesedihan sebab ditinggalkan istrinya, yang tentulah dicintainya. Mungkin juga, seperti telah saya katakan tadi, supaya Hamli bebas pula dan suka dipinangnya kembali.” 127 Datuk Sati adalah seorang penenun 128 yang diperintah keluarga Hamli untuk membinasakan Din Wati. Penggunaan penenun seperti ini digunakan 126 Ibid., h. 155. 127 Ibid., h. 326. 128 Dalam Memang Jodoh, penenun berarti orang yang bisa melihat masa depan lewat ramalannya. Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, penenun dapat dikatakan paranormal. ketika keluarga Hamli patah arang untuk memisahkan Hamli dan Din Wati. Pasangan ini tetap berpegang teguh untuk mempertahankan pernikahan di tengah tuntutan adat yang dialamatkan pada Hamli. Oleh karena itu, jalan menggunakan penenun digunakan. Hanya saja, cara ini pun tidak berhasil. Pengarang mengungkapkan bahwa Din Wati dilindungi oleh arwah kakaknya yang dulu hilang di kandungan ibunya. Ditambah keluarga Din Wati juga memiliki seekor harimau jadi-jadian. Tradisi menikahkan anak dengan sesama orang Minangkabau juga membelenggu sedemikian kuat di pikiran orang-orang Minangkabau sehingga melakukan segala cara agar dapat menjalankannya. Tradisi yang dibuat nenek moyang dengan maksud baik justru diperoleh dengan cara tidak baik, yaitu mencelakai orang lain dengan diguna-guna tukang tenun. Ini bentuk kritikan yang disampai oleh Marah Rusli, bahwa adat yang sedemian rupa justru akan membuat orang Minangkabau celaka dengan perbuatan jahatnya. Tradisi nenek moyang tidak seharusnya dipegang teguh tanpa memperhatikan baik buruknya bagi masyarakat Minangkabau. Untuk melawan tradisi ini, maka Marah Rusli menggunakan cara yang juga tidak masuk akal bagi orang-orang berpendidikan. Jika pernikahan sesuku dipertahankan dengan alasan yang kurang realistis, maka Marah Rusli juga menggunakan alasan serupa untuk melawannya. Orang-orang di Minangkabau yang masih memegang tradisi adalah orang-orang tua yang percaya dengan hal-hal di luar nalar manusia, yaitu hal-hal berbau mistis. “Takala dia tiga bulan dalam kandungan ibunya, Anjani telah mendapat ilham, yaitu suatu mimpi. Dalam mimpi itu, suaminya, Sutan Bendahara, datang dari tanah Jawa membawakannya seekor burung Bayan burung Nuri yang amat elok rupanya, dalam sebuah sangkar yang permai, lalu diberikannya kepada Anjani, sebagai buah tangan dari Jawa. Burung ini diterima oleh Ajani dengan amat suka hati, lalu diletakkannya di atas pangkuannya, dipandang dan dipermainkannya beberapa lamanya dengan riang gembira. Ketika kami tanyakan kepada ahli nujum yang pandai, apa tabir mimpi itu, dia berkata: anak yang dikandung Anjani, Hamli ini, jodohnya ada di tanah Jawa.” 129 129 Ibid., h. 140-141. Marah Rusli menggunakan mimpi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan adat Minangkabau. Jika dilihat dari logika, alasan seperti ini tidak masuk akal sebagai cara untuk menikahi Din Wati. Sebuah mimpi burung Nuri tidak ada hubungannya dengan jodoh anak yang dikandung Anjani kelak. Namun, tentu cara ini lebih terdengar masuk akal bagi para tetua adat yang masih menjunjung tradisi nenek moyang. Jika alasan yang digunakan kalau Din Wati adalah perempuan baik, pintar, dan cantik yang digunakan Hamli untuk menikahi perempuan itu, niscaya akan sulit diterima bagi tetua adat. Karena bagi tetua adat, alasan terkuat untuk menikah gadis adalah uang jemputan yang besar dan gadis itu berasal dari Minangkabau. 3. Menikahi banyak perempuan Dalam adat Minangkabau, seorang laki-laki khususnya kaum bangsawan diharuskan menikahi lebih dari satu perempuan Minangkabau. Karena meskipun seorang anak akan mengikuti suku ibunya, namun gelar bangsawan ayah akan jatuh ke tangan anaknya. Seorang mertua akan bangga jika anak perempuannya menikah dengan bangsawan. Oleh karena itu, mereka akan menjemput laki-laki bangsawan dengan uang yang banyak agar mau dijadikan menantu. Dalam Memang Jodoh, persoalan menikahi banyak perempuan menjadi salah satu kritikan Marah Rusli. Bahkan jauh sebelum menceritakan konflik Hamli dengan tradisi ini, Marah Rusli mengungkapkan bangsawan di Padang yang menikahi lebih dari satu perempuan, yaitu Sutan Bendahara, ayah Hamli. Sungguh pun dia masih sayang pada istrinya ini dan telah beroleh dua anak laki-laki darinya-sayang yang bungsu tak panjang umurnya, karena dia meninggal muda-tetapi karena paksaan kakaknya yang perempuan, untuk menunaikan perantauan negerinya, yang memuliakan bangsawan beristri banyak, tanda dihargai asalnya yang tinggi itu, terpaksalah dia mengawini perempuan lain. 130 Dalam agama Islam yang menjadi agama mayoritas di Padang, menikahi 130 Ibid., h. 222. lebih dari satu perempuan dibolehkan jika dapat berlaku adil. Dalam hukum adat Minangkabau, hal seperti ini malah diharuskan karena tidak bertentangan dengan agama. Bahkan jika seorang laki-laki hanya memiliki satu istri, itu akan membuat dirinya dan keluarganya malu dan terhina. Hal berbeda justru diungkapkan Hamka dalam Lukman Ali bahwa poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh adat di Padang bukanlah poligami menurut Islam tetapi poligami adat. 131 Poligami di kalangan bangsawan Minangkabau terasa mudah karena suami tidak perlu membiayai kehidupan istri dan anaknya. Suami justru diberi nafkah oleh keluarga istrinya. Tugas suami hanyalah memberi keturunan bagi istrinya. Orang-orang berebut untuk mendapatkan keturunan dari bangsawan agar cucunya kelak mendapatkan gelar kebangsawanan. Karena itulah banyak orang yang berlomba menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki bangsawan, tidak peduli bahwa anaknya dijadikan madu. Pemikiran Marah Rusli tentang beristri banyak bertentangan dengan pemikiran keluarga tokoh Hamli, khususnya para tetua adat. Bagi pengarang, beristri banyak justru akan menimbulkan permasalahan bukan kebaikan. Lewat contoh yang dialami Adam, teman Hamli, pengarang memberi alasan mengapa ia mengkritik adat beristri banyak seperti dalam kutipan berikut. “Semua mertuanya sibuk ke sana kemari, mencari obat lahir dan batin, untuk suami dan madu anaknya, supaya Adam sayang kepada anaknya dan benci kepada madunya. Dan oleh sebab obat-obatan itu untuk kasih sayang, bukan untuk penyakit, mereka tak menghiraukan kesehatan badan suaminya, sehingga Adam kian lama kian merana. Badan kurus muka pucat dan tenaga hilang. Akhirnya tewas.” 132 Kematian Adam ternyata masih menimbulkan pertikaian keempat istrinya yang memperebutkan harta warisan Adam. Mereka bertengkar ketika jenazah Adam masih berada di rumah hingga menimbulkan aib. Hingga akhirnya kemenakan Adam datang mengusir keempatnya yang tidak mendapatkan apa-apa. 131 Lukman Ali, op. cit., h. 117. 132 Marah Rusli, op.cit., h. 280. Kisah Adam yang berakhir dengan kematian karena beristri empat dijadikan pelajaran oleh Hamli. Bahkan Mahmud yang menceritakan kisah ini menasihati Hamli agar tidak mengikuti perbuatan Adam meskipun dipaksa oleh adat. Tradisi yang melekat dalam tubuh masyarakat Minangkabau justru mencelakai orang-orangnya. Hamli menjadikan cerita Adam sebagai alasan untuk menentang beristri banyak yang dipaksakan keluarganya selain dia yang memang tidak suka beristri banyak. Meskipun demikian, keluarganya bersisih kukuh agar Hamli mau berpoligami dengan menikahi perempuan di Padang sebagai bentuk pelepasan hutang ke nenek moyang. Ketika Hamli menolak, ia justru dibuang secara adat dari keluarganya. Ia tidak dianggap lagi sebagai orang Padang. 4. Hubungan Mamak dan Kemenakan Adat istiadat mengenai pernikahan dalam masyarakat Minangkabau tidak terlepas dari sistem yang dianut masyarakatnya. Minangkabau menganut sistem matrilineal, sebuah sistem di mana garis keturunan ada di pihak ibu. Selain itu, yang membedakan masyarakat Minangkabau dengan masyarakat lain adalah kekuasaan terhadap seorang anak ada di mamak atau saudara laki-laki ibu bukan orang tua. Umar Junus memaparkan bahwa sebagai suatu ideologi, mamak memiliki dua arti, yaitu: a Seseorang yang menjaga kesejahteraan material dari keluarga matrilinealnya. b Seseorang yang berusaha untuk menjaga tak terjadinya pelanggaran adat. 133 Hubungan antara mamak dan kemenakan inilah yang merupakan kelanjutan dari sistem matrilineal. Seperti pembahasan sebelumnya bahwa dalam pernikahan, seorang anak akan masuk ke dalam suku ibunya dan dikepalai oleh seorang mamak. Kebutuhan anak secara otomatis menjadi tanggung jawab mamak. 133 Umar Junus, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, h. 52. Sebenarnya, kemenakan tidak harus anak dari saudara kandung mamak. Chairil Anwar memaparkan jenis-jenis kemenakan dalam masyarakat Minangkabau, yaitu: a Kemenakan bertali darah yaitu kemenakan kandung yaitu anak dari saudara-saudara perempuan mamak. b Kemenakan bertali sutera yaitu kemenakan jurai yang lain tapi masih berhubungan darah dengan jurai mamak. c Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan di bawah lutut, orang yang bekerja pada mamak dengan diberi emas uang dan dengan persetujuannya dijadikan kemenakan. d Kemenakan bertali budi yaitu dari orang-orang yang hidupnya berpindah tempat dan di tempat baru mencari mamak baru. 134 Dalam Memang Jodoh, Hamli termasuk kemenakan bertali darah karena mamaknya merupakan adik kandung ibu Hamli. Hubungan Hamli dan mamaknya, Baginda Raja seperti layaknya hubungan mamak dan kemenakan di Padang. Baginda Raja menjadi orang yang bertanggung jawab atas kesejahteraan material Hamli. Bahkan ketika Hamli bersekolah di sekolah pertanian di Bogor, mamaknya juga memenuhi kebutuhan hidupnya. “Ayahku setuju dengan cara ini dan sanggung membiayaiku di negeri Belanda Rp90,- sebulan, yang dipandang cukup oleh Tuan Smith untuk di sana apabila aku hidup sederhana,” jawab Hamli. “Sedang mamakku Baginda Raja telah pula mengadaikan sawahnya Rp1.000,- untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin dan keperluan yang lain- lain.” 135 Sebenarnya kewajiban mamak terhadap kemenanakannya tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan secara materi tapi juga moril. Ketika kemenakannya dalam kesulitan, mamaklah yang nantinya memberi peetunjuk dan nasihatnya. Jika kemenakannya seorang perempuan, mamak yang akan menjaga kesucian dan martabat kemenakannya. Penjagaan moril yang dilakukan Baginda Raja terhadap Hamli agar 134 Chairil Anwar, Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1997, h. 87. 135 Marah Rusli, op. cit., h. 28. kemenakannya tidak melanggar adat Minangkabau. Hal ini yang menjadi alasan Baginda Raja menjadi sosok yang vokal memaksa Hamli untuk menikahi gadis Minangkabau. Secara ekstrim, mamak akan memaksa kemenakannya untuk mengikuti aturannya.

C. Relevansi Penelitian Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli

dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan agar siswa dapat mengapresiasi sebuah karya sastra. Penggunaan karya sastra dapat membuat siswa mempelajari banyak hal tentang kehidupan seperti nilai sosial, agama, moral, dan budaya. Pembelajaran nilai-nilai dalam karya sastra diharapkan dapat menjadikan motivator untuk membentuk karakter yang baik dalam diri siswa. Novel Memang Jodoh dapat dijadikan sumber belajar siswa di materi apresiasi sastra di Sekolah. Dalam Memang Jodoh, siswa dapat menggali unsur-unsur luar yang berpengaruh terhadap isi novel tersebut. 1. Latar Belakang Siswa dapat mencari biografi pengarang yang menyangkut asal daerah, pendidikan, dan ideologinya. Unsur-unsur tersebut sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap karya yang ditulis oleh pengarang. Dalam novel Memang Jodoh, siswa akan menemukan bahwa pengarangnya, Marah Rusli, adalah seorang bangsawan Padang yang juga bekerja sebagai dokter hewan. Setelah mengetahui biografi pengarang, siswa akan menemukan pengaruh latar belakang sastrawan di beberapa bagian novel yang ditulisnya. Siswa akan mengetahui jika latar belakang pengarang dapat mempengaruhi novel yang akan dibuatnya. 2. Kondisi Sosial dan Budaya Dalam Memang Jodoh, siswa diharapkan mampu menemukan kondisi sosial budaya yang ada di dalamnya. Novel Memang Jodoh erat kaitannya dengan budaya Minangkabau. Penggunaan latar tempat di Padang menjelaskan cerita yang mengambil kebudayaan dan adat istiadat Minangkabau. Dalam novel ini, siswa akan mengetahui mengenai budaya yang ada dalam suku Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, khususnya adat pernikahan terjadi perbedaan dengan daerah lain di Indonesia, yakni mengenai proses lamaran. Di Padang, proses lamaran dilakukan oleh perempuan dengan mendatangi rumah keluarga laki-laki dengan membawa uang lamaran. Kondisi sosial masyarakat di Padang adalah kerasnya masyarakat Minangkabau dalam memegang teguh adat istiadat di sana. Masyarakat di sana begitu kuat memperbaiki sikap bahwa ada salah satu anggota masyarakat yang melanggar adat. Dalam kasus Hamli, masyarakat yang diwakili tetua adat bahkan rela membuang Hamli dari keluarga ketika Hamli menolak mengikuti tradisi di Padang. 3. Tempat Novel Memang Jodoh ditulis oleh pengarang berdarah Minangkabau. Novel ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi Kota Padang yang merupakan tempat orang Minangkabau tinggal. Penggunaan Kota Padang juga sejalan dengan kondisi sosial dan budaya yang ada dalam novel Memang Jodoh. Dengan mengetahui unsur-unsur ekstrinsik dalam novel Memang Jodoh, siswa akhirnya dapat mengetahui bahwa sebuah karya sastra muncul tidak secara tiba-tiba. Ada proses yang dialami oleh pengarang di kehidupan nyatanya, sehingga karya sastra tidak hanya sekadar cerita fiktif. Menggali unsur intrinsik, membuat siswa tidak hanya tahu unsur di dalam cerita tetapi juga unsur di luar cerita. Selain itu, diharapkan siswa dapat memahami unsur-unsur lain di luar cerita yang mempengaruhi unsur dalam cerita tersebut. 74 BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai kritik sosial dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, maka penulis menarik kesimpulan dari hasil penelitian ini. Hasil penelitian ini adalah jawaban dari rumusan masalah yang terdapat dalam bagian pendahuluan. Berikut adalah kesimpulan hasil penelitiannya: 1. Kritik sosial yang ingin disampaikan Marah Rusli lewat novel Memang Jodoh adalah adat istiadat masyarakat Minangkabau yang justru merugikan masyarakatnya sendiri. Tradisi laki-laki jemputan akan membuat posisi suami dalam rumah tangga berada di bawah kekuasaan istri. Suami menjadi orang yang tidak dapat memimpin bahtera rumah tangga sebagaimana mestinya karena kedudukannya telah digantikan oleh istri. Sebagai ganti, suami hanya dipandang sebagai orang luar sehingga tidak memiliki hak apa-apa terhadap istri dan anaknya. Kondisi yang demikian akan berakibat renggangnya hubungan suami dengan keluarganya. Bahkan kedudukan dan posisi suami dalam keluarga tidak ubahnya seperti orang lain atau tamu. Selanjutnya adat yang mengharuskan pernikahan sesama orang Minangkabau menjadi bagian yang dikritik oleh Marah Rusli. Pernikahan sesama suku diharuskan agar harta pusaka nantinya tidak akan jatuh ke orang lain. Dalam adat ini, Marah Rusli mengkritik karena jodoh adalah kehendak Tuhan. Manusia sebagai manusia biasa tidak dapat melawan kehendak yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Dalam adat Minangkabau juga diharuskannya seorang bangsawan untuk menikahi banyak perempuan. Ini dikarenakan untuk membagi gelar kebangsawanannya. Kondisi ini juga yang menjadi sasaran kritik Marah Rusli. Meskipun agama tidak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu, namun jika tidak dibarengi dengan penghasilan dan hanya berpangku tangan dengan istri, maka lebih baik tidak dilakukan. 2. Relevansi penelitian ini dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra dapat digunakan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran apresiasi kesusastraan. Kritik sosial yang ada dalam novel ini dapat menambah wawasan siswa mengenai unsur ekstrinsik yang berhubungan dengan latar budaya.

B. Saran

Novel ini dapat dijadikan sebagai sumber belajar di sekolah karena dalam novel Memang Jodoh, terdapat kebudayaan Minangkabau di tahun 1920an yang saat ini hampir sudah dilupakan masyarakat. Selain itu, para guru dan siswa selayaknya menyadari bahwa pembelajaran sastra bukan sekadar membaca karya sastra, namun juga mengetahui alasan munculnya karya sastra. Penggunaan novel Memang Jodoh membuat siswa akan memahami salah satu khasanah kebudayaan yang ada di Indonesia. Siswa tidak hanya membaca sebuah karya sastra tetapi juga mengetahui seluk beluk budaya di Padang puluhan tahun silam. Dengan demikian, siswa dapat memahami kondisi masyarakat Minangkabau di tahun 1920an. 76 DAFTAR PUSTAKA Adinegoro, Djamaludin. Tata Kritik. Jakarta: N.V. Nusantara. 1958. Ali, Lukman.Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956. Jakarta: Balai Pustaka. 1994 Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Penerbit Sinar Baru. 1987. Amir M.S. Adat Minangkabau: Pola Hidup dan Tujuan Orang Minang. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. 1999. Anonim. Daftar Pengarang Indonesia. Jakarta: Lembaga Bahasa dan Kesusastraan. 1965. Anwar, Chairil. Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 1997 A. Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 1984. B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1993 Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud. -------------------------------. Politik Ideologi. dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999. Edraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta: Medpress. 2008. E. Kosasih. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Nobel Edumedia. 2008. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Junus, Umar. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia. 1983 --------------- Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 1984 Kurniawan, Heru. Teori. Metode. dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. K.M., Saini. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa. 1987 Mardanas, Izarwisma. Marah Rusli: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: