Kritik Sosial dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli
keturunan Jawa serta hidup di lingkungan yang menganut tradisi tersebut justru tidak mengikuti adat negerinya. Meskipun orang-orang akan
memandangnya sebagai laki-laki jemputan namun itu dilakukan agar tidak mendapat hukum sosial di masyarakatnya.
2. Nikah sesama suku Minangkabau
Koentjaraningrat dalam Yahya Samin dan kawan-kawan memaparkan bahwa pernikahan di Minangkabau bersifat eksogami yaitu melarang
pernikahan sesama suku karena masih bersaudara. Selain itu, pernikahan di sana juga menganut sistem endogam yaitu mengutamakan pernikahan
sekampung. Seseorang akan lebih dihormati lagi jika menikah dengan anak mamaknya saudara laki-laki ibu sehingga mempermudah pembagian harta
pusaka.
124
Sistem endogam ini merupakan salah satu kritik yang disampaikan Marah Rusli di novelnya lewat tokoh Hamli.
Sejak masih kecil, Hamli sudah dijodohkan dengan anak mamaknya. Sesuai dengan garis keturunan ibu, maka hubungan seseorang dengan anak
pamannya menjadi tidak sedarah. Perjodohan anak dengan kemenakan dilakukan untuk mempermudah pembagian harta pusaka nanti. Hanya saja
Hamli menolak dijodohkan dengan anak mamaknya meskipun biaya sekolahnya selama ini dibiayai oleh mamaknya.
“Pertama, karena perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan; sehingga anak yang
akan menjalani dan akan merasakan buruk-baik perkawinan itu seumur hidupnya, dan tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orang
tua
atau mamaknya.”
125
Meskipun dalam sebuah pernikahan melibatkan kedua keluarga, namun pada dasarnya yang menjalani adalah dua orang, suami dan istri. Anak yang
kelak akan menjadi suami atau istri sudah seharusnya tahu bagaimana calon pasangannya karena akan hidup bersama seumur hidupnya. Ketidakaktifan
anak dalam menentukan pasangannya nanti dapat diibaratkan membeli kucing dalam karung. Anak tidak dapat menentukan apakah orang tersebut layak atau
124
Yahya Samin,dkk, Sistem Pengendalian Sosial Tradisional Daerah Sumatera Barat, Jakarta: Depdikbud, 1993 h. 25
125
Marah Rusli, op. cit., h. 58.
tidak menjadi pasangannya karena semua hal itu menjadi urusan orang tua dan mamaknya. Akhirnya, ia akan tahu pasangannya justru setelah pernikahan
itu dilaksanakan. Pengaitan pernikahan dengan sesama orang Minangkabau karena
orang-orang tua biasanya masih berpegang teguh dengan adat istiadat dan pernikahan selalu dikaitkan dengan urusan orang tua, bukan anak. Dalam
kasus Hamli, ia juga diharuskan mengikuti tradisi nenek moyangnya. Ketika Din Wati dan Hamli ingin melanjutkan cinta mereka ke jenjang pernikahan,
Burhan memberitahu Din Wati masalah pernikahan dalam adat di Padang. “Laki-laki di Padang tak diizinkan kawin dengan perempuan yang bukan
masuk suku Padang. Dipandang sangat hina apabila seorang laki-laki, lebih-lebih perempuan, kawin dengan orang yang berasal dari daerah lain.
Oleh sebab itulah, perkawinan campuran biasanya tidak tahan lama dan tak dapat dipertahankan, segera putus kembali; karena ia membawa
beberapa halangan, dan dihalang-halangi. Jika lama juga jodoh mereka, perkawinan itu akan menjadi neraka dunia, bagi suami, lebih-lebih
istrinya.”
126
Ketika Hamli memutuskan untuk tetap menikahi Din Wati, gadis yang bukan berasal dari Padang, maka keluarga Hamli bukan hanya murka tapi
juga berbuat segala cara untuk memisahkan mereka. Cara-cara yang digunakan juga beragam, mulai dari memfitnah Din Wati, sampai mencelakai
istri Hamli tersebut. Keluarga Hamli begitu berambisi untuk mengembalikan Hamli ke jalan yang sesuai dengan adat nenek moyang mereka, seperti dalam
kutipan berikut. “Tetapi mengapa Din Wati yang harus dicelakakan karena dia tidak
bersalah dalam hal ini?” dakwa Mpok Nur. “Supaya Hamli menderita kesedihan sebab ditinggalkan istrinya, yang
tentulah dicintainya. Mungkin juga, seperti telah saya katakan tadi, supaya Hamli bebas pula dan suka dipinangnya kembali.”
127
Datuk Sati adalah seorang penenun
128
yang diperintah keluarga Hamli untuk membinasakan Din Wati. Penggunaan penenun seperti ini digunakan
126
Ibid., h. 155.
127
Ibid., h. 326.
128
Dalam Memang Jodoh, penenun berarti orang yang bisa melihat masa depan lewat ramalannya. Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, penenun dapat dikatakan paranormal.
ketika keluarga Hamli patah arang untuk memisahkan Hamli dan Din Wati. Pasangan ini tetap berpegang teguh untuk mempertahankan pernikahan di
tengah tuntutan adat yang dialamatkan pada Hamli. Oleh karena itu, jalan menggunakan penenun digunakan. Hanya saja, cara ini pun tidak berhasil.
Pengarang mengungkapkan bahwa Din Wati dilindungi oleh arwah kakaknya yang dulu hilang di kandungan ibunya. Ditambah keluarga Din Wati juga
memiliki seekor harimau jadi-jadian. Tradisi menikahkan anak dengan sesama orang Minangkabau juga
membelenggu sedemikian kuat di pikiran orang-orang Minangkabau sehingga melakukan segala cara agar dapat menjalankannya. Tradisi yang dibuat nenek
moyang dengan maksud baik justru diperoleh dengan cara tidak baik, yaitu mencelakai orang lain dengan diguna-guna tukang tenun. Ini bentuk kritikan
yang disampai oleh Marah Rusli, bahwa adat yang sedemian rupa justru akan membuat orang Minangkabau celaka dengan perbuatan jahatnya. Tradisi
nenek moyang tidak seharusnya dipegang teguh tanpa memperhatikan baik buruknya bagi masyarakat Minangkabau.
Untuk melawan tradisi ini, maka Marah Rusli menggunakan cara yang juga tidak masuk akal bagi orang-orang berpendidikan. Jika pernikahan
sesuku dipertahankan dengan alasan yang kurang realistis, maka Marah Rusli juga menggunakan alasan serupa untuk melawannya. Orang-orang di
Minangkabau yang masih memegang tradisi adalah orang-orang tua yang percaya dengan hal-hal di luar nalar manusia, yaitu hal-hal berbau mistis.
“Takala dia tiga bulan dalam kandungan ibunya, Anjani telah mendapat ilham, yaitu suatu mimpi. Dalam mimpi itu, suaminya, Sutan Bendahara,
datang dari tanah Jawa membawakannya seekor burung Bayan burung Nuri yang amat elok rupanya, dalam sebuah sangkar yang permai, lalu
diberikannya kepada Anjani, sebagai buah tangan dari Jawa. Burung ini diterima oleh Ajani dengan amat suka hati, lalu diletakkannya di atas
pangkuannya, dipandang dan dipermainkannya beberapa lamanya dengan riang gembira.
Ketika kami tanyakan kepada ahli nujum yang pandai, apa tabir mimpi itu, dia berkata: anak yang dikandung Anjani, Hamli ini, jodohnya ada di
tanah Jawa.”
129
129
Ibid., h. 140-141.
Marah Rusli menggunakan mimpi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan adat Minangkabau. Jika dilihat dari logika, alasan seperti ini tidak
masuk akal sebagai cara untuk menikahi Din Wati. Sebuah mimpi burung Nuri tidak ada hubungannya dengan jodoh anak yang dikandung Anjani kelak.
Namun, tentu cara ini lebih terdengar masuk akal bagi para tetua adat yang masih menjunjung tradisi nenek moyang. Jika alasan yang digunakan kalau
Din Wati adalah perempuan baik, pintar, dan cantik yang digunakan Hamli untuk menikahi perempuan itu, niscaya akan sulit diterima bagi tetua adat.
Karena bagi tetua adat, alasan terkuat untuk menikah gadis adalah uang jemputan yang besar dan gadis itu berasal dari Minangkabau.
3. Menikahi banyak perempuan
Dalam adat Minangkabau, seorang laki-laki khususnya kaum bangsawan diharuskan menikahi lebih dari satu perempuan Minangkabau. Karena
meskipun seorang anak akan mengikuti suku ibunya, namun gelar bangsawan ayah akan jatuh ke tangan anaknya. Seorang mertua akan bangga jika anak
perempuannya menikah dengan bangsawan. Oleh karena itu, mereka akan menjemput laki-laki bangsawan dengan uang yang banyak agar mau
dijadikan menantu. Dalam Memang Jodoh, persoalan menikahi banyak perempuan menjadi
salah satu kritikan Marah Rusli. Bahkan jauh sebelum menceritakan konflik Hamli dengan tradisi ini, Marah Rusli mengungkapkan bangsawan di Padang
yang menikahi lebih dari satu perempuan, yaitu Sutan Bendahara, ayah Hamli.
Sungguh pun dia masih sayang pada istrinya ini dan telah beroleh dua anak laki-laki darinya-sayang yang bungsu tak panjang umurnya, karena
dia meninggal muda-tetapi karena paksaan kakaknya yang perempuan, untuk menunaikan perantauan negerinya, yang memuliakan bangsawan
beristri banyak, tanda dihargai asalnya yang tinggi itu, terpaksalah dia mengawini perempuan lain.
130
Dalam agama Islam yang menjadi agama mayoritas di Padang, menikahi
130
Ibid., h. 222.
lebih dari satu perempuan dibolehkan jika dapat berlaku adil. Dalam hukum adat Minangkabau, hal seperti ini malah diharuskan karena tidak bertentangan
dengan agama. Bahkan jika seorang laki-laki hanya memiliki satu istri, itu akan membuat dirinya dan keluarganya malu dan terhina. Hal berbeda justru
diungkapkan Hamka dalam Lukman Ali bahwa poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh adat di Padang bukanlah poligami menurut Islam tetapi poligami
adat.
131
Poligami di kalangan bangsawan Minangkabau terasa mudah karena suami tidak perlu membiayai kehidupan istri dan anaknya. Suami justru diberi
nafkah oleh keluarga istrinya. Tugas suami hanyalah memberi keturunan bagi istrinya. Orang-orang berebut untuk mendapatkan keturunan dari bangsawan
agar cucunya kelak mendapatkan gelar kebangsawanan. Karena itulah banyak orang yang berlomba menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki
bangsawan, tidak peduli bahwa anaknya dijadikan madu. Pemikiran Marah Rusli tentang beristri banyak bertentangan dengan
pemikiran keluarga tokoh Hamli, khususnya para tetua adat. Bagi pengarang, beristri banyak justru akan menimbulkan permasalahan bukan kebaikan.
Lewat contoh yang dialami Adam, teman Hamli, pengarang memberi alasan mengapa ia mengkritik adat beristri banyak seperti dalam kutipan berikut.
“Semua mertuanya sibuk ke sana kemari, mencari obat lahir dan batin, untuk suami dan madu anaknya, supaya Adam sayang kepada anaknya
dan benci kepada madunya. Dan oleh sebab obat-obatan itu untuk kasih sayang, bukan untuk penyakit, mereka tak menghiraukan kesehatan
badan suaminya, sehingga Adam kian lama kian merana. Badan kurus
muka pucat dan tenaga hilang. Akhirnya tewas.”
132
Kematian Adam ternyata masih menimbulkan pertikaian keempat istrinya yang memperebutkan harta warisan Adam. Mereka bertengkar ketika jenazah
Adam masih berada di rumah hingga menimbulkan aib. Hingga akhirnya kemenakan Adam datang mengusir keempatnya yang tidak mendapatkan
apa-apa.
131
Lukman Ali, op. cit., h. 117.
132
Marah Rusli, op.cit., h. 280.
Kisah Adam yang berakhir dengan kematian karena beristri empat dijadikan pelajaran oleh Hamli. Bahkan Mahmud yang menceritakan kisah ini
menasihati Hamli agar tidak mengikuti perbuatan Adam meskipun dipaksa oleh adat. Tradisi yang melekat dalam tubuh masyarakat Minangkabau justru
mencelakai orang-orangnya. Hamli menjadikan cerita Adam sebagai alasan untuk menentang beristri
banyak yang dipaksakan keluarganya selain dia yang memang tidak suka beristri banyak. Meskipun demikian, keluarganya bersisih kukuh agar Hamli
mau berpoligami dengan menikahi perempuan di Padang sebagai bentuk pelepasan hutang ke nenek moyang. Ketika Hamli menolak, ia justru dibuang
secara adat dari keluarganya. Ia tidak dianggap lagi sebagai orang Padang. 4.
Hubungan Mamak dan Kemenakan Adat istiadat mengenai pernikahan dalam masyarakat Minangkabau tidak
terlepas dari sistem yang dianut masyarakatnya. Minangkabau menganut sistem matrilineal, sebuah sistem di mana garis keturunan ada di pihak ibu.
Selain itu, yang membedakan masyarakat Minangkabau dengan masyarakat lain adalah kekuasaan terhadap seorang anak ada di mamak atau saudara
laki-laki ibu bukan orang tua. Umar Junus memaparkan bahwa sebagai suatu ideologi, mamak memiliki
dua arti, yaitu: a
Seseorang yang menjaga kesejahteraan material dari keluarga matrilinealnya.
b Seseorang yang berusaha untuk menjaga tak terjadinya pelanggaran
adat.
133
Hubungan antara mamak dan kemenakan inilah yang merupakan kelanjutan dari sistem matrilineal. Seperti pembahasan sebelumnya bahwa
dalam pernikahan, seorang anak akan masuk ke dalam suku ibunya dan dikepalai oleh seorang mamak. Kebutuhan anak secara otomatis menjadi
tanggung jawab mamak.
133
Umar Junus, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, h. 52.
Sebenarnya, kemenakan tidak harus anak dari saudara kandung mamak. Chairil Anwar memaparkan jenis-jenis kemenakan dalam masyarakat
Minangkabau, yaitu: a
Kemenakan bertali darah yaitu kemenakan kandung yaitu anak dari saudara-saudara perempuan mamak.
b Kemenakan bertali sutera yaitu kemenakan jurai yang lain tapi masih
berhubungan darah dengan jurai mamak. c
Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan di bawah lutut, orang yang bekerja pada mamak dengan diberi emas uang dan dengan
persetujuannya dijadikan kemenakan. d
Kemenakan bertali budi yaitu dari orang-orang yang hidupnya berpindah tempat dan di tempat baru mencari mamak baru.
134
Dalam Memang Jodoh, Hamli termasuk kemenakan bertali darah karena mamaknya merupakan adik kandung ibu Hamli. Hubungan Hamli dan
mamaknya, Baginda Raja seperti layaknya hubungan mamak dan kemenakan di Padang. Baginda Raja menjadi orang yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan material Hamli. Bahkan ketika Hamli bersekolah di sekolah pertanian di Bogor, mamaknya juga memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Ayahku setuju dengan cara ini dan sanggung membiayaiku di negeri Belanda Rp90,- sebulan, yang dipandang cukup oleh Tuan Smith untuk
di sana apabila aku hidup sederhana,” jawab Hamli. “Sedang mamakku Baginda Raja telah pula mengadaikan sawahnya Rp1.000,- untuk
membeli pakaian musim panas dan musim dingin dan keperluan yang lain-
lain.”
135
Sebenarnya kewajiban mamak terhadap kemenanakannya tidak hanya sekadar pemenuhan kebutuhan secara materi tapi juga moril. Ketika
kemenakannya dalam kesulitan, mamaklah yang nantinya memberi peetunjuk dan nasihatnya. Jika kemenakannya seorang perempuan, mamak yang akan
menjaga kesucian dan martabat kemenakannya. Penjagaan moril yang dilakukan Baginda Raja terhadap Hamli agar
134
Chairil Anwar, Hukum Adat Indonesia: Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1997, h. 87.
135
Marah Rusli, op. cit., h. 28.
kemenakannya tidak melanggar adat Minangkabau. Hal ini yang menjadi alasan Baginda Raja menjadi sosok yang vokal memaksa Hamli untuk
menikahi gadis Minangkabau. Secara ekstrim, mamak akan memaksa kemenakannya untuk mengikuti aturannya.