namun ulama Jumhur tidak mewajibkannya, akan tetapi hukumnya hanyalah sunnat.
14
Adapun dasar hukum talak menurut beberapa hadis, diantaranya sebagai berikut:
Artinya: “Dari ibnu Umar r.a bahwasanya dia menceraikan istrinya
yang dalam keadaan haid pada masa Rasulullah SAW. Maka Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut,
Rasulullah menjawab: perintahkan anakmu itu supaya rujuk kembali kepada isterinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan
tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak ia boleh
meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan juga menghendaki, ia boleh menceraiakannya sebelum ia mencapurinya. Demikianlah
iddah diperintahkan Allah saat wanita itu diceraikan
”. HR. Muttafaqun „Alaih
15
Talak juga di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi sebagai berikut:
14
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, h. 129.
15
Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis- Hadis Muttafaq’alaih
Bagian Munakahat dan Mu’amalat, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-1, h. 62.
Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
SAW: “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq”. HR. Abu Daud
16
Pada prinsipnya, talak merupakan suatu yang dimakruhkan. Hal ini diketahui dari hadis diatas, terlihat sekali bahwasanya Nabi
sangat tidak senang dengan perbuatan talak ini dan menghukuminya sebagai perbuatan yang makruh. sedangkan
menurut ijma’, dari Ibnu Qudamah mengatakan, “Kaum muslimin sepakat secara bulat ijma’
atas kebolehan talak ada berbagai pertimbangan pun menunjukkan kebolehannya
”.
17
2. Hukum Positif
Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum material serta menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya adalah Pancasila. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, UU No.
1 Tahun 1974 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan termasuk perceraian.
Ketentuan normatif khususnya perceraian terkandung dalam Bab VIII UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya
mengatur putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, yang di uraikan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 dilaksanakan, dalam arti
16
Abu Daud Sulaiman al- Asy’ats al-Sijistani, Sunah Abu Daud, Bab Karahiyah
al=Thalaq, Riyadh: Maktabah al- Ma’arif, t.h.,, h. 379.
17
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, Cet. Ke-2, h. 363.
norma-norma hukumnya dijabarkan secara lebih konkret dalam peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya dalam Peraturan Menteri Agama Permenag Nomor 3 Tahun 1975.
18
Perceraian dalam hukum positif, diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 113 jo Pasal 38 UUP yang menyatakan
bahwa “Perkawinan dapat putus karena: a Kematian, b Perceraian, dan c atas putusan Pengadilan. Dan pada Pasal 114 menyebutkan:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian
”.
19
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 39 menyebutkan bahwa:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
20
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
18
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 86.
19
Undang-Undang Peradilan Agama: UU Ri Nomor 50 Tahun 2009 Dan Kompilasi Hukum Islam KHI, Graha Pustaka Yogyakarta, h. 171.
20
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
Peraturan perundangan tersendiri ”.
21
Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini
merupakan salah satu wewenang absolut Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara- perkara ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan ekonomi syariah.
22
Perceraian sebagai satu peristiwa hukum yang secara faktual banyak terjadi dalam masyarakat tentunya menimbulkan akibat
hukum, baik terhadap kedudukan, hak dan kewajiban suami dan istri, anak, harta bersama yang telah mereka peroleh dalam perkawinan.
Undang-undang No, 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya yang secara fungsional harus mampu mencegah dan mempersukar
terjadinya perceraian, dan jika terjadinya perceraian itu tidak dapat dihindari lagi, maka harus dapat melindungi hak dan kewajiban suami
21
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218.
22
Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang: UIN Malang Press, 2008, h. 193.
dan istri, anak-anak dan harta bersama yang dihasilkan dalam perkawinan.
23
C. Macam-macam Perceraian
1. Talak
Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkan dengan kata talak dalam arti kata putusnya perkawinan, karena antara
suami dan istri sudah lepas hubungannya masing-masing sudah bebas.
24
Talak bisa diklasifikasikan menjadi berbagai jenis sesuai dengan aspek pandangannya. Dari segi dampak pengaruh yang
ditimbulkan, maka talak ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: a.
Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan membolehkan suami untuk kembali kepada istrinya selama masih
dalam masa iddahnya tanpa akad baru.
25
Apabila dia berkehendak untuk kembali dalam kehidupan dengan mantan suami atau
istrinya, dalam bentuk talak ini cukup mengucapkan rujuk kepada mantan suami.
26
23
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 62.
24
Muhammad Syaifuddin, Sri Trutmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Peceraian, h. 117.
25
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, h. 413.
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,Jakarta: Kencana, 2007, h. 220.