Agama”. Dengan jauhnya jarak inilah membuat masyarakat enggan untuk pergi menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama.
21
d. Pola Pikir Masyarakat Terhadap Pengadilan Agama
Dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang kurang terhadap lembaga Pengadilan Agama dan hanya mendengarnya dari cerita
orang dan dari mulut kemulut, sehingga mempengaruhi masyarakat yang menimbulkan anggapan bahwa Pengadilan Agama merupakan sebuah
lembaga yang menakutkan dan mempersulit perkara perceraian. Sehingga ini sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap Pengadilan
Agama. Hal ini disampaikan oleh Ghozi, salah satu Panitera Muda Hukum
Pengadilan Agama Kuala Tungkal, yaitu “sebagian masyarakat ingin memudahkan perceraian, karena pola pikir masyarakat terhadap
pengadilan sebagai suatu lembaga yang menakutkan dan mempersulit bagi mereka. Sebenarnya pengadilan itu tidak mempersulit, namun memang
harus ada proses persidangan yang dilakukan dalam menyelesaikan perkara di pengadilan. Dengan adanya proses hukum yang berjalan itulah
menyebabkan masyarakat semakin fobia atau merasa takut terlebih dahulu
21
Wawancara Pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal H. Dongan, di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, 16 Juni 2015.
sebelum mengurus ke pengadilan”.
22
Inilah salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat, sehingga masyarakat merasa
takut untuk menyelesaikan perkara perceraiannya di pengadilan. e.
Waktu Persidangan dan Rasa Malas Selain dari pada faktor-faktor diatas, ada juga faktor penting
lainnya yang mempengaruhi masyarakat melakukan perceraian di luar pengadilan yaitu masalah proses persidangan di pengadilan yang begitu
lama, sedangkan kemauan dari masyarakat sendiri adalah supaya masalah perceraiannya cepat terselesaikan. Pendapat ini diungkapkan oleh
Sugiyanto, yaitu “adapun proses melakukan perceraian di pengadilan, yang saya ketahui prosesnya sangat rumit dan lama”.
23
Prosedur yang rumit dan proses perceraian yang membutuhkan waktu lama menjadi inilah salah satu hambatan bagi warga, sehingga
menimbulkan rasa malas untuk menyelsaikan masalah perceraianya di pengadilan dan membiarkan permasalahannya berlarut bertahun-tahun
lamanya tanpa ada kejelasan status.
22
Wawancara Pribadi dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kuala Tungkal Ghozi, di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, 8 Juni 2015.
23
Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Sugiyanto.
3. Kesadaran Hukum Masyarakat Tentang Perceraian di Pengadilan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya tentang pengertian kesadaran hukum yang berarti keinsyafan yang menjadi dasar dari suatu tekad terdapat
dalam diri manusia tentang hukum yang berlaku dan ada. Dari keterangan terbut di atas, menunjukan bahwa pemahaman dan pengetahuan masyarakat
tentang hukum yang berlaku sebagai pengatur dalam setiap tindakan sangat berpengaruh terhadap kesadaran hukum. Ketika jarak antara hukum dan
kondisi masyarakat sangat jauh, bukan tidak mungkin yang terjadi adalah ketimpangan. Hukum yang seharusnya mengatur dan menjadi kontrol social
masyarakat, justru sebaliknya malah menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang tempat yang benar untuk melakukan proses perkara perceraian yaitu di depan sidang pengadilan
adalah baik, hal ini terlihat dari jawaban-jawaban masyarakat atas pertanyaan: Menurut bapakibu, di manakah melakukan proses perceraian
yang benar? Alasannya Jawaban masyarakat atas pertanyaan di atas adalah, Sugiyanto: “Di
Pengadilan Agama, karena memang biasanya untuk mengurus masalah perceraian di sana
”. Fatonah: “Di Pengadilan Agama, karena memang tempat berceraia diurus disana
”. Janatun: “Di Pengadilan Agama, karena
Pengadilan merupakan suatu lembaga yang ditugaskan Negara untuk menangani masalah perceraian. Jika perceraian yang dilakukan di rumah
saja, mungkin menurut agama sah, akan tetapi tidak diakui oleh Negara ”.
Paula Agustina: “Mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, karena sepengetahuan saya memang di sana orang mengurus cerai
”. Nuryani: “Di Pengadilan Agama, karena sepengetahuan saya disitu tempatnya karena
saya sudah pernah mengurus perceraian saya disana dengan suami saya yang pertama
”. Jemikan: “Setahu saya di Pengadilan Agama, memang tempat menyelesaikan masalah cerai disana
”. Yulis Indrawani: “Di Pengadilan Agama, karena memang tempat orang menyelasaikan masalah
cerai disitu dan mungkin ada solusi yang didapat di pengadilan, siapa tahu saja kami bisa kembali lagi dengan adanya mediasi, jika tidak ada jalan
keluar jalan terakhi r yang ditempuh adalah dengan perceraian”.
Kemudian juga terlihat dari jawaban masyarakat atas pertanyaan: Apakah bapakibu tahu bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan?. Adapun jawaban-jawaban yang diutarakan atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: Sugiyanto:
“iya, saya sudah tahu”, Fatonah: “iya, saya tahu bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
pengadilan”, Janatun: “iya, saya tahu bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di pengadilan”, Paula Agustina: “iya, saya tahu hal itu”, Nuryani:
“iya saya tahu”, Jemikan: “kalau itu saya kurang paham”, Yulis Indrawani:
“iya saya tahu itu”. Dari semua jawaban di atas, menunjukkan bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai tempat yang benar dalam
menyelesaikan masalah perceraian dan bahwa sebenarnya perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan adalah cukup baik.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 39 ayat 1 jo. Pasal 115 KHI yang menyatakan bahwa
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”. Setelah peraturan ini disahkan oleh Negara, maka masyarakat Indonesia wajib untuk mengikuti peraturan tersebut khususnya
bagi umat beragama Islam dan apabila tidak mengikutinya sama artinya bahwa mereka telah melanggar aturan atau ketentuan undang-undang yang
telah ada. Masalah perceraian di luar pengadilan, memang masih banyak terjadi
di Kabupaten Tanjab Barat termasuk desa Serdang Jaya, hal ini disampaikan oleh wakil ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal tentang pertanyaan:
“Menurut bapak, apakah masih ada masyarakat yang melakukan perceraian di luar sidang pengadilan?”. Kemudian jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
“Prediksi saya, masih banyak masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari data perkecamatan, untuk daerah
Tungkal Ilir merupakan daerah yang terbanyak melakukan perceraian yaitu
sebanyak 52 orang, sementara di Tungkal Ulu yang banyak penduduknya hanya ada 3 orang, kemudian di daerah Batang Asam
hanya ada 2 orang saja yang bercerai. Hal ini tidaklah mungkin jika tidak ada perceraian disana,
mengingat banyaknya jumlah penduduk yang ada dan kemungkinan besar masyarakat belum mendaftarkan perceraiannya di pengadilan
”.
24
4. Upaya Pembinaan Hukum Pada Masyarakat
Hukum adalah suatu pola kehidupan dalam masyarakat, oleh karena masyarakat itu sendiri menghendaki proses pergaulan hidup yang normal,
yang berarti adanya suatu keserasian antara kepentingan-kepentingan hidup berkelompok dengan kepentingan-kepentingan hidup perorangan atau
pribadi. Dengan adanya masa transisi yang terjadi pada masyarakat Indonesia pada saat ini adalah suatu pergaulan hidup yang sedang mengalami
perubahan-perubahan dalam sistem nilai-nilainya, termasuk di dalamnya sikap dan pola prilaku masyarakat. Sehingga pembinaan dalam bidang hukum
harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapainya ketertiban dan kepastian hukum.
25
24
Wawancara Pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal H. Dongan, di Pengadilan Agama Kuala Tungkal.
25
Soejono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1979, h. 37.