Kondisi Sosial dan Kependudukan

diselesaikan di pengadilan dan 13 orang yang belum menyelesaikan ke pengadilan, itu yang diketahui oleh ketua Rt setempat. Tabel 1.7 Jumlah Perceraian Masyarakat Desa Serdang Jaya 9 No RT Sudah Bercerai di Pengadilan Agama Belum Bercerai di Pengadilan Agama 1. 01 4 Orang 1 Orang 2. 02 3 Orang 2 Orang 3. 03 1 Orang - 4. 04 1 Orang - 5. 05 5 Orang 2 Orang 6. 06 2 Orang 2 Orang 7. 07 2 Orang 1 Orang 8. 08 - - 9. 09 - 1 Orang 10. 10 - 1 Orang 11. 11 - - 12. 12 3 Orang 3 Orang Jumlah 21 Orang 13 Orang 9 Wawancara pribadi dengan Ketua RT. 01-12 Desa Serdang Jaya Kecamatan. Betara Kabupaten. Tanjab Barat, Jambi. Berdasarkan data dan informasi yang penulis dapatkan dari Pengadilan Agama Kuala Tungkal, perkara perceraian yang terjadi di Kabupaten Tanjab Barat dari tahun 2013-2015 sd. September sebanyak 953 perkara perceraian, dan telah terjadi peningkatan pada setiap tahunnya. Seperti tabel dibawah ini: Tabel 1.8 10 Jumlah Data Perceraian di Pengadilan Agama Kuala Tungkal No Tahun Jumlah 1. 2013 343 2. 2014 344 3. 2015 sd. September 266 Jumlah 953 Adapun faktor ekonomi merupakan penyebab pertama yang mendominasi alasan perceraian pada masyarakat, kemudian juga faktor yang banyak dijadikan alasan oleh masyarakat adalah tidak tanggung jawab dan tidak ada keharmonisan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1.9 Data Faktor Penyebab Terjadi Perceraian di Pengadilan Agama 11 10 Data perkara perceraian tahun 2013-2014, Pengadilan Agama Kuala Tungkal. 11 Data perkara perceraian tahun 2013-2014, Pengadilan Agama Kuala Tungkal. No Faktor Penyebab Perceraian Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 1. Cemburu 1 - 1 2. Ekonomi 106 156 105 3. Tidak Tanggung Jawab 83 81 72 4. Gangguan Pihak Ketiga 11 9 5 5. Tidak ada Keharmonisan 79 80 80 6. Dihukum 2 3 2 7. Kawin Paksa - - 1 Jumlah 281 329 266 58 BAB IV KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI DESA SERDANG JAYA TENTANG PERCERAIAN A. Motif Yang Melatarbelakangi Terjadinya Perceraian Di mata hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja. Artinya, harus ada yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan suatu perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabenenya berwenang memutuskan apakah suatu perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut segala konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Adapun alasan-alasan terjadinya perceraian, terdapat dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: 1 1. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 1 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 166 terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian yang khusus, berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama Islam, yaitu: 1. Suami melanggar Taklik Talak. 2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Adapun pengertian dari Taklik Talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Bagi warga negara Republik Indonesia yang melaksanakan perkawinan menurut agama Islam, terdapat kemungkinan cara perceraian atas pengaduan pihak istri karena suami melanggar Sighat Taklik yang dinyatakan oleh suami segera setelah terjadi akad perkawinan, yaitu pernyataan suami bahwa sewaktu-waktu suami: 1. Meninggalkan pergi istrinya dua tahun berturut-turut. 2. Atau suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami memberi nafkah kepada istrinya dalam masa tiga bulan berturut-turut. 3. Atau suami menyakiti istrinya dengan memukul. 4. Atau suami membiarkan istrinya dalam masa enam bulan berturut- turut. 2 Putusnya perkawinan itu terdapat beberapa bentuk tergantung dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawianan itu, antara lain: 1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu, dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. 2. Putusnya perkawinan atas kehendak suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendak itu dengan ucapan atau yang disebut dengan talak. 2 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 249. 3. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu’. 4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami danatau atau istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan atau putusnya perkawinan ini disebut fasakh. 3 Adapun fenomena yang terjadi pada masyarakat desa Serdang Jaya adalah masih terdapat masyarakat yang melakukan perceraian diluar sidang pengadilan atau perceraian di bawah tangan dengan berbagai macam penyebab, alasan dan belum menyelesaikannya di pengadilan. Sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak istri dan anak. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya penelitian tentang kesadaran hukum pada masyarakat terhadap aturan yang ada, sehingga ini berakibat adanya perbedaan antara teori dan praktek dilapangan pada masyarakat. Berdasarka hasil penelitian, terdapat beberapa alasan yang berbeda, yang mendasari terjadinya perceraian antara satu narasumber dengan narasumber lainnya, sebagaimana diketemukan sebagai berikut: 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 197. Sugiyanto: alasanan saya bercerai dengan mantan istri saya, karena sudah tidak ada kecocokan antara kami berdua. 4 Perceraian yang terjadi pada bapak Sugiyanto dilakukan atas dasar kerena sudah tidak ada kecocokan lagi antara suami istri, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga. Perceraian ini dinamakan cerai talak karena putusnya perkawinan atas kehendak suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendak itu dengan ucapan. Ini berdasarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 angka 6. Fatonah: penyebab saya ingin bercerai dengan suami adalah karena sering bertengkar dengan suami, selain itu juga karena suami sering melakukan KDRT kekerasan dalam rumah tangga kepada saya. Dan juga tidak diberikan nafkah lahir maupun batin kepada saya. 5 Nuryani: saat berpisah itu suami langsung pergi dari rumah meninggalkan saya dengan membawa surat nikah saya, dan penyebabnya karena suami saya itu sering memukuli saya terus menerus atau KDRT kekerasan dalam rumah tangga. Dan keluarga saya tidak terima, sehingga ingin menuntut atas perbuatannya terhadap saya ke 4 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Sugiyanto, di kediamannya, 3 Juni 2015. 5 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Fatonah, di kediamannya 11 Juni 2015. kantor polisi, sehingga dia pergi dari rumah saya dan tidak berani lagi datang kerumah saya. 6 Perceraian yang terjadi pada ibu Nuryani dan ibu Fatonah disebut dengan cerai gugat khulu’ yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. Karena di sini yang menjadi penyebab perceraian antara ibu Nuryani dan ibu Fatonah adalah kekerasan dalam rumah tangga KDRT yang dilakukan oleh suaminya, maka alasan perceraian ibu Fatonah dan ibu Nuryani ini dibenarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi tentang alasan yang dapat digunakan menjadi dasar un tuk perceraian, sebagaimana terdapat dalam angka 4 yaitu “Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Adapun alasan perceraian lainnya yang diutarakan oleh ibu Fatonah adalah karena suami tidak memberikan nafkah lahir maupun batin dan terjadinya pertengkaran, alasan ini dibenarkan dalam Pasal 19 angka 6 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu “Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah t angga”. 6 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Nuryani, di kediamannya, 30 Juli 2015. Janatun: penyebab perceraian saya dengan suami ini karena sudah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga dan juga karena sudah tidak sepaham antara kami berdua dalam hal urusan rumah tangga. 7 Perceraian yang terjadi pada ibu janatun dengan alasan karena sudah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga dan tidak sepaham antara suami istri dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran, sehingga sudah tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan ini dibenarkan dengan mengacu pada PP No. 9 Tahun 1975 pada Pasal 19 angka 6, dan perceraian ini dinamakan dengan cerai gugat Khulu’. Paula Agustina: saya ingin bercerai dengan suami itu, ya karena sudah tidak cocok lagi dan juga sering terjadi pertengkaran antara kami berdua dan sudah 2 tahun tidak tahu keberadaannya dan tidak ada kabar dari mantan suami saya. 8 Perceraian yang dialami oleh ibu Paula dengan alasan ketidak cocokan dan terus menerus terjadi pertengkaran di antara suami istri, sehingga tidak ada harapan lagi untuk rukun dalam membina rumah tangga, maka perceraiannya dibolehkan sebagaimana yang terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 angka 6. Dan juga 7 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Janatun, di kediamannya, 11 Juni 2015. 8 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Paula Agustina, di kediamannya, 27 Juli 2015. karena sudah 2 tahun tidak ada kabar berita tentang suami dan tidak tahu keberadaanya, alasan ini berdasarkan PP No. 9 Tahun 1975 pada Pasal 19 angka 2 yaitu “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kema mpuannnya”. Jemikan: penyebab perceraian saya dengan istri, karena istri saya selingkuh dengan laki-laki lain dan karena perselingkuhannya itu melalui komunikasi hp saja tanpa pernah bertemu dan tatap muka dengan orang tersebut, sehingga terjadi kesalahan yaitu salah orang. Karena sudah sangat cinta dengan orang tersebut dan tidak bisa terima dengan kesalah pahaman orang tersebut, maka yang terjadi pada istri saya adalah mengalami States berat dan saya sudah berusaha membawanya berobat ke sana ke sini namun tidak ada hasilnya. Ya sudah saya akhiri saja atau lebih baik berpisah dari pada dia membahayakan orang-orang sekitar dan malu-maluin saya, toh itu kesalahan dia bukan saya. Kemudian saya langsung antarkan saja kerumah orang tuannya untuk mengurusi anaknya. 9 Perceraian yang dialami oleh bapak Jemikan dinamakan dengan cerai talak yaitu putusnya perkawinan atas kehendak suami dengan 9 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Jemikan, di kediamannya, 30 Juli 2015. alasan tertentu dan dinyatakan kehendak itu dengan ucapan talak. Adapun alasan perceraianya adalah karena perselingkuhan yang dilakukan istri dan penyakit stres istri yang tidak sembuh-sembuh. Alasan ini dibenarkan dengan mengacu dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 angka 5, yaitu “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri”, dan angka 1, yaitu “Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”. Yulis Indrawani: alasan saya ingin bercerai dengan suami saya, karena suami kurang tanggung jawab terhadap istri dan anaknya, kemudian tidak ada keterbukaan dari suami mengenai masalah apapun dalam rumah tangga dan tidak mau menghargai perempuan, karena suami saya sering menuduh saya yang macam-macam selingkuh karena saya bekerja di kantor desa. Dan pada waktu itu saya diusir oleh suami dari rumah kami. Karena tidak ada niat baik dari suami dan keluarganya untuk membicarakan hal ini, maka saya putuskan untuk berpisah saja. 10 10 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Sedang Jaya Yulis Indrawani, di kediamannya, 30 Juli 2015. Perceraian yang dialami oleh ibu Yulis dinamakan dengan cerai gugat khulu’, adapun alasan yang dikemukakan oleh ibu Yulis ini adalah karena suami kurang tanggung jawab, tidak ada keterbukaan dan tidak menghargai perempuan serta sering menuduh istrinya selingkuh, alasan ini dibenarkan berdasarkan sighat taklik talak sebagai salah satu perjanjian yang diucapkan suami setelah akad nikah, karena suami telah melanggar salah satu dari sighat taklik talak tersebut, yaitu tidak bertanggung jawab atau dengan tidak memberikan nafkah sebagai kewajiban dari seorang suami terhadap istrinya. Perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kuala Tungkal terus meningkat pada setiap tahunnya, hal ini terbukti dengan adanya data jumlah keseluruhan perkara yang diterima pada tahun 2013-2015 sd. September dengan jumlah 953 perkara. Sedangkan yang menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, terdapat tiga faktor penyebab perceraian dilihat dari 2 tahun terakhir yaitu pada tahun 2013 dan 2014 menyebutkan bahwa faktor pertama adalah faktor ekonomi yang mendominasi penyebab terjadinya perceraian pada tahun 2013-215 dengan jumlah keseluruhan 367. Faktor kedua penyebab terjadinya perceraian yaitu disebabkan karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga pada tahun 2013-2015 dengan jumlah keseluruhan 239, sedangkan faktor ketiga penyebab terjadinya perceraian adalah tidak adanya tanggung jawab dari suami pada tahun 2013-2015 dengan jumlah keseluruhan 236. 11

B. Kesadaran Hukum dan Persepsi Masyarakat Terhadap Perceraian

Dilihat Dari Perspektif Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia Kesadaran hukum serta merta berasosiasi kepada aspek yang efektif dalam maknanya sebagai „keinsyafan yang menjadi dasar dari suatu tekad’. Bertolak dengan konsep yang baru ini, program-program penegak hukum tidak hanya bertujuan menyuluh para subjek agar „mengetahui apa saja hukumnya’, akan tetapi juga ditunjuk untuk para subjek agar bersedia untuk ikut mematuhi undang-undang. Akan tetapi, dewasa ini dengan bertambahnya kemajemukan masyarakat nasional, tuntutan hukum tidaklah mungkin lagi dicukupkan pada pengetahuan dari isi undang-undang saja. Tuntutan akan berlanjut pada persoalan bersedia tidaknya seseorang itu membangun komitmen untuk menaatinya. 12 Sebagaimana uraian di atas, kesadaran hukum timbul dan ada pada diri setiap manusia. Hukum dapat ditentukan tergantung praktik sehari- hari dari pada pejabat hukum, seperti hukum dan ketertiban hukum, kedua kesadaran hukum tersebut sejalan, akan tetapi dalam kenyataanya tidak 11 Data perkara perceraian tahun 2013-2015, Pengadilan Agama Kuala Tungkal. 12 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, Ed. Kedua, Cet. 1, h. 103. selalu demikian prosesnya. Padahal, kepastian hukum dan ketertiban umum selalu menuntut agar ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditaati. 13 Apabila pembentukan hukum menertibkan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka akan timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit menerapkannya. 14 Sehingga kesadaran hukum akan sulit atau bahkan tidak mungkin terealisasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, untuk melihat apakah hukum tersebut berlaku dan berjalan sesuai dengan tujuannya, terutama terkait dengan Undang-Undang Perkawinan, maka sangat perlu untuk memperhatikan aspek masyarakat, terutama terkait dengan kesadaran hukum masyarakat.

1. Pengetahuan Masyarakat Tentang Peraturan Perudang-undangan

Dari hasil wawancara pribadi penulis dengan masyarakat tentang pengetahuan masyarakat terhadap peraturan hukum dapat dilihat dibawah ini, yaitu jawaban masyarakat atas pertanyaan “Apakah bapakibu mengetahui atau pernah mendengar Undang-undang No.1 Tahun 1974 13 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h. 167. 14 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, h. 147. tentang perkawinan dan bagaimana proses melakukan perceraian di Pengadilan?” sebagai berikut: Sugiyanto: iya saya pernah dengar saja tentang peraturan perundang-undangan tersebut. Untuk prosesnya yang saya ketahui sangat rumit itu saja. Fatonah: pernah mendengar, namun secara rinci tentang undang-undang tersebut saya kurang mengetahuinya. Untuk proses perceraiannya, yang saya tahu yaitu mengajukan perkara tersebut ke pengadilan kemudian mengikuti proses persidangan dan ada juga mediasi. 15 Janatun: saya tidak pernah mendengar peraturan perundang- undangan tersebut dan saya belum tahu tentang bagaimana proses perceraian di pengadilan. Paula Agustina: tidak, saya tidak pernah tahu tentang undang-undang tersebut dan saya juga belum tahu bagaimana prosesnya karena saya belum pernah ke sana. Nuryani: saya tidak pernah tahu tentang peraturan tersebut, sedangkan bagaimana proses perceraian di pengadilan, itu saya tahu karena saya sudah pernah mengalaminya atau bercerai di pengadilan dengan suami saya yang pertama. 16 15 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Sugiyanto dan Fatonah, di kediamannya, 3 dan 11 Juni 2015. 16 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Janatun dan Nuryani, di kediamannya, 11 Juni dan 27 Juli 2015. Jemikan: tidak, saya tidak pernah mendengarnya, dan untuk proses perceraian di pengadilan juga saya tidak mengetahuinya karena saya belum pernah mengalaminya. Yulis Indrawani: untuk peraturan undang- undang itu saya tidak pernah mendengarnya, sedangkan untuk proses perceraianya di pengadilan saya belum tahu jelas prosesnya, akan tetapi yang saya tahu ada mediasinya. 17 Berdasarkan jawaban hasil wawancara dengan para narasumber di atas mengenai pengetahuan masyarakat tentang isi peraturan undang- undang perkawinan No.1 Tahun 1974, dapat kita simpulkan bahwa sebagian warga ada yang sama sekali tidak mengetahui bahkan mendengar tentang undang-undang tersebut begitupula isinya berjumlah 5 orang, sedangkan adapula warga yang hanya sekedar tahu saja, akan tetapi tidak mengetahui apa isi dari undang-undang tersebut berjumlah 2 orang. Adapun tata cara bagaimana proses melakukan perceraian di depan sidang pengadilan telah diatur dalam Pasal 66 dan 68 UUPA jo. Pasal 131 KHI, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sudah diamandemenkan dengan Undang-undang No.3 Tahun 2006, kemudian diamandemen kembali dengan Undang-undang No. 50 Tahun 17 Wawancara Pribadi dengan warga Desa Serdang Jaya Jemikan dan Yulis Indrawani, di kediamannya, 30 Juli 2015.