Latar Belakang Masalah Kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian (studi kasus perceraian di desa serdang jaya kecamatan betara kabupaten Tanjab Barat Jambi)
lainnya dalam Peraturan Menteri Agama Permenag Nomor 3 Tahun 1975. Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.
Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak UUPA Pasal 65, jo. Pasal 115
KHI dan Pasal 39 ayat 1 UUP.
5
Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini
merupakan salah satu wewenang absolute Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun
1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan ekonomi syariah.
6
Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum keluarga di Indonesia memberikan pembatasan bagi suami untuk tidak menceraikan
istrinya secara sewenang-wenang, tetapi melalui prosedur peradilan dan
5
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h. 53.
6
Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang: UIN Malang Press, 2008, h. 193.
dengan alasan yang dapat diterima.
7
Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang di Pengadilan Agama di Indonesia.
8
Perceraian merupaka solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam
mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian atau mediasi secara maksimal dapat dilakukan atas kehendak suami ataupun permintaan
istri.
9
Dalam hal perceraian, hukum keluarga di Negara-negara muslim menetapkan peraturan yang beragam, karena sejak awal hukum Islam yang
diwariskan oleh para ulama fiqih terdahulu masih menyimpan beberapa permasalahan untuk diterapkan secara utuh dalam konteks masyarakat
kontemporer. Salah satu hal yang cukup signifikan adalah hak suami secara eksklusif untuk menceraikan istrinya dan apakah perceraian dianggap sah
ketika tidak dilakukan di hadapan pengadilan.
10
Adapun fenomena yang terjadi pada masyarakat Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi yaitu masih ada kasus
perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan atau perceraian dibawah
7
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 277.
8
Arskal Salim dkk, DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, Ciputat: PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The Asia
Foundation, 2009, h. 59.
9
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 172.
10
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.
tangan, sehingga tidak memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara teori dan praktek, serta
kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Dan belum diketahui apa yang menjadi faktor penyebab
sebagian masyarakat masih melakukan percerian di luar sidang pengadilan. Berdasarkan uraian diatas, mendorong penulis untuk melakukan survei
di desa Serdang Jaya dan meneliti apakah ada kolerasi antara yang terjadi dilapangan ataupun dilihat dari segi kepustakaannya. Dan hasil penelitian
yang dilakukan, kemudian diformulasikan oleh penulis dalam sebuah karya ilmiah yang bertajuk
“KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERCERAIAN Studi Kasus Perceraian
Di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi.