Kerangka Teori Kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian (studi kasus perceraian di desa serdang jaya kecamatan betara kabupaten Tanjab Barat Jambi)
peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit menerapkannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan tadi sesuai dengan kesadaran
masyarakat, maka masalah-masalah di dalam penerapannya hampir tidak ada. Sehingga sebenarnya ada suatu kecenderungan yang sangat kuat, agar terjadi
suatu keserasian atau kesesuaian yang propesional antara hukum yang terapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
17
Dalam hal penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia penting diperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan penegak hukum. Setidaknya,
peran serta dan adil manusia sebagai subyek hukum sangat menentukan apakah hukum tersebut berjalan secara efektif atau tidak.
18
Dalam hal ini, untuk melihat apakah hukum tersebut berlaku dan berjalan sesuai dengan
tujuannya, terutama terkait dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sangat perlu untuk memperhatikan aspek
masyarakat, terutama terkait dengan kesadaran hukum terhadap perceraian yang pada saat ini perkara tersebut mendominasi ruang sidang di Pengadilan
Agama. Agama Islam mewajibkan para penganutnya supaya menjaga dan
memelihara keutuhan dan kelanggengan pernikahan, tetapi ia membolehkan perceraian jika kehidupan diantara pasangan suami istri tidak harmonis, dan
17
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, h. 147.
18
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafik, 2013, h. 287.
jalan damai yang ditempuh selalu menemui kebuntuan. Dalam kondisi perkawinan yang demikian perceraian menjadi langkah penting yang mesti
ditempuh.
19
Perceraian menurut istilah adalah melepas tali perkawinan pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang. Sedangkan perceraian dalam
hukum positif ialah suatu keadaan di mana antara seorang suami dan seorang istri telah terjadi ketidak cocokan batin yang berakibat pada putusnya
perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan.
20
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri, Pasal 39 1 dan 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
21
Adapun tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan kedalam dua macam, yaitu cerai talak permohonan dan cerai gugat. Pasal 66 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UUPA menyatakan
19
Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2005, Cet. 1, h. 12.
20
Yayan Sopyan, ISLAM NEGARA: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: RMBooks, 2012, h. 173.
21
Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.
bahwa: “Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna
menyaksikan ikrar talak. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami. Adapun pada Bab 1
Ketentuan Umum huruf i KHI, jo. Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 diterangkan, Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri
dengan memberikan tebusan atau „iwadl kepada dan atas persetujuan
suaminya. Jadi, dengan demikian khulu’ termasuk dalam kategori cerai gugat.
22