Berawal dari kelahiran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Terbentuknya Masyarakat Kawula Kraton Yogyakarta pada 1755

2. Berawal dari kelahiran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Terbentuknya Masyarakat Kawula Kraton Yogyakarta pada 1755

Yogyakarta pada mulanya merupakan salah satu pusat Kera- jaan Jawa yang bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadining- rat yang didirikan oleh Pangeran Haryo Mangkubumi atau Raden Mas Sujana, yang setelah diangkat menjadi raja bergelar: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Bu- wono Senapati ing Ngalaga, Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifa- tullah. 1 Ia naik takhta pada tahun 1755, setelah berjuang melawan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie ) atau Kompeni Belanda yang sejak pertengahan abad ke-18 mencampuri dan mulai menguasai kekuasaan pemerintahan Kerajaan Mataram Islam di Jawa. Ia merupakan salah seorang putra Sunan Amangkurat

IV yang memerintah Kerajaan Mataram Islam di Kartasura (1719-1726), dan adik laki-laki Sunan Paku Buwana II yang ber-

1 lihat M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1992, A History of the Division of Java (London: Oxford University Press, 1974).

Djoko Suryo takhta di Istana Kraton Surakarta (1726-1749) setelah Kraton

Mataram Islam berpindah dari Kartasura ke Surakarta. Sunan Amangkurat IV sendiri merupakan keturunan Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram Islam pertama yang ber- pusat di Kotagede (1578-1602), dan juga keturunan Sultan Agung, Raja Mataram Islam terkemuka yang berpusat di Plered (1613-1645). Baik Kotagede maupun Plered terletak di wilayah Jawa Tengah bagian selatan yang kini menjadi bagian wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat Kerajaan Mataram Islam pada masa awal ini pada hakekatnya terletak di bekas wilayah Kerajaan Mataram Hindu (lama) dari abad ke-7-9, tem- pat Candi Borobudur dan Candi Prambanan berdiri sebagai warisan monumental dari kebudayaan zaman Hindu-Buddha di Jawa.

Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata melawan Kom- peni Belanda dan Penguasa Kraton Surakarta yang dianggap telah menjadi bonekanya dari 19 Mei 1746 hingga berakhir 13 Februari 1755. Mangkubumi menganggap bahwa Kraton Sura- karta pada masa itu telah berada di tangan Belanda. Perlu dica- tat bahwa sejak beberapa lama pemberontakan dan peperangan yang terjadi di Kraton Jawa berakhir dengan ikatan perjanjian- perjanjian yang menguntungkan pihak Belanda dan merugikan pihak kraton. Sejak Kompeni Belanda ikut campur dalam Perang Trunajaya (1676-1679) dan Pemberontakan Cina (1740-1743), Kerajaan Mataram harus kehilangan wialyahnya di Priyangan, Jawa Barat, dan Daerah Pesisir Utara Jawa. Keadaan ini menjadi semakin buruk ketika Sunan Paku Buwono II jatuh sakit. Sebe- lum meninggal ia dipaksa oleh VOC untuk menandatangani per- janjian yang berisi pemindahan kekuasaan pengawasan atas Kerajaan Mataram ke tangan Kompeni Belanda, untuk menjamin agar putranya Adipati Anom dapat menggantikannya dan naik takhta kerajaan di Kraton Surakarta. Perjanjian ini telah menja- dikan Kompeni Belanda menganggap Kerajaan Mataram sebagai miliknya, dan memiliki hak penuh untuk menentukan proses

Transformasi Masyarakat Indonesia... penggantian takhta kerajaan di Surakarta. Sebaliknya hal ini

telah menjadikan Pangeran Mangkubumi, yang menjadi salah seorang pewarisnya, bersama Raden Mas Said kecewa. Pada waktu Paku Buwono II meninggal, Kompeni Belanda mengang- kat Adipati Anom menjadi penggantinya dan bergelar Sunan Pakubuwono III pada 15 Desember 1749. Mendengar rencana Kompeni Belanda akan melakukan penobatan Adipati Anom tersebut, para pendukung dan pengikut Pangeran Mangkubumi mengangkat dan menobatkannya menjadi Raja Mataram di Suka- wati pada 12 Desember 1749, sebagai tanda penentangan mereka terhadap tindakan Kompeni Belanda. Selain itu, perang melawan Kompeni Belanda dan pihak penguasa kraton juga dilancarkan oleh Raden Mas Said (pada masa kemudian bergelar Mangku- negara I), dengan alasan yang sama.

Perang yang juga dikenal sebagai Perang Suksesi ke III ter- sebut di atas, berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Feb- ruari 1755. Perjanjian ini dikenal juga sebagai perjanjian Palihan Nagari (Pembagian Kerajaan), yang sebenarnya membagi wila- yah Jawa menjadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta Hadi- ningrat dan Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Peristiwa Palihan Nagari ini secara historis sekaligus juga diikuti dengan “palihan warga kawula ” Kraton Jawa menjadi dua bagian, yaitu masyarakat kawula Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat dan kawula Kerajaan Kasunanan Surakarta. Kedua kelompok masyarakat kawula Jawa tersebut dengan demikian memiliki dua panutan kepemimpinan kerajaan dan panutan gaya orientasi kebudayaan Jawa yang terpusat pada masing-masing istana kerajaannya.

Sesuai dengan pembagian wilayahnya, masyarakat pendu- kung Pangeran Mangkubumi, membangun kiblat panutannya pada Kraton Yogyakarta, yang didirikan di wilayah bekas Hutan Beringan, yaitu di Kraton Yogyakarta yang ada sampai sekarang ini. Di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwana I dan penerusnya, Kraton Yogyakarta tumbuh dan berkembang men- jadi salah satu pusat kekuasaan politik Kerajaan Islam di peda-

Djoko Suryo laman Jawa yang kokoh, karena didukung oleh basis ikatan

masyarakat pedesaan agraris yang kuat, baik dalam tata kema- syarakatan, tata ekonomi pedesaannya maupun dalam tatanan tradisi kebudayaan Jawa yang dianutnya. Sejak itulah di wilayah Yogyakarta terbentuk bangunan ikatan kesatuan komunitas sosio-politik-kultural masyarakat tradisional yang secara vertikal terdiri atas golongan masyarakat istana dan masyarakat pedesaan yang berinti pada ikatan hubungan Gusti-Kawula atau Kawula-Gusti ; dan secara horisontal terdiri atas ikatan hubungan antar komunitas masyarakat petani pedesaan agraris yang khas di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Menurut para pakar sejarah bahwa dari semua Raja Mata- ram Islam, ada dua tokoh raja yang terkemuka dan terkenal dalam Sejarah Mataram Islam di Jawa, yaitu Sultan Agung dan

Sultan Hamengku Buwono I. 2 Keduanya memerintah kera- jaannya dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengembang- kan kebesaran, keamanan, dan kemakmuran kerajaan. Keduanya juga merupakan ahli strategi militer, panglima perang yang han- dal dan berpengalaman, dan medapat dukungan dari kawu- lanya. Kedua tokoh besar Raja Mataram tersebut pada dasarnya telah menjadi tokoh idola kepemimpinan (leadership) di ling- kungan Kraton Yogyakarta dan lingkungan masyarakat kawula Yogyakarta.

Latar geo-ecosistem pedesaan agraris pedalaman Jawa yang diperkuat dengan latar historis sosio-politik-kultural Kraton Jawa dan hadirnya tokoh idola kepemimpinan tersebut di atas pada hakekatnya telah mendasari terbentuknya modal sosial (social capital) dan nilai dasar kultural (core values) bagi masya- rakat Jawa di Yogyakarta. Modal sosial-kultural beserta nilai- nilai dasar inilah yang memungkinkan masyarakat Yogyakarta memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan perubahan

2 Ibid.

Transformasi Masyarakat Indonesia... dan malapetaka kehidupan yang terjadi di sepanjang perjalanan

sejarahnya, dari semenjak masa pra-kolonial, masa kolonial sampai masa kemerdekaan.