Asal Usul Berdirinya Kesultanan Yogyakarta

2. Asal Usul Berdirinya Kesultanan Yogyakarta

Pendiri Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubu- mi atau Raden Mas Sujana, yang kemudian bergelar Sultan

Djoko Suryo Hamengku Buwono I. la naik takhta pada tahun 1755, setelah

lama berjuang melawan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie atau The Dutch East India Company) atau Kompeni Belanda yang sejak pertengahan abad ke-18 mencampuri dan mulai menguasai kekuasaan pemerintahan Kerajaan Mataram Islam di Jawa. la merupakan salah seorang putra Sunan Amangkurat IV yang memerintah Kerajaan Mataram Islam di Kartasura (1719-1726) dan adik laki laki Sunan Paku Buwana II yang bertakhta di istana Kraton Surakarta (1726-1749) setelah kraton Mataram Islam ber- pindah dari Kartasura ke Surakarta. Sunan Amangkurat IV sen- diri merupakan keturunan Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram Islam pertama yang berpusat di Kotagede (1578-1602), dan juga keturunan Sultan Agung Raja Mataram Islam terkemuka yang berpusat di Plered (1613-1645). Baik Kota- gede maupun Plered terletak di wilayah Jawa Tengah Selatan yang kini menjadi bagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat Kerajaan Mataram Islam pada masa awal ini pada haki- katnya terletak di bekas wilayah Kerajaan Mataram Hindu dari abad ke-7-9, tempat Candi Borobudur dan Candi Prambanan, berdiri sebagai warisan monumental dari kebudayaan zaman Hindu Buddha di Jawa.

Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata melawan Kom- peni Belanda dan penguasa Kraton Surakarta yang dianggap telah menjadi bonekanya dari 19 Mei 1746 hingga berakhir 13 Februari 1755. Mangkubumi menganggap bahwa Kraton Sura- karta pada masa itu telah berada di tangan Belanda. Perlu dica- tat bahwa sejak beberapa lama pemberontakan dan peperangan yang terjadi di Kraton Jawa berakhir dengan ikatan perjanjian- perjanjian yang menguntungkan pihak Belanda dan merugikan pihak Kraton. Sejak Kompeni Belanda ikut campur dalam Perang Trunajaya (1676-1679) dan Pemberontakan Cina (1740-1743), Kerajaan Mataram harus kehilangan wilayahnya di Priyangan, Jawa Barat, dan daerah Pesisir Utara Jawa. Keadaan ini menjadi semakin buruk ketika Sunan Paku Buwana II jatuh sakit. Sebelum

Transformasi Masyarakat Indonesia... ia meninggal, ia dipaksa oleh VOC untuk menandatangani per-

janjian yang berisi pemindahan kekuasaan pengawasan atas Kerajaan Mataram ke tangan Kompeni Belanda untuk menjamin agar putranya Adipati Anom dapat menggantikannya dan naik takhta kerajaan di Surakarta. Perjanjian ini telah menjadikan Kompeni Belanda menganggap Kerajaan Mataram telah menjadi miliknya dan raja hanyalah sebagai bawahannya. Sebagai aki- batnya, Belanda menganggap dirinya memiliki hak penuh untuk menentukan proses penggantian takhta kerajaan di Surakarta. Sebaliknya hal ini telah menjadikan Pangeran Mangkubumi, yang menjadi salah seorang pewarisnya, sangat kecewa. Pada waktu Paku Buwana II meninggal, Kompeni Belanda mengangkat Adi- pati Anom menjadi penggantinya dan bergelar Sunan Paku Bu- wana III pada 15 Desember 1749. Mendengar rencana Kompeni Belanda akan melakukan penobatan Adipati Anom tersebut, para pendukung dan pengikut Pangeran Mangkubumi dengan segera melakukan gerak cepat untuk lebih dahulu mengangkat dan menobatkannya menjadi Raja Mataram di Sukawati pada

12 Desember 1749, sebagai tanda penentangan mereka terhadap tindakan Kompeni Belanda. Selain Pangeran Mangkubumi, perang melawan Kompeni Belanda dan pihak penguasa kraton juga dilancarkan oleh Raden Mas Said (pada masa kemudian bergelar Mangkunegara I), yang juga memiliki alasan yang sama.

Perang ini, yang juga dikenal sebagai Perang Suksesi III, berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Per- janjian ini juga dikenal sebagai perjanjian Palihan Nagari (Pem- bagain Kerajaan), yang sebenarnya membagi wilayah Jawa men- jadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I mendirikan kra- tonnya di wilayah yang semula disebut Hutan Beringan (Kraton Yogyakarta sekarang).

Nama Ngayogyakarta berasal dari kata Sansekerta Ayodya atau dalam bahasa Jawa Ngayodya, merupakan nama ibukota

Djoko Suryo atau kraton Raja Rama dalam epos Ramayana. Raja Rama, yang

dikenal sebagai penjelmaan Wisnu dan merupakan dewa penye- lamat dunia dalam situasi krisis, menjadi tipe ideal bagi Sultan. Demikian juga Wisnu yang juga digambarkan sebagai ksatria, sebagaimana tercermin dalam penjelmaannya ke dalam tokoh Kresna dalam epos Mahabarata, juga menjadi bagian tipe ideal dalam kepribadian Sultan Hamengku Buwana I.

Dari semua Raja Mataram Islam, Sultan Agung dan Sultan Hamengku Buwana I dapat disebut sebagai dua tokoh raja yang terkemuka dan terkenal dalam Sejarah Mataram Islam di Jawa. 3 Keduanya menjadi pendiri dinasti baru yang memiliki pan- dangan dunia dan konsep tentang kekuasaan raja Jawa yang jelas. Keduanya memerintah kerajaan dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kebesaran, keamanan dan kemakmuran kerajaan. Keduanya juga merupakan ahli strategi militer, panglima perang yang handal dan berpengalaman dan mendapat dukungan dari kawula rakyatnya.

Sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam, Kesultanan Yog- yakarta memiliki ciri keislaman, gaya seni dan budaya kraton yang khas. Pada tahun 1945, yaitu kurang lebih dua abad kemu- dian dari masa Sultan Hamengku Buwana I membangun istana Kesultanan Yogyakarta, Kota Yogyakarta menjadi Ibu Kota Re- publik Indonesia dan kota revolusi (1945-1949).

Menurut sumber Sejarah Jawa penguasa di Kraton Yogya- karta sejak awal telah menggunakan gelar (title) yang dipilihnya sebagai identitas raja dan kerajaannya. Sebagaimana sumber babad menyebutkan, bahwa Perjanjian Giyanti (1755) telah menyelesaikan pertikaian antara Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi dengan cara membagi Jawa menjadi dua Kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta. Sejak itu Mangkubumi meno- batkan diri sebagai penguasa Kerajaan Ngayogyakarta dengan

3 M.C. Ricklefs, Jogiakarta under Sultan Mangkubumi, 1749 1792 (Lon- don: Oxford University Press, 1974).

Transformasi Masyarakat Indonesia... menggunakan gelar: Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati

Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalipatullah. Sementara Pakubuwana III, di pihak lain, disebutkan meneruskan penggu- naan gelar yang sebelumnya telah digunakan oleh pendahulu- nya, Pakubuwana I (1703 1719), yaitu Kangjeng Susuhunan Pakubu-

wana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama . 4 Semen- jak itu pula muncul adanya perbedaan gelar antara kedua raja di Jawa tersebut. Mangkubumi memilih gelar Sultan, dan meng- gunakan nama Hamengkubuwana dengan dilengkapi gelar Kali- patullah, yang kemudian menjadi salah satu ciri khas Kraton Yogyakarta. Sementara pihak Kraton Surakarta lebih suka meng- gunakan sebutan Susuhunan dengan nama Pakubuwana tanpa adanya tambahan gelar Kalipatullah seperti yang dimiliki oleh Sultan Yogyakarta. Apakah makna dibalik dari penyebutan nama dan gelar tersebut?

Sebutan Sultan, Hamengkubuwana, Senapati Ingalaga, Ngab- durahman Sayidin Panatagama, dan Kalipatulah pada hakekatnya bukanlah sebutan tanpa makna, melainkan benar-benar merupa- kan representasi simbolik dan filosofis dari kerangka pemikiran konseptual tentang raja, kerajaan, keagamaan (divinity), dan ke- budayaan menurut pandangan dunia kebudayaan Jawa-Islam. Gelar sultan merupakan tanda bahwa raja di Kraton Yogyakarta adalah seorang penguasa Muslim.

Gelar sultan secara umum digunakan para penguasa Islam baik di Asia Barat maupun di Dunia Melayu atau di Asia Teng- gara seperti pada Kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten pada abad ke-16-17. Sultan Agung (1613-1645), Raja Mataram Islam terkemuka dan nenek moyang raja-raja Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, disebutkan menerima gelar sultan dari Mekah sebagai tanda pengakuan atas kedudukannya sebagai penguasa Islam di Jawa.

Nama Hamengkubuwana merupakan simbolisasi dari tugas 4 Ibid.

Djoko Suryo dan fungsi raja sebagai penguasa dunia, seperti halnya tugas

dan fungsi Dewa dan Yang Maha Kuasa. Senapati Ingalaga meru- pakan pertanda raja Jawa memiliki fungsi sebagai panglima perang (ksatria, knight) yang bertugas sebagai penjaga dan pelin- dung keamanan dan kedaulatan negara. Ngabdurahman Sayidin Panatagama merupakan lambang raja sebagai hamba Tuhan yang sholeh dan ‘alim yang bertanggungjawab dalam kehidupan keaga- maan. Adapun kalipatulah merupakan ciri lain dari penguasa Islam yang menggunakan konsep Raja Khalifah (Caliphal King- ship), yaitu sebuah konsep raja sebagai utusan Tuhan (Divine King) atau yang dalam pandangan kebudayaan Jawa raja disebut sebagai “bayangan Tuhan” (God’s shadow) atau Warananing Gusti

kang Murbeng Dumadi (Bayangan Yang Maha Kuasa). 5 Konsep ini menjelaskan bahwa raja berkedudukan ganda yaitu sebagai penguasa umat manusia dan sekaligus sebagai utusan Allah di bumi, yaitu sesuai dengan konsep hablun minallah, hablun mina- nnas. Maknanya, kekuasaan raja pada satu sisi bersifat sakral / ilahi (divine) dan pada sisi lain bersifat profan atau duniawi (mun- dane ). Kedua sifat kekuasaan tersebut tidak dapat dipisahkan (indivisible) dan tidak dapat dibandingkan (incommensurable), karena datang dari kekuasaan Yang Maha Kuasa (omnipotent).

Dengan gelar itu Pangeran Mangkubumi ingin menjelaskan bahwa Kraton Yogyakarta yang dibangunnya itu adalah kraton Islam, sebagai upaya untuk mengikuti jejak nenek moyangnya terdahulu yang telah mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, seba- gaimana dituturkan oleh Babad Mangkubumi. Menurut babad ini pula dikatakan bahwa Mangkubumi sebelum menandatangani Perjanjian Giyanti terlebih dahulu mengucapkan shahadat di sam- ping berdoa, menggambarkan bahwa Mangkubumi benar-benar seorang Muslim, sehingga gagasan dan konsep Raja Khalifah se- perti tersebut di atas bukan tanpa dasar.

Sejalan dengan perubahan sejarah dari masa kerajaan tradi- 5 Serat Puji, MS. Ditulis di Kraton Yogyakarta.

Transformasi Masyarakat Indonesia... sional ke masa kolonial dan masa kemerdekaan maka terjadilah

pergeseran konsepsi dan kedudukan raja di Kraton Yogyakarta, yaitu pergeseran dari konsep raja sebagai penguasa kerajaan yang secara absolut memegang kekuasaan atas nama Yang Maha Kuasa (Divine King) ke konsep raja sebagai pemimpin rakyat atau “raja-rakyat” (popular king) dan raja sebagai simbol “pe- mimpin kebudayaan” atau “raja-kebudayaan” (cultural king). Secara kultural, dengan demikian, gelar raja tidak mengalami perubahan, namun secara politis dan sosial terjadi perubahan konsepsi kedudukan dan fungsi raja.

Konsep dan kedudukan yang pertama secara umum, masih dapat ditemukan dalam pemerintahan Sultan Hamengku Bu- wana I (1749-1792) sampai dengan Hamengku Buwana VIII (1921- 1939), yang memerintah dari masa awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta sampai masa menjelang berakhirnya Pemerintahan Kolonial Belanda (1939). Sementara yang kedua terakhir berlaku pada Sultan Hamengku Buwana IX dan kemudian Hamengku Buwana X. Sultan Hamengku Buwana IX menduduki tahta pada 1939-1988, yaitu dari masa berakhirnya penjajahan Belanda (1942) dan Jepang (1942-1945) sampai dengan masa kemerdekaan (1945-1988), dan pengurusnya Sultan Hamengku Buwana X men- duduki takhta dari 1989 hingga masa kini. Perlu dikemukakan, meskipun tahun 1831 Kraton Yogyakarta berkedudukan sebagai bagian dari Daerah Praja Kejawen (Vorstenlanden) yang ada di bawah naungan Pemerintah Kolonial Belanda, namun secara internal sultan pada masa itu masih memiliki otoritas tradisio- nalnya, sehingga kedudukan dan kekuasaan tradisionalnya seca- ra lokal masih berlaku.

Namun, ketika Sultan Hamengku Buwana IX menyatakan bahwa sejak proklamasi kemerdekaan (1945) daerah Kesultanan Yogyakarta menjadi bagian wilayah Negara Republik Indone- sia, maka sejak itu pula secara langsung Sultan menyatukan diri ke dalam kancah perjuangan Bangsa Indonesia untuk menegak- kan Republik Indonesia. Perjuanganya tidak hanya berhenti di

Djoko Suryo situ saja, tetapi juga dilanjutkan pada masa masa berikutnya,

yaitu dengan berpartisipasi dalam pembangunan negara dan bangsa sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu, tidak menghe- rankan apabila sejak awal ia menduduki posisi multifungsi di dalam Negara Republik Indonesia. Pada tingkat lokal, selain menjadi raja di lingkungan kratonnya, ia menjadi kepala daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta (1945 -1988). Pada tingkat nasional, ia banyak menduduki jabatan penting dalam pemerintahan negara, antara lain pernah menjadi Menteri Pertahanan dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, sejak kemerdekaan kedudukan Sultan bergeser dari kedudukan raja tradisional ke kedudukan raja modern yang bersifat multifung- sional.

Selain integritas kepemimpinan yang tinggi dalam perju- angan bangsa dan negara tersebut di atas, Hamengku Buwana

IX juga dikenal memiliki sifat kepemimpinan yang populis, yaitu merakyat dalam segala sikap dan perbuatannya. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila pada masa kemudian Sultan Ha- mengku Buwana IX juga mendapat julukan sebagai “raja rak- yat”, sebagaimana disebutkan dalam Biografinya, Tahta untuk Rakyat. Banyak cerita mengenai sikap populis Sultan yang ditun- jukkan dengan cara menyamar sebagai orang biasa dan mem- baur dengan orang kebanyakan untuk membina dan membantu rakyat kecil dalam mengatasi kesulitan pada masa Revolusi Kemerdekaan. Pengakuan sebagai “Raja Rakyat” juga tercermin pada waktu Sultan Hamengku Buwana IX wafat (1988), betapa besarnya perhatian rakyat yang datang dari segala penjuru wila- yah (Indonesia) membanjiri Kota Yogyakarta untuk menyatakan rasa duka yang mendalam pada saat prosesi pemakaman jenazah Sultan Hamengku Buwana IX berlangsung. Mereka berderet di sepanjang jalan dari istana ke tempat persemayamannya yang terakhir di Makam Raja Raja Mataram di Imogiri (Yogyakarta).

Atas dasar integritas kepemimpinan yang demikian itulah, maka wibawa kepemimpinan Sultan Yogyakarta pada masa kini

Transformasi Masyarakat Indonesia... masih cukup diakui oleh masyarakat Jawa di Daerah Istimewa

Yogyakarta, dan juga oleh masyarakat Indonesia pada umumya, sekalipun di lingkungan kraton ia tidak lebih sebagai “Raja Kul- tural”. Dengan demikian, ditengah tengah perubahan jaman yang meng-global ini, simbol “Raja Jawa” di Kraton Yogyakarta terasa masih hidup dan mungkin akan hidup terus (never end- ing).