Kota Indonesia Lama: Dinamika Kebudayaan Indonesia

2. Kota Indonesia Lama: Dinamika Kebudayaan Indonesia

Lama

Seperti halnya periodisasi Sejarah Indonesia, perkembangan kota-kota di Indonesia pada dasarnya juga dapat dibedakan atas tiga fase perkembangan, yaitu periode awal/kuna/lama, kolonial dan modern. Sebagian besar kota-kota Indonesia pada masa sekarang pada dasarnya banyak yang berasal dan berakar

3 Ibid., hlm. 404.

Transformasi Masyarakat Indonesia... pada fase-fase perkembangan kota pada masa awal, yaitu pada

fase kota-kota kuna/lama atau kota-kota tradisional dan fase kota-kota kolonial mengalami pertumbuhannya. Secara singkat dapat dikemukakan, bahwa kota-kota Indonesia lama dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu tipe kota pedalaman atau kota agraris dan kota pantai atau kota perdagangan. Kota-kota se- macam ini telah muncul pada masa Kerajaan Buddha Sriwijaya yang berpusat pada kota maritim dan berbasis pada kegiatan perdagangan, dan pada masa Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit yang memiliki pusat kota pedalaman agraris dan basis pereko-

nomian agraris yang kuat 4 . Sementara itu setelah keruntuhan kedua kerajaan Hindu-Buddha tersebut, muncul kota-kota pelabuhan maritim di bawah era kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang sejak abad ke-16 dan 17. 5 Melalui

4 Sebagai contoh di Sumatra: Samudra/Pase, Perlak, Barus, Pagar Ruyung, Melayu/Jambi, Sriwijaya/Palembang; di Jawa: Pakuan, Dieng,

Borobudur, Prambanan, Madiun, Wengker, Kediri/Daha, Singasari, Majapahit, Blitar, Wirasaba/Jombang, Japan/Mojokerta, Kudus, Bintara/ Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, Sumenep Canggu, dsb; Lihat Wolf Tietze Helmstedt & Werner Rutz(edd.), Cities and Towns in Indonesia , dalam Urbanization of the Earth, Urbanisierung der Erd, 4 (Berlin- Stuttgart: Gebruder Borntraeger, 1987), hlm. 45.

5 Kota-kota yang muncul pada periode 1400 dan 1700, sebagai contoh di Sumatra: Pedir-Pidie, Banda Aceh, Deli, Tanjung Balai, Siak Sri Indrapura,

Pekan Tua Indragiri, Singkil, Tapanuli, Natal, Batahan, Tiku, Pariaman, Ulakan, Kota Tengah, Pauh, Padang, Bayang, Tarusan, Salido-Pulo Cingko, Painan, Batang Kapas, Indrapura, Menjuto, Sungai Laimau, dan Silebar; di Jawa: Banten, Anyer, Sunda Kelapa, Jakarta/ Batavia, Karawang, Pamanukan, Indramanyu, Cirebon, Sumedang, Parakan Muncang, Citeureup, Blobur Limbangan, Sukapura/Sukaraja, Galuh, Ciamis, Semarang, Kedu, Bagelen, Banyumas, Mataram, Yogyakarta, Wonokerta/ Kertasura, Surakarta, Sampang, Malang, Panarukan, Macanputih. Lateng/ Banyuwangi, Tegal, Brebes, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Kendal, Kaliwungu, Berbek, Kalangbret, Pacitan, Ponorogo, Caruban, Magetan, Jorogo, Jipang, Blora, Rembang, Juwana, Pati, Sela, Grobogan, Godong, Sukawati, Kaduwantg, Wates, Salatiga, Ungaran, Kali Beber, Rawa Ambal, Nganjuk, Pace, Kertosono, Lamongan, Senggara, Lumajang,

Djoko Suryo jaringan perdaganganya dengan Cina, India, dan kemudian

dengan orang-orang Barat kemudian menjadi sumber kehidupan penting bagi kota kerajaan pantai ini.

Dalam hubungan ini, hubungan kekuasaan atara pusat kra- ton yang ada di kota dan wilayah pinggirannya sangat penting. Struktur pemerintahan yang berkembang pada masa itu adalah struktur pemerintahan patrimonial. Legitimasi kebudayaan kota terpusat pada legitimasi keagamaan raja. Struktur morfologi kota pada masa Indonesia lama ini juga dipengaruhi oleh tradisi keagamaan. Tradisi Hinduisme dan Buddhisme yang datang dari India memiliki dampak kuat terhadap ritus-ritus dan sim- bol-simbol kota, demikian juga tradisi Cina memiliki pengaruh luas di berbagai daerah di Indonesia. Demikian juga tradisi Budaya Islam sangat kuat dalam memberikan pengaruh terha- dap penyusunan tata ruang kota, bangunan-bangunan arsitek- tual, dan simbol-simbol kota, seperti yang tercermin dalam sim- bol-simbol tempat peribadatan, mesjid, langgar (mushola), pakaian, dan tradisi upacara keagamaan.

Perancanaan kota-kota lama pada dasarnya dilakukan se- suai dengan kondisi dan struktur sosial masyarakatnya. Kraton atau istana, tempat kedudukan raja, memiliki posisi sentral dalam perencanaan dan tata kota lama. Secara struktural, ting- gal di istana dikelilingi oleh para pembantunya, yang terdiri dari para abdi kraton atau pejabat birokrat kraton, para prajurit militer, dan para tukang atau undagi, serta kaum literari atau

Puger, Blater, Probolingga, Besuki, Arosbaya, Blega, Pamekasan, Dayeuh Luhur, Ajibarang, Pamerden, Rema, Ayah, Nampadadi, Bocor; di Kalimantan: Bandar Brunei, Sambas, Kota Waringin, Banjarmasin, Martapura, Pasir dan Kutai, di Indonesia bagian Timur: Gelgel, Karangasem, Buleleng, Sumbawa Besar, Dompu, Bima, Ende, Larantuka, Fort Henricus (Solor), Kupang, Atapupu, Lifao, Oekussi, Ulu Siau, Tagulandang, Manado, Tondano, Amurang, Boroko/Kaidipang, Gorontalo, Limboto. Leok/Buol, Toli-Toli, Balangnipa (mandar), Wajo/ Sengkag, Watuan Soppeng, Bone/Watampone, Makassar, Tibore (Muna), Buton/Bau-Bau, Hitu, Ambon, dan Fort Overberg (Kayeli), Ibid., hlm. 50.

Transformasi Masyarakat Indonesia... pujangga, dan kaum intelektual kota. Di luar kota istana terda-

pat kaum pedagang asing dan petani. Kesemuanya ini meng- gambarkan struktur kosmos yang menempatkan raja sebagai penjelmaan dewa yang berada di pusat jagad (kerajaan) dan di kelilingi oleh rakyat atau kawulanya yang berada di wilayah pinggiran. 6

Selain peran administrasi pemerintahan, kekuasaan politik, pusat perdagangan dan pusat keagamaan, kota-kota lama memiliki peran kultural penting yaitu menjadi pusat kehidupan politik dan pusat kehidupan intelektual serta pusat kebudayaan

yang bersifat orthogenetic dan heterogenetic. 7 Perlu dikemukakan bahwa pada periode 1400-1700, peran para pedagang santri- pedagang dan pedagang-santri di kota-kota pelabuhan di Nu- santara sangat penting. Demikian juga peran para Wali, Ulama dan Mubalig dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Nusanatara. Sebagian besar dari mereka banyak yang ber- tempat tingal di kota-kota pelabuhan perdagangan dan kota- kota pusat keagamaan, seperti Giri, yang sangat besar penga- ruhnya dalam meciptakan tradisi dan suasana budaya kota-kota lama di Indonesia pada masa itu. 8

Patut di catat bahwa sesungguhnya kota-kota di Kepulauan Nusantara pada periode itu memiliki fungsi strategis dalam di- namika kebudayaan di Indonesia. Salah satu di antaranya ialah

6 Lihat Peter J.M. Nas and Welmoct Boender, “The Indonesian City in Urban Theory” dalam Peter J.M. Nas (ed.), dalam The Indonesian Town,

Revisited (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002), hlm.4. 7 Secara “orthogenetic” kota berperan untuk mengembangkan dimensi

kebudayaan lama secara sistematik dan reflektif dalam masyarakat kota; sementara secara heterogenetic kota menjadi pusat penciptaan cara berpikir yang tidak bertentangan dengan kebudayaan lama dan peradaban. Lihat Robert Redfield dan Milton B. Singer, “The Cultural Role of Cities” dalam Economic Development and Cultural Change , 3 (October, 1954), hlm. 53-72.

8 Lihat Djoko Suryo, “Commercialization and Pasisir Culture”, dalam Humaniora , Buletin Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, No. III, (1996),

hlm. 1-11.

Djoko Suryo menjadi pusat transfer dan disiminasi unsur-unsur budaya yang

datang dari luar dan sekaligus juga menjadi pusat dialog budaya antara budaya luar dan budaya lokal yang dapat menghasilkan pembentukan dan pengayaan kebudayaan Nusantara pada ting- kat lokal. Unsur-unsur budaya hasil proses akulturasi, asimilasi, sinkritisasi dan dialog, serta konvergensi mainstream budaya besar pada zamannya, pada hakekatnya berhasil dijadikan se- bagai fondasi budaya lokal yang pada masa kemudian menjadi akar kebudayaan Indonesia baru, hal Ini membuktikan bahwa peran kota sebagai pusat dinamika kebudayan telah berlangsung sejak masa-masa awal pertumbuhan kota di Indonesia.