Kedudukan Raja dalam Kehidupan Negara

1. Kedudukan Raja dalam Kehidupan Negara

esuai dengan pandangan dunia Budaya Jawa tersebut di atas, maka raja dipandang menempati kedudukan

sentral sebagai penghubung (medium) antara Jagad-Cilik (micro cosmos), yaitu jagad tempat manusia hidup di dunia termasuk di dalamnya kraton dan kerajaannya, dan Jagad Gedhe ( Jagad Besar , Alam Semesta Raya) atau Jagad Sang Khalik (macro cos- mos). Sentralitas kedudukan raja dalam hubungan kedua jagad tersebut, sekaligus telah menempatkan sentralitas kedudukan raja dalam negara atau kerajaannya. Dalam hubungan ini raja memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk memerintah kera- jaannya sesuai dengan tujuan idealnya ialah menciptakan dunia kehidupan kerajaan yang teratur, aman, tenteram, damai, subur, makmur dan sejahtera (tata titi tenteram lohjinawi). Untuk itu Kraton Mataram Jawa, yang kemudian diteruskan oleh Kraton Yogyakarta, mengorganisasikan wilayah dan rakyat kerajaannya dengan menggunakan konsep pembagian wilayah atas Negara Agung (Wilayah Pusat kerajaan yang langsung diperintah oleh raja dari kratonnya) dan Manca Negara (daerah di luar wilayah pusat), diikuti dengan konsep birokrasi kerajaannya yang tersusun secara hierarkhis dari pusat ke daerah sebagai unit

Djoko Suryo pelaksana pemerintahan kerajaannya.

Sejalan dengan perubahan sejarah dari masa tradisional ke masa kolonial dan masa kemerdekaan, maka terjadilah per- geseran kedudukan, peran dan konsepsi tentang raja di Kraton Yogyakarta. Salah satu di antaranya ialah terjadinya pergeseran dari konsep raja sebagai pemegang kekuasaan yang datang dari Tuhan Yang Maha Kuasa (devine king) ke konsep raja sebagai “pemimpin rakyat” (popular king) atau “Tahta untuk Rakyat” dan atau “raja simbolik”. Konsep raja yang pertama secara umum berlaku dari masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwana 1 (1749-1792) sampai Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1938) yang berlangsung dari masa awal berdirinya Kraton Yogyakarta sampai menjelang berakhirnya pemerintahan Kolonial Belanda (1939) atau Pecahnya Perang Dunia II. Semen- tara yang kedua terakhir berlaku pada masa Sultan Hamengku Buwana IX dan Sultan Hamengku Buawan X menduduki tahta. Sultan Hamengku Buwana IX menduduki tahtanya pada periode 1939-1988, yang berlangsung dari masa berakhinya penjajahan Belanda, diteruskan pada masa pendudukan Jepang (Japanese occupation, 1942-1945), sampai dengan masa kemerdekaan (1988). Adapun Sultan Hamengku Buwana X, menggantikan tah- ta ayahnya sejak 1988 hingga sekarang.

Perlu dikemukakan, bahwa sekalipun sejak 1831 Kraton Yogyakarta berkedudukan sebagai bagian dari Daerah Praja Kejawen (Vorstenlanden) yang ada di bawah naungan Pemerintah Kolonial Belanda, namun secara internal Sultan pada masa itu masih memiliki otoritas tradisionalnya, sehingga kedudukan dan kekuasaan tradisionalnya secara lokal masih berlaku. Na- mun, ketika Sultan Hamengku Buwana IX menyatakan diri bah- wa sejak proklamasi kemerdekaan (17-8-1945) daerah Kesultanan Yogyakarta menjadi bagian wilayah Negara Republik Indone- sia, maka sejak itu pula secara langsung Sultan menyatukan diri ke dalam kancah perjuangan Bangsa Indonesia untuk ikut menegakkan Republik Indonesia. Perjuangan dan dedikasinya

Transformasi Masyarakat Indonesia... terhadap Negara Republik Indonesia dilakukannya sampai akhir

hayatnya. Hal ini dapat ditunjukkan, misalnya, dengan banyak- nya posisi dan fungsi kepemimpinan dalam masyakarat Indo- nesia yang telah diembannya, baik lokal maupun nasional. Pada tingkat lokal, ia menjadi raja di Kraton Yogyakarta dan menjadi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta (1945-1988). Pa-

da tingkat nasional, ia menduduki jabatan penting dalam peme- rintahan negara, antara lain pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian sejak kemerdekaan, kedudukan Sultan sebagai raja tradisional melebur menjadi “raja” (pemimpin) modern di In- donesia.

Selain integritas kepemimipinan yang tinggi terhadap per- juangan bangsa seperti tersebut di atas, Sultan Hamengku Buwana IX juga dikenal sebagai pemimpin yang populis, yaitu merakyat dalam segala sikap dan perbuatannya. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila pada masa kemudian ia juga men- dapat julukan sebagai “Raja Rakyat”, sebagaimana disebutkan dalam Biografinya, Tahta untuk Rakyat. Banyak ceritera rakyat Yogyakarta tentang sikap populis sultannya, terutama pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945 1950), yang digambarkan tentang bagaimana rajanya itu sering menyamar sebagai orang biasa dan membaur dengan orang kebanyakan, baik di kota maupun di pedesaan, dalam usahanya untuk membina dan mem- bantu rakyat kecil dalam mengatasi kesulitan hidup pada masa itu. Pengakuan sebagai “Raja Rakyat”, dari masyarakat luas di Indonesia, tercermin antara lain dari besamya perhatian massa rakyat yang datang dari berbagai penjuru wilayah ke Kota Yog- yakarta untuk menyatakan duka atas wafatnya Sultan Ha- mengku Buwana IX pada 1988. Massa memadati pinggir jalan yang dilewati iringan prosesi jenazah sultan sepanjang rute perjalanan yang cukup jauh dari istana ke Makam Raja Raja Ma- taram di Imogiri (Yogyakarta). Atas dasar integritas kepemim- pinan yang demikian itu, wibawa kepemimpinan Sultan Yogya-

Djoko Suryo karta masih cukup diakui oleh masyarakat Jawa di Daerah Isti-

mewa Yogyakarta dan juga oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, sekalipun di lingkungan Kraton Yogyakarta ia tidak lebih sebagai “Raja Simbolik Kultural” Jawa. Secara faktual simbol “Raja Jawa” di Kraton Yogyakarta pada masa kini masih hidup dan mungkin akan hidup terus (never ending).