Menjadi Pusat Kebudayaan Jawa : Gaya Yogyakarta

3. Menjadi Pusat Kebudayaan Jawa : Gaya Yogyakarta

Sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam Kesultanan Yog- yakarta bersama masyarakat pendukungnya sejak 1755 tumbuh dan berkembang tidak saja menjadi salah satu pusat kekuasaan politik Kerajaan Islam di Jawa, tetapi juga menjadi salah satu pusat pengembangan kebudayaan Jawa-Islam, yang dijiwai oleh perjuangan dan pembaharuan dari pendiri dan penerusnya. Salah satu keistimewaannya, ialah Kraton Yogyakarta berhasil melahirkan gaya ekspresi budaya Jawa-Islam khas Yogyakarta yang menjadikan ciri dan citra khasnya sebagai pusat kesultanan di Jawa. Gaya representasi budaya Jawa-Islam yang khas Yog- yakarta itu pada dasarnya dapat ditemukan dalam segala unsur wujud kebudayaannnya. Di antaranya, ialah dalam segi-segi wawasan pandangan dunia (world view) budaya Jawa, sistem pemerintahan kerajaannya (kingship), sistem kekerabatan (kin- ship ), sistem kemasyarakatan, ilmu pengetahuan (science, kawruh, ngelmu ), bahasa, sastra, seni (arsitektur, sastra, drama, pewa- yangan, musik gamelan, tembang, tari, keris, batik, kerajinan, pakaian), dan berbagai bentuk tradisi upacara keagamaan dan kehidupan sehari-hari. Sampai masa kini sebagian besar dari unsur-unsur budaya tersebut telah menjadi warisan budaya (cultural heritage) baik yang bersifat fisik dan non-fisik (tangible- intangible ), maupun yang bersifat artefaktual, mentifaktual, ideasional, tehnofaktual, dan sosifaktual di wilayah Yoyakarta.

Adapun segi-segi budaya ideasional dari Yogyakarta yang menarik untuk disimak di sini antara lain ialah sesi-segi yang berkaitan dengan konsep dan visi pandangan filosofis tentang alam semesta dan manusia seperti yang tersirat dalam ung- kapan: Hamemayu Hayuning Bawana, Hamengku Buwana, Jiwa Satriya, dan njaga tata tentreming praja.

Djoko Suryo

1. Konsep Hamemayu Hayuning Bawana merupakan visi lokal berwawasan global dan universal yang dapat diartikan seba- gai cita-cita dan upaya untuk memelihara keselamatan dan kelestarian kehidupan di muka bumi sebagai satu ekosistem

yang harmonis. 3 Untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut maka manusia dimuka bumi (termasuk masyarakat Yog- yakarta) perlu menjalankan tugas sebagaimana diisyaratkan dalam makna gelar simbolis Sultan Yogyakarta: ....Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga, Abdurrahman Sayidin

Panatagama Kalifatullah . 4 Kata Hamengku Buwana mencakup konsep Hamengku, Hamangku, Hamengkoni dan Buwana. Hamengku berarti mengangkat harkat dan martabat kema- nusiaan, atau memberdayakan Sumber Daya Manusia dan menjunjung tinggi Hak-hak Azazi Manusia. Hamangku berarti mengayomi, memelihara, dan mendorong terlaksa- nanya keadilan dan penegakan hukum. Hamengkoni berarti memberikan kepemimpinan, keteladanan, dan tanggungja- wab sedangkan Bawana berarti jagad atau dunia kehidupan ini. 5 Sementara Senapati Ingalaga mencitrakan sifat ideal seorang Satriya (dalam dunia pewayangan) atau Kesatria (Knight ) yang bertugas sebagai penjaga keamanan, kestabilan, ketentraman, keharmonisan dan kedamaian masyarakat dan negara, sebagaimana tercakup dalam konsep njaga tentreming praja . Abdurrahman Sayidin Panatagama mengisyaratkan ten- tang tugas seorang Muslim terhadap sesama Muslim di ha- dapan Allah untuk menuntun kehidupan beragama yang sebenarnya. Khalifattullah menegaskan manusia sebagai pengemban amanah Allah S.W.T bertugas untuk menjaga dan

3 R.M. Tirun Marwito, “Apakah Masih ada Jiwa/Watak Satriya itu?”. Makalah disampaikan dalam Seminar Kebudayaan dalam Rangka

Menyusun Penetapan DIY sebagai Pusat Kebudayaan Tahun 2020, diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Daerah 2005.

4 Ricklefs, op.cit. 5 R.M. Tirun Marwito, op.cit., hlm. 2.

Transformasi Masyarakat Indonesia... memelihara keseimbangan dan keharmonisan hubungan

antar sesama manusia, sehingga tercipta rahmatan lil alamien.

2. Segi-segi ideasional, moral/spiritual dan etis budaya gaya Yogyakarta yang bernilai tinggi lainnya pada hakekatnya dapat disimak dalam segi-segi aksara (Jawa), bahasa Kraton Yogyakarta (Basa Bagongan), karya sastra versi Yogyakarta (Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Mangkubumi, Babad Sangkalaning Momana, Baron Sakender, Serat Surya Raja, Serat Tajusslatin, Serat Bustanussalatin, Serat Cabolek, Serat Puji, Kangjeng Kyai Al Qur’an , dan lainnnya serta adanya 400-an naskah yang memuat ajaran Islam yang belum dikaji di Kraton Yogyakarta), tradisi seni tari gaya Yogyakarta, seni gamelan gaya Yogyakarta, seni pewayangan dan pedalangan gaya Yogyakarta, seni arsitektur Kraton Yogyakarta, seni pakaian gaya Yogyakarta, berbagai jenis pusaka Kraton Yog- yakarta, tata ruang kraton, perumahan, tradisi pengobatan tradisional, upacara tradisional, dan tradisi kehidupan ke- agamaan, yang sebagian masih dapat dijumpai di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kedua hal tersebut di atas pada hakekatnya dapat disebut sebagai keistimewaan karya-karya budaya masyarakat Yogya- karta yang sangat tinggi nilainya. Karena itu, tidak menghe- rankan apabila Yogyakarta sejak lama diakui sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, dan menjadi obyek studi ilmiah dari para pakar budaya baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Tersedianya berbagai warisan budaya itu pula yang memung- kinkan Yogyakarta dapat menjadi salah satu tujuan wisata inter- nasional dan domestik pada masa kini.

Dalam beberapa segi warisan budaya tersebut sampai sekarang dapat dikatakan masih terpelihara, sekalipun telah ada pula yang rusak atau punah, dan kerusakan itu bertambah sete- lah terjadinya gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu. Kelestarian berbagai segi warisan budaya itu pada hakekatnya dapat disebut juga sebagai salah satu keistimewaan kemampuan

Djoko Suryo masyarakat Yogyakarta dalam memelihara nilai-nilai luhur

budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya.