SERAT NGABDUL SUKA: SEBUAH AJARAN NILAI-NILAI ETIKA MORAL DAN SOSIAL-KEAGAMAAN BAGI CALON RAJA DAN PEMIMPIN MASYARAKAT

SERAT NGABDUL SUKA: SEBUAH AJARAN NILAI-NILAI ETIKA MORAL DAN SOSIAL-KEAGAMAAN BAGI CALON RAJA DAN PEMIMPIN MASYARAKAT

1. Pendahuluan

raton Yogyakarta Hadiningrat merupakan salah satu Kraton Jawa yang masih menyimpan warisan khasa-

nah kebudayaan mentifaktual Jawa yang tak sedikit jumlahnya. Banyak dari naskah naskah tersebut belum sempat dikaji dan dipublikasikan. Sementara kandungan isinya sarat dengan ber- bagai ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan dan kemasya- rakatan dan ajaran-ajaran etika, moral/spiritual dan filosofi keagamaan dan kebudayaan yang tinggi nilainya. Salah satu dari naskah-naskah tersebut adalah naskah Serat Ngabdul Suka, yang aslinya ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa dan digubah dalam bentuk Tembang Macapat. Isi pokok dari naskah setebal 113 halaman (folio) ini pada dasarnya dapat disebut sebagai petuah ajaran nilai-nilai etika moral sosial keagamaan dari Sul- tan Hamengku Buwana 1 pendiri Kraton Yogyakarta yang ditu- jukan kepada anak cucunya yang akan meneruskan kedudu-

Transformasi Masyarakat Indonesia... kannya sebagai raja di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Petuah dan ajaran itu dituturkan kembali oleh Sultan Hamengku Buwana ke V pada tahun 1847 dalam bentuk karya tulis yang disebut sebagai Serat Ngabdul Suka. Tokoh yang diceriterakan dalam naskah ini pertama adalah Ngabdul Suka dan kedua adalah putranya yaitu Raden Kasim yang kemudian menjadi tokoh pelaku penerima ajaran yang paling utama. Sementara tokoh-tokoh lainnya berkedudukan sebagai tokoh pengiring saja.

Berikut ini akan disajikan tinjauan singkat tentang pokok- pokok isi Serat Ngabdul Suka untuk dapat disimak makna dari petuah dan ajaran yang terrkandung dalam serat ini. Pertanyaan penting yang menarik untuk ini antara lain ialah bagaimanakah penulis naskah ini menarasikan isi petuah dan ajaran yang ingin disajikan kepada pembacanya? Ajaran nilai-nilai filosofis apa saja yang ditekankan dalam naskah ini?

2. Ringkasan Ceritera

Serat Ngabdul Suka mulai ditulis pada hari Jum’at Kliwon tanggal 26 Jumadil Akhir Tahun Dal 1775 atau 11 Juni 1847. Serat ini merupakan garapan Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalipatullah Ke Lima yang menduduki tahta di Negeri Yogyakarta Hadiningrat. Sultan ingin menyusun ceritera tentang adanya seorang hamba Tuhan yang bernama Ngabdul Suka yang berwatak sangat pe- murah hati dan dermawan, apa saja yang diminta orang akan diberikan. Istrinya mengeluh, tetapi ia tetap bersikukuh pada prinsip hidup yang dianutnya, sehingga ketika ada orang yang datang meminta pakaian, tikar bantal dan bahkan rumah yang dimilikinya pun ia berikan, sehingga ia harus pergi meninggal- kan rumahnya. Sebagai akibat kedermawaannya itu, ia bersama istri dan empat orang anaknya, yaitu Karmat, Gebas, Kasan dan Kasim, terpaksa pergi ke tempat lain tanpa arah tujuan yang jelas dan terlunta-lunta. Namun, Ngabdul Suka tetap sabar dan

Djoko Suryo tegar menghadapi cobaan. Pada suatu ketika mereka sedang

beristirahat di suatu tempat, Ngabdul Suka mencoba bertanya kepada anak-anaknya tentang keinginan masing-masing dalam memperoleh kebahagiaan hidup di dunia baik secara lahiriah maupun batiniah.

Putra putranya agak malu untuk menyampaikannya. Ngab- dul Suka mendahului dengan memberi contoh menyampaikan cita-citanya agar anak-anaknya dikelak kemudian bisa menjadi ulama yang makmur, punya mesjid besar dan megah, halaman pekarangannya luas, rumahnya juga besar dan memiliki makanan yang melimpah serta pakaian yang bagus-bagus. Kemudian, anaknya yang pertama Karmat berani mengemukakan ke- inginannya untuk menjadi orang yang kaya di dunia dengan memiliki rumah gedung yang besar dan dapat berpesiar dengan naik kuda. Anak kedua Gibas, menyampaikan bahwa ia ingin menjadi orang yang kaya dengan istri yang cantik-cantik, yang memiliki banyak perhiasan dan minyak wangi yang harum harum. Ngabdul Suka tertawa mendengarnya.

Anak ketiga Kasan, berbeda dengan kakak-kakaknya, ingin menjadi pedagang dan pergi berdagang ke berbagai negeri. Se- mentara anak yang bungsu Kasim, melebihi gambaran keinginan kakak-kakaknya. la menyatakan ingin memiliki rumah besar dengan dihiasi ukir-ukiran, cat berwarna-warni, lantai mengkilat seperti kaca, tiang dihiasi dengan ukir-ukiran dan gambar-gam- bar indah, pekarangannya luas dan bersih serta dihiasi dengan berbagai jenis burung piaraan. Selain itu rumah besar itu dijaga oleh para abdi wanita. Pada waktu pagi disemarakkan dengan tarian bedaya srimpi, bila siang disajikan dengan berbagai acara hiburan. Sementara itu pada beranda rumah depan/pendapa dilengkapi dengan peralatan kursi dan lampu yang indah indah serta jam gantung besar. Pintu bagian selatan dan bagian utara dijaga oleh para penjaga berbaju basahan. Pada hari Sabtu dilakukan acara pesiar. Pada hari Jum’at dilakukan sholat Jum’at di Mesjid Gedhe dan setelah itu bersama dengan para ulama

Transformasi Masyarakat Indonesia... dilakukan acara pembahasan tentang kitab hukum pengadilan

dan masalah kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Mendengar cita-cita anak bungsunya itu Ngabdul Suka ma- rah karena menganggap keinginannya terlalu tinggi dan bukan tingkatannya. Anaknya menjelaskan bahwa yang diinginkan itu hanya sekedar perumpamaan. Ngabdul Suka tetap tidak suka menerimanya dan karena itu anaknya diusir pergi dari rumah- nya dan disuruh terjun ke sungai besar serta tinggal di atas batu besar yang ada di tengah tengahnya. la melarangnya pergi dari batu itu sampai sungainya surut. Ibunya membela, tetapi tidak diterima, sehingga ia juga diusir bersama anak bungsunya tersebut. Akhirnya keduanya dihukum untuk tinggal di atas batu di tengah-tengah sungai besar. Tidak berapa lama ibunya meninggal dunia setelah menderita sakit, sehingga Kasim tinggal sendirian di atas batu. Setelah tiga bulan lamanya tiba-tiba datang 40 bidadari menggodanya, tetapi ia tidak goyah. Akhir- nya air sungai surut dan mengering, Kasim turun dari batu yang ditempatinya dan pergi berjalan mengikuti alur sungai. la meli- hat banyak ikan yang mati karena kekeringan air. Ada sekekor ikan kutuk juga hampir mati kekeringan air. Kasim menolongnya dengan memindahkannya ke dalam tempat yang berair. Kuthuk sangat senang dan bersumpah akan mengabdikan dirinya kepa-

da Kasim. Ketika Kasim akan pergi, kutuk berdoa mohon perto- longan pertama ditujukan kepada Tuhan, kedua kepada Nabi Sulaiman, dan ketiga kepada Baginda Kilir (Khidir). Doanya dikabulkan dan kutuk bisa menjelma menjadi manusia. la segera pergi mengejar perjalanan Kasim dan menyampaikan keinginan- nya untuk ikut serta dan mengabdikan diri kepada orang yang telah menolongnya. Kasim menerimanya dan ia diberi nama Kutuk Jaya. Keduanya meneruskan perjalanan dengan naik tu- run gunung dan jurang. Kemudian di tengah perjalanan itu ke- duanya melihat seekor kupu-kupu yang terperangkap pada suatu jaring, sehingga kupu-kupu tidak bisa bergerak. Kupu-kupu segera ditolong dan dilepaskan dari jaring. Kupu-kupu berterima

Djoko Suryo kasih, dan bersumpah serta mengucap akan mengabdi dan

mengikuti orang yang telah berjasa menolongnya. Kupu-kupu akhirnya juga menjelma menjadi manusia dan kemudian menjadi abdi Kasim. la diberi nama Jaya Kupu.

Dalam perjalanan berikutnya menuju ke sebuah pedukuhan bernama Kali Bening tempat seorang pendeta Seh Layaran ting- gal Di situ ia melihat berbagai jenis tanam-tanaman seperti jahe, lempuyang, temu, kobis, kacang, jagung, semangka, timun, jewa- wur, tom, gaga, pala, mrica, manis jangan, kayu tahi kumukus, cendana, garu, cepaka, manggis, kepundung, kuweni, dsb. Keti- ka sampai di tempat yang dituju Seh Layaran sedang didampingi oleh dua putranya raden Umbul Ketapang dan Bagus Sembada Jaya ing prang. Keduanya menguasai kitab-kitab lama dan pan- dai membaca AI Qur’an dan juga berolah suluk (tasawuf). Begitu melihat raden Kasim datang sang pendeta segera menyambut- nya dengan penuh hormat. Ketika Kasim menanyakan mengapa sang pendeta tidak mau disembah, sang pendeta mengaku sudah tahu bahwa raden Kasim itu adalah calon raja. Oleh karena itu, sang pendeta banyak memberikan petuah, agar Kasim menyerahkan diri (pasrah) kepada Allah, sabar, tidak meninggalkan sholat lima waktu, mengikuti syare’at yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, sebagai syarat seorang yang akan menjadi calon pemimpin dunia. Agar mencapai kemu- liaan hidup ia juga harus banyak berbuat baik, lahir dan batin, dan bersih hatinya. Sang pendeta juga menekankan agar ia berusaha menjadi manusia utama, yaitu manusia yang pinunjul (terkemuka). Ki Seh Layar juga mengajarkan tentang berbagai cara bertapa yang baik agar menjadi manusia yang sempurna. Setelah selesai mendapat petuah dari Pendeta Seh Layaran Ra- den Kasim Ialu meninggalkan pedukuhan Kali Bening menuju ke tempat lain diikuti oleh Umbul Ketawang, Kutuk Jaya dan Jaya Kupu. Perjalanannnya menerabas hutan belantara dan gunung-gunung mengikuti petunjuk sang pendeta untuk mencapai kemuliaan di kemudian hari.

Transformasi Masyarakat Indonesia... Pada akhir perjalanannya diperoleh ajaran yang sangat luas

dan mendalam bagi orang yang akan menjadi pemimpin negeri yaitu menjadi seorang raja yang akan memimpin kawula dan masyarakatnya. Dimulai dengan ucapan Bismillahirrohmanirrakhim ajaran tentang makna, maksud dan tujuan sholat dan berdo’a kepada Allah dituturkan secara mendalam. Sesudah itu dite- ruskan dengan ajaran etika dan moral bagi calon yang akan menurunkan raja raja, yang intinya agar supaya selalu membawa syareat Nabi penutup Muhammad S.A.W.

Ditegaskan bahwa kitab ajaran dari Hamengku Buwana I pendiri negeri Ngayogyakarta yang diberikan pada tahun 1776 ini ditujukan kepada anak cucunya untuk menjadi pegangan dan tauladan, yang perlu dibaca tanpa mengenal bosan. Petuah dan pesan yang pokok adalah agar para-putranya mengikuti ajaran AI Qur’an dan Hadits serta ajaran tentang tatakrama pergaulan yang baik, tata kepemimpinan dan moral kepribadian yang luhur dan menjadi raja yang selalu berpedoman pada ajaran agama Islam.

3. Struktur Penceriteraan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimak bahwa penulis naskah ini membagi uraiannya atas tiga bagian. Bagian pertama berisi ceritera tentang keluarga Ngabdul Suka, dan bagian kedua, tentang pedalanan kehidupan anaknya raden Kasim, yang ternyata telah diramal akan menjadi raja. Bagian terakhir, berisi tentang petuah dan ajaran etika dan moral sosial dan keagamaan yang pokok yang menjadi inti ajaran Serat Ngabdul Suka. Tokoh Ngabdul Suka hanya muncul pada bagian pertama, sedangkan pada bagian kedua dan ketiga lebih ditonjolkan pada tokoh calon raja yaitu putranya Raden Kasim.

Bagian pertama secara simbolis penulis naskah ingin mem- bungkus substansi ajaran moral yang dikehendakinya, yaitu orang yang tawaduq, sabar dan pemurah hati, sebagai mani- festasi orang yang iman dan taqwa, dalam penamaan tokoh

Djoko Suryo ceritera ‘Ngabdul Suka”. Nama itu terdiri dari kata “Abdul”

dan “Sukd’, yang dapat diartikan sebagai “abdi Allah’ yang ‘suka beramal sholeh”, sebuah lambang kebesaran hati seorang mukmin. Perilakunya ditunjukkan dalam ceritera bahwa Ngabdul Suka ikhlas memberikan semua miliknya kepada orang lain yang memintanya, termasuk rumah tempat tinggaInya sekalipun. Ia ikhIas memberikannnya dan ikhlas menderita sebagai akibat keiklasannya. Ini dapat diartikan sebagai sebuah pesan moral bagi calon pemimpin yang akan memimpin rakyat atau masya- rakatnya yang harus dilandasi dengan moral keshalehan sosial.

Tema ceriteranya sendiri kemungkinan dipengaruhi oleh ceritera-ceritera dari riwayat hidup para Nabi, disamping Nabi Muhammad S.A.W, juga Nabi Ayub A.S., atau nabi-nabi lainnya yang menjadi sumber acuan penggambaran akhlak mulia. Ceri- tera-ceritera dari Timur Tengah lama sering juga dapat menjadi inspirasi penciptaan tema ceritera lokal di Nusantara (Serat Iskandar Zulkarnaen, misalnya).

Tema ceritera tentang orang yang bisa berkomunikasi dengan binatang, seperti yang ditunjukkan dalam hal komu- nikasi antara raden Kasim dengan ikan Kutuk dan kupu-kupu, mengingatkan kita kepada ceritera tentang keistimewaan Nabi Sulaiman A.S. yang dapat berbicara dengan hewan atau bina- tang. Demikian juga tema ceritera pengembaraan atau lelana (per- jalanan jauh) untuk berbagai tujuan, termasuk untuk berguru mengangsu ilmu, seperti ditunjukkan oleh perjalanan Raden Kasim dari tempat satu ke tempat lain untuk berguru pada sang pendeta, yaitu Seh Layaran dan lainnya, dalam sastra Jawa lama cukup banyak contohnya. Tema ceritera perjalanan Bujangga Manik dari tanah Sunda ke Jawa Timur pulang pergi 1 dan ceri- tera tentang Santri Lelana dalam Serat Centhini, kemungkinan ikut mengilhami penulis naskah ini untuk memasukkan tema

1 J. Noorduyn, “Bujangga Manik’s Journeys Through Java”, BKI, Vol. 138, (1982), pp.413 442.

Transformasi Masyarakat Indonesia... semacam itu dalam ceritera yang digubahnya.

Hal lain yang menarik dalam naskah ini, ialah tentang penggambaran alam tumbuh-tumbuhan dan tanam tanaman, baik tanam tanaman untuk masak maupun tanam-tanaman obat- obat tradisonal Jawa yang dilihat oleh Raden Kasim di dekat Dukuh Kalibening tersebut di atas, mengingatkan kita pada uraian tentang hal yang sama yang terdapat dalam Serat Centhini. Hal ini menjelaskan bahwa ide dan gagasan yang disajikan dalam naskah ini tidak terlepas dari pengetahuan dan ide-ide serta gagasan yang pernah ada dalam karya-karya literer sebelumnya, sesuatu hal yang wajar.

4. Inti Ajaran Nilai-nilai Filosofis: Etika Moral Sosial Keagamaan

Ajaran moral yang tercakup dalam Serat Ngabdul Suka ini sebenarnya sangat luas dan mencakup dalam berbagai nilai- nilai moralitas/spiritualitas dan nilai-nilai sosial dan keagamaan yang menarik untuk disimak. Beberapa segi tentang nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Serat Ngabdul Suka antara lain dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

a. Nilai-nilai Filosofis Keagamaan (Religious Values)

Salah satu unsur nilai keagamaan, terutama ialah nilai ajaran ketaukhidan Islam, tampak mendasari ajaran Serat Ngabdul Suka, yang ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan berikut ini.

(Dhandhanggula)

Bismilahirrahmannirmokhim, Tegese bis pembuka amurwa, Mimiti nebut namane, ingkang Sang Maha Luhur, Keng Ngakarya in Bumi Langit, saha niskaraningrat, sinungan sawegung,

Djoko Suryo ing donya pan sipat murah,

nadyan uler kang neng sela apan sami, sinungan kamurahan. Wuse muji ri Sang Maha Suci, Tur pamungguh Sang Kinarya Duta, Ningrat Kalipatolahe, Ya kang baboning ratu, Ratu padha pakuning bumi, Kinen mengku sarengat, Jeng Nabi panutup, Muhammad Dinil Mustapa, Tur minangka nerpati pandoming bumi, Prabu nayakaningrat.

Demikian pula ungkapan ungkapan berikut ini sangat menekankan nilai-nilai ajaran AI Qur’an dan Hadis.

(Dhandhanggula)

Sasmitane wong urip puniki, Mapan ewuh yen ora weruha, Nora tetep ing aripe, Akeh wong ngaku-aku, Pangrasane sampun utami, Tur durung wruh ing rasa, Rasa kang Satuhu, Rasaning rasa punika.

Upayanen derapon sampurna ugi, Ing kautamen.

Jroning Kur’an nggene kepanggih, Nanging pilih ingkang uninga, Kejaba lawan tuduhe, Yen tan lawan geguru, Nora esah weruhe yekti, Ananging selak mokal, Weruh tanpa gurui,

Transformasi Masyarakat Indonesia... Tamtu mundah telanjukan,

Wong saiki kabeh lawan wektu lagi, Panjenegan pra ambya.

Yen ana wong amicara ngelmi, Tan mupakat ing patang prakara, Aja sira age age, Nganggep nyatanipun, Saringana dipun baresih, Limbangen lan kapatang, Prakara rumuhun, Dalil Kadis lan Ijemak, Sarta Liyas sarat iku salah siji, Iku kang mupakat.

b. Nilai-nilai Etika Moralitas (Moral Values)

Nilai-nilai etika moralitas cukup banyak disajikan dalam serat ini, salah satu diantaranya dapat ditemukan dalam ungkapan berikut ini.

(Kinanthi)

Padha gulangening ing kalbu, Ing sasmita amrih lantip, Aja pijer mangan nendra, Kaprawiran den kaeksi Pesunen saliranira, Sudanen dhahar lan guling.

Supayane dadi laku, Mila cegah dhahar guling, Lan aja gung suka, Anganggo wasawatawis, Ala wateke wong suka, Suda prayitnaning batin, Lamun tinitah dadya gung,

Djoko Suryo Aja siragugung dhiri,

Lan aja cewlak wong ala, Kang ala lakuning jalmi Nora wurung ngajak-ajak, Temahe nenulari.

Najan asor wijilipun, Yen kelakuane becik.

Utawa sugih carita, Carita kang dadi misil, Iku pantes raketen, Derapon mundhuk kang budi.

c. Nilai-nilai Sosial (Social Values)

Serat Ngabdul Suka ini juga banyak memuat nilai-nilai sosial, terutama yang menyangkut ajaran nilai-nilai pembangunan ikatan solidaritas sosial, ikatan keluarga dan persaudaraan di dalam pergaulan masyarakat. Hal ini dapat disimak dalam ungkapan sebagai berikut.

(Pocung)

Aja kaya keluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, Pocung arane nom nengging, Yen wis tuwa kaluwake pisah-pisah.

Den udiya kepriye ing becikipun, Aja kongsi pisah, Kumpula kaya taruni, Enom kumpun tuwa kumpul kang pryoga.

Aja kaya keluwak anome kumpul, Basa yen wis tuwa, Ting belasur dhewe-dhewak, Nora wurung bakal dadi bumbu pindhang.

Transformasi Masyarakat Indonesia... Wong sadulur nadyan sanak dipun urut,

Aja kongsi pisah, Tan dadi siji pikiring, Abotipun yen sabiyantu gil karsa.

5. Penutup

Dari uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penulis naskah Serat Ngabdul Suka secara sadar dan sengaja menyusun karya tulisnya untuk ditujukan kepada ge- nerasi penerus yang akan melanjutkan sejarah kehidupan generasi pendahulu ke masa depan sejarah masyarakat dan negerinya. Penulis karya serat ini secara filosofis dan historis menyusun ajaran-ajaran yang mendasar untuk dapat dijadikan pedoman dan bekal bagi generasi penerusnya. Ini merupakan salah satu tradisi budaya lama masyarakat nusantara yang tinggi nilainya dalam mengantisipasi proses regenerasi dan suksesi dalam proses perjalanan sejarahnya. Proses regenerasi dan suk- sesi disiasati dengan pemberian bekal dan pedoman pandangan dunia dan landasan filosofi yang kuat dari generasi pendahulu kepada generasi penerusnya. Secara tegas dinyatakan agar anak cucu penulis, dalam hal ini Sultan Hamengku Buwana 1 dan Hamengku Buwana V, membaca serat ini sebagai pedoman dan tuntunannya. Ajaran nilai-nilai etika moralitas sosial dan ke- agamaan secara filosofis sangat ditekankan dalam proses alih generasi masyarakat lama di Nusantara.

Dari uraian tersebut banyak hikmah dan manfaat yang da- pat dipetik dari ajaran Serat Ngabdul Suka bagi kepentingan masyarakat masa kini dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan global. Nilai-nilai ajaran filosofis dari karya serat ini masih relevan untuk disimak dan dikaji demi kepentingan persoalan masa kini dan mendatang.

Djoko Suryo

Daftar Pustaka

Braginsky, V.Y., “Some Remarks on the Structure of the “Sya’ir Perahu” By Hamzah Fansuri”, BKI, vol. 131 (1975), pp. 407 426.

Noordyn, J., “Bujangga Manik’s Journeys Through Java’, BKI, Vol. 138, (1982), pp.413 442. Ricklefs, M.C., Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749 1792. A History of the Division of Java. London Oriental Series

30. London, etc. Oxford University Press, 1974. _______, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk: East Bridge, 2006. Chapter 6.