Sistem Politik dan Pemerintahan

3. Sistem Politik dan Pemerintahan

Secara tradisional komunitas masyarakat di lingkungan Ke- sultanan Yogyakarta terbagi atas tiga lapisan sosial. Lapisan pertama, merupakan lapisan yang paling atas, ditempati oleh Sultan yang berkedudukan sebagai raja yang mendapat legiti- masi sebagai pemegang mandat kekuasaan yang suci dan terting- gi dari Yang Maha Kuasa. Lapisan kedua, diduduki oleh go- longan aristokrasi atau priyayi (bangsawan, nobles), yang terdiri atas keluarga terdekat Sultan (anak dan sanak keluarga terde- katnya) dan keluarga lainnya yang disebut Sentana Dalem. Secara struktural golongan ini merupakan golongan elite kraton yang memegang kedudukan sosial tertinggi di lingkungan kraton maupun luar kraton, karena kedekatan hubungan kekerabatan dan genealogisnya dengan Sultan. Mereka tinggal di dalam istana atau di wilayah Ibu Kota Kesultanan yang disebut Negara Agung atau Negari. Adapun lapisan yang ketiga atau lapisan yang paling bawah, diduduki oleh mereka yang sebagian besar ting- gal di luar kraton atau di daerah pedesaan, yang disebut sebagai kawula atau rakyat pada umumnya.

Secara teritorial pemerintahan Kesultanan Yogyakarta pada masa tradisional terbagi atas beberapa lingkaran konsentris, yaitu lingkaran pusat dan lingkaran di luar pusat atau daerah. Lingkaran pusat terdiri atas wilayah ibu kota kerajaan yang disebut Negari, dan Negara Agung (wilayah pusat kerajaan), yang termasuk di dalamnya adalah Narawita Dalem (wilayah tanah miliki raja). Lingkaran di luar Negara Agung berupa wilayah

Djoko Suryo daerah kekuasaan kerajaan disebut Mancanegara (the outer prov-

inces). Wilayah Negara Agung ini sesungguhnya meliputi wilayah istana sultan yang berfungsi sebagai ibu kota kerajaan yang seca- ra langsung berada dalam administrasi pemerintahan kraton, termasuk tanah lungguh atau tanah jabatan (appanage lands), yang merupakan bagian sumber pendapatan bagi rumah tangga kraton.

Di bawah Sultan, administrasi pemerintahan ditangani oleh lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh Kepala Administrasi Pemerintahan Kerajaan yang disebut Patih, yang terbagai atas dua orang Patih, sesuai dengan pembagian bidang tugasnya ma- sing masing. Pertama, disebut Patih Njero (Kepala Administrasi Pemerintahan Internal, di dalam Negara Agung), yang mena- ngani urusan pemerintahan di dalam kraton. Kedua, Patih Njaba (Kepala Administrasi pemerintahan daerah Luar Kraton), yang menangani urusan pemerintahan daerah Mancanegara dan urusan yang berkaitan dengan hubungan kraton dengan pihak luar, terutama dengan Pemerintah Belanda. Hubungan pemerintahan kraton dengan pemerintah Belanda, berlangsung sejak zaman VOC (abad ke-18) sampai pada masa Pemerintahan Hindia Be- landa berkuasa di Indonesia pada 1800 1942. Hal ini menjadi penting terutama ketika Kesultanan Yogyakarta berada di ba- wah pengaruh kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Perlu dicatat, bahwa secara historis berakhirnya Perang Diponegoro (1825-1830), Sultan Yogyakarta harus menandatangani perjanjian dengan Pemerintahan Kolonial Belanda pada 1830 dan 1831 yang menyebabkan wilayah Kesultanan Yogyakarta diperkecil dan berkedudukan sebagai wilayah Praja Kejawen (Vorstenlanden, the Principalities) di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda. Sejak itu Patih Njaba memiliki tugas penting untuk menangani hu- bungan kraton dengan pemerintah Belanda lewat pejabat Resi- den Belanda yang ditugaskan di Kota Yogyakarta.

Kedua orang patih tersebut di atas membawahi departemen pemerintahan yang disebut Kanayakan, yang mengurus rumah

Transformasi Masyarakat Indonesia... tangga sultan, harta kekayaan kraton, masalah pertanahan, sum-

ber ekonomi kerajaan, militer, keamanan, hukum dan peradilan, dan sebagainya. Setiap kanayakan dikepalai oleh seorang wedana (berpangkat bupati), yang terbagi atas dua sayap, yaitu Sayap kiri (pangiwa, left) dan sayap kanan (panengen, right), sesuai dengan landasan dikotomi pandangan dunia kosmologis kra- ton Jawa. Sebagai kepala pemerintahan atau kenayakan, wedana memiliki fungsi militer, yaitu mereka dapat bertugas sebagai komandan pasukan di medan perang apabila kerajaan berada dalam keadaan perang.

Selain itu bidang keagamaan yang sesungguhnya menjadi tugas sultan dipercayakan kepada departemen urusan agama, yang disebut kawedanan kapangulon. Kawedanan ini antara lain menangani urusan peribadatan, pemeliharaan masjid dan tempat tempat peribadatan lainnya, serta menangani upacara-upacara keagamaan, dan urusan peradilan agama menurut Syari’at Is- lam. Selain masalah keagamaan kawedanan kapangulon juga me- nangani urusan pendidikan, sementara tepas kapujanggan me- nangani masalah masalah yang berhubungan dengan kebu- dayaan dan kesastraan. Keduanya bahkan menangani masalah pengajaran keagamaan (termasuk membaca aI-Qur’an) yang diselenggarakan di Masjid Gedhe. Tepas kapujanggan juga ber- tanggung jawab dalam pengajaran Bahasa Jawa dan pengkajian karya karya sastra jenis “serat-serat” dan “babad” karya para pujangga kraton yang memuat ajaran moral, spiritual, etika, este- tika, filsafat dan sejarah. Pujangga merupakan guru terpenting bagi keluarga raja atau sultan.

Adapun pemerintahan daerah mancanegara dibagi menurut kesatuan wilayah kabupaten, yang masing masing dikepalai oleh seorang kepala daerah yang disebut bupati. Para bupati daerah mancanegara berada di bawah koordinasi Patih Njaba. Tugas me- reka antara lain menangani administrasi pemerintahan daerah, hukum, pengumpulan daerah pedesaan ditangani oleh para demang dan bekel (kepala desa).

Djoko Suryo Sejalan dengan proses sejarah yang panjang, di Kraton Kesul-

tanan Yogyakarta pernah dikenal adanya tiga macam sistem hukum, yaitu hukum tradisional, hukum barat (kolonial), dan hukum nasional. Sistem hukum tradisional dikenal sebagai Hukum Adat (Costumarary Law), yaitu sistem hukum yang telah berlaku sejak masa sebelum datangnya pengaruh hukum Barat (prakolonial). Sistem hukum Barat (Eropa), diperkenalkan sejak abad ke 19 sampai berakhirnya Pemerintah Kolonial Belanda (1942). Sementara Sistem Hukum Nasional merupakan sistem hukum yang berlaku di Negara Bangsa Republik Indonesia yang berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan 1945, dengan demi- kian pada masa sebelum kemerdekaan di Kraton Kesultanan Yogyakarta terdapat dua jenis sistem peradilan, yaitu Sistem Peradilan Kraton dan Peradilan Pemerintah Kolonial Belanda (Landraad). Sistem Peradilan Tradisional atau Adat dibagai men- jadi tiga jenis, yaitu Pengadilan Pradata (Pengadilan Kraton), yang menangani perkara kriminal dan masalah sipil; Pengadilan Bale- mangu, menangani perkaran yang berkaitan dengan masalah tanah dan para pejabat tinggi dan rendah; dan Pengadilan Surambi atau disebut juga Al Mahkamah ll Kabirah, menangani perkara yang berkaitan dengan hukum Sariat Islam, yang secara khas berlaku di Kesultanan Yogyakarta. Adapun Buku, Hukum yang menjadi pegangan dalam sistem hukum dan peradilan tersebut adalah Kitab Angger-Angger.

Struktur dan sistem politik pemerintahan kesultanan mengalami perubahan besar pada waktu Sultan Hamengku Buwana IX naik takhta pada tahun 1940, yaitu ketika menggan- tikan kedudukan ayahnya karena meninggal dunia dan masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Jabatan dan kedudukan feodal Patih dihapuskan, dan sejak itu sultan menangani secara lang- sung fungsi administrasi pemerintahan. la melakukan restruk- turisai organisasi pemerintahan Kraton, antara lain dengan mem- bagi urusan pemerintahan menjadi dua bidang, yaitu urusan pemerintahan dalam kraton dan luar kraton. Urusan pemerin-

Transformasi Masyarakat Indonesia... tahan dalam kraton, disebut Parentah Ageng Kraton yang ber-

fungsi untuk mengkoordinasi semua lembaga urusan dalam kra- ton yang secara operasional ditangani oleh Kawedanan Hageng Punakawan dan Kawedanan Ageng. Keduanya langsung di bawah pengawasan sultan. Demikian juga Sultan secara pribadi me- mimpin lembaga pemerintahan luar kraton, yang dibagi atas beberapa departemen yang disebut Paniradya Pati dan masing masing dipimpin oleh seorang bupati. Daerah luar kraton dibagi menjadi lima wilayah kabupaten, yang masing masing juga di- pimpin oleh seorang bupati.

Perubahan mencapai puncaknya setelah masa kemerdekaan, yaitu ketika Kesultanan Yogyakarta bergabung dan mengin- tegrasikan diri ke dalam Negara Republik Indonesia pada 1945. Sejak itu pemerintahan Kesultanan Yogyakarta diubah dan di- akui menjadi daerah pemerintahan istimewa di dalam wilayah Republik Indonesia yang disebut Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sultan menjadi gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak itu Sultan melancarkan proses modernisasi atau pembaharuan dalam pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk mengawali sistem pemerintahan yang modern di tingkat desa, Sultan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Desa (MPR Desa), Dewan Perwakilan Rakyat Desa (DPR Desa) dan Pamong Kelurahan. Di tingkat pemerintahan daerah kota. Sultan mereorganisasi Rukun Tetangga dan Rukun Kampung sebagai ke- satuan administrasi pemerintahan yang menggunakan pende- katan swadaya masyarakat. Dalam struktur pemerintahan yang baru itu Sultan Hamengku Buwana IX melanjutkan posisinya sebagai kepala pemerintahan internal dalam kraton dan juga sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.