Wali Songo: Kedudukan dan Perannya dalam Proses Islamisasi

3. Wali Songo: Kedudukan dan Perannya dalam Proses Islamisasi

Masa transisi dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam yang diikuti dengan masa terjadinya proses Islamisasi di Jawa pada abad ke-14-15, ditandai pula dengan kelahiran tokoh orang- orang terkemuka yang berkedudukan tinggi baik sebagai Pe- mimpin Agama, Guru Agama, Mubalig, Ulama, Kyahi maupun sebagai kaum intelektual Muslim yang berperan sebagai pemuka penyebar ajaran Islam di Jawa disebut sebagai Wali dan lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo (Wali Sembilan). Kedudukan dan fungsi Wali sebagai pemimpin agama dan penasehat peme- rintahan yang sangat penting dalam masyarakat Islam di Jawa pada masa itu, tokoh Wali dipandang sebagai ’Orang Suci’ atau Keramat (Saint) yang harus dihormati dan dipatuhi segala ajaran dan petunjuknya. Diduga atas kedudukan dan fungsinya yang sangat tinggi itu para tokoh Wali di Jawa mendapat gelar Sunan di depan namanya (Susuhunan, suhun –Jw- berarti dijun- jung tinggi atau disembah) yang kurang lebih berarti sebagai orang yang dijunjung tinggi atau dihormati. Menurut sumber sesungguhnya jumlah tokoh yang disebut Wali cukup banyak. Hampir tiap wilayah mengenal tokoh Wali sendiri, sebagai tokoh Wali lokalnya. Mengapa kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo , tidak terdapat penjelasan yang pasti dalam literatur Jawa. Namun, diduga angka sembilan dipilih atas anggapan bahwa angka tersebut memiliki nilai keramat menurut pan- dangan kebudayaan Jawa tradisional. Dapat disimpulkan bahwa pada masa itu pada hakekatnya terdapat dua kelompok Wali di Jawa, yaitu Wali pada tingkat atas yaitu mereka yang tergabung

Djoko Suryo dalam Wali Songo, dan Wali pada tingkat lokal atau daerah.

Golongan pertama merupakan kelompok Wali yang memiliki peran dan fungsi yang lekat dengan pusat pemerintahan Kerajaan Islam, seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Mereka secara fungsional menjadi pena- sehat Sultan atau Raja, bahkan kadang-kadang ikut terlibat da- lam dinamika politik kerajaan. Hubungan mereka dengan raja dan pusat politik sangat dekat. Tidak heran apabila Wali Songo kemudian memang menjadi lebih populer di seluruh wilayah Jawa. Sementara tokoh Wali lokal, sesuai dengan terbatasnya jangkuan fungsi dan perannya, lebih dikenal di daerahnya saja.

Dalam historiografi tradisonal Jawa, tokoh Wali ikut me- nempati peran penting dalam Sejarah Kerajaan Islam Jawa pada abad ke-15-17, seperti dalam Sejarah Kerajaan Demak, Cirebon, Banten, Pajang, dan Mataram Islam Jawa. Ceritera tentang peran tokoh Wali Songo proses Islamisasi dan kepemimpinannya di wilayah kerajaan tersebut, cukup tercakup dalam Historiografi Babad, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Gresik, Babad Cirebon, Babad Banten, Babad Mataram, Babad Sultan Agung dan Babad lokal lainnya.

Karya D.A. Rinkes berjudul “De Heiligen van Java” (“Orang Suci dari Jawa”), termuat dalam TBG, 1910-1913, yang telah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul, Nine Saints of Java, oleh Malaysian Sociological Reserach In- stitute , pada 1996, sangat menarik dalam memuat tinjauannya tentang sejumlah tokoh-tokoh Wali, baik yang tercakup dalam Wali Songo maupun Wali tingkat lokal. Secara rinci Rinkes mem- berikan gambaran tentang keberadaan tokoh masing-masing dalam sumber lokal maupun dalam sumber oral serta para pen- dukungnya. Beberapa tokoh Wali yang dimaksud di sini antara lain, ialah Seh Abdul Muhyi yang dimakamkan di Kampung Pamijahan, Jawa Barat, Seh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang, dan Pangeran Panggung (Tegal).

Secara konvensional tokoh Wali Songo yang menduduki

Transformasi Masyarakat Indonesia... posisi sentral dalam Kerajaan Islam di Jawa tersebut diatas

antara lain sebagai berikut. (1) Sunan Ngampel atau Raden Rahmat, dimakamkan di Ampel

Surabaya. (2) Malik Ibrahim atau Maulana Magribi, dimakamkan di gre- sik. (3) Sunan Giri atau Raden Paku, dimakamkan di Giri dekat Gresik. (4) Sunan Drajat, putra Sunan Ngampel, dimakamkan di Se- dayu Lawas. (5) Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, putra Sunan Ngampel lainnya, yang kemungkinan lahir di Bonang Wetan dekat Rembang, wafat di Tuban.

(6) Sunan Kudus, putra Sunan Ngudug, terkenal sebagai ko- mandan prajurit Demak ketika menyerang Majapahit (1378). Ketika ayahnya meninggal, ia menggantikannya.

(7) Sunan Murya, termasuk seorang prajurit Demak yang ikut menyerang Majapahit yang kemudian menjadi ulama, dan ketika wafat dimakamkan di sebuah bukit di Gunung Mur- ya.

(8) Sunan Kalijaga, yang juga dikenal sebagai Seda Lepen atau Jaka Sahid, disebut-sebut pernah menjadi Bupati dari Maja- pahit yang menyerang Jepara. Atas usaha Sunan Bonang telah menjadikan Jaka Sahid menjadi pengikutnya sebagai seorang Muslim tangguh, dan ia kawin dengan anak putri Sunan Gunung Jati. Atas permintaan Sultan Trenggana, Raja Demak. Sunan Kalijaga tinggal di Kadilangu sampai wafat- nya.

(9) Sunan Gunung Jati, disebut-sebut berasal dari Pasai, kawin dengan saudara perempuan Sultan Trenggana. Ia menak- lukkan Cirebon dan Banten, disebut-sebut ia pernah meme- rintah di Kesultanan Cirebon. Ketika wafat dimakamkan di Gunung Jati, Cirebon. Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa kedudukan

Djoko Suryo kesembilan Wali tersebut sangat tinggi, kuat dan istimewa, selain

sama-sama sebagai Wali, mereka juga terjalin dalam ikatan hu- bungan vertikal dengan penguasa kerajaan tempat mereka ber- peran sebagai penasehat pemerintahan, tetapi mereka sekaligus secara horisontal terjalin dalam hubungan keluarga dan keke- rabatan melalui perkawinan.

Peran Wali Songo sebagai penasehat Kerajaan Islam pada waktu itu sedemikian besarnya, bahkan lebih tinggi dari Sul- tan, misalnya Sunan Giri, sehingga segala kebijakan dan kepu- tusan penting kerajaan harus melalui mereka. Oleh karena itu, dapat dipahami apabila seorang penulis sejarah dari Barat, menyebutkan bahwa Sunan Giri berkedudukan sebagai “Paus dari Jawa”. Ini menggambarkan bahwa kedudukan golongan penguasa agama pada masa itu ada di atas kedudukan penguasa kerajaan, mirip seperti yang pernah terjadi dalam Sejarah Eropa pada Abad Tengah. Tidak mengherankan apabila tradisi Jawa menyebut masa itu sebagai Jaman Kuwalen, (Zaman Kewalian) untuk membedakan masa sebelumnya sebagai Jaman Kabudan (Zaman Kebuddhaan). Sebutan Jaman Kuwalen menegaskan akan masa kaum Wali Songo memiliki otoritas dan peran yang terke- muka dalam Sejarah Jawa.

Berbeda dari masa tersebut, pada masa Kerajaan Islam ber- pindah dari pantai ke pedalaman, yaitu Kerajaan Islam Mataram, posisi atas kaum penguasa agama terhadap kerajaan mengalami kemerosotan. Kaum Ulama pada masa Kerajaan Mataram ber- kedudukan sebagai abdi dalem kraton atau kedudukan raja ada di atas kedudukan kaum pemuka agama.