Legitimasi Kekuasan dan Otoritas Raja

4. Legitimasi Kekuasan dan Otoritas Raja

Tidak berbeda dengan kraton Jawa lainnya, untuk menjadi raja di Kraton Yogyakarta juga memerlukan beberapa persya- ratan pengakuan keabsyahan kedudukan dan kekuasaannya. Pertama tama ialah persyaratan keturunan. Raja harus memiliki landasan hubungan darah keturunan (genealogy) atau kekera- batan (kinship) dengan raja atau keluarga raja yang berkuasa sebelumnya. Secara tradisional putra pertama dari raja sebelum- nya diakui sebagai pewaris sah atas tahta kerajaan yang akan didudukinya, atau seseorang yang diakui sebagai pewaris sah dari dinasti yang berkuasa atau pernah berkuasa karena adanya hubungan kekerabatan. Sultan Hamengku Buwana I, diakui sah menjadi raja di Kraton Yogyakarta, karena ia diakui sebagai keturunan sah dari dinasti yang berkuasa di Kraton Kartasura (Sunan Amangkurat IV, 1719-1726). Setelah berkuasa di Kraton Yogyakarta Ia menjadi pendiri dinasti baru yang kemudian menurunkan generasi sultan-sultan di Kraton Yogyakarta, ter- masuk Sultan HB X pada masa sekarang. Legitimasi keturunan ini didasarkan kepada kepercayaan bahwa raja berasal dari orang yang terpilih oleh Tuhan (Divine King) untuk menjadi penguasa dunia, atau keturunanya dari orang orang yang ter- pilih sehingga ia dipercaya menjadi orang yang terkemuka, isti- mewa, pandai, sakti dan memiliki kemampuan untuk memegang kekuasaan kerajaan. Konsep keturunan itu tercermin dalam kata kata: “Trahing kusuma, rembesing madu, wijining tapa tedaking

Djoko Suryo andana warih” (decendant of flower, seed page of honey, seeding of

ascetic, of noble decent). Selain konsep keturunan, konsep Wahyu Kedaton (the Light of Royalty) juga merupakan salah satu konsepsi pengakuan keabsahan seseorang menjadi raja. Selain Wahyu Kedaton, Babad Tanah Jawi juga menyebutnya dengan istilah lain yaitu Cahya Nurbuat (revealation from God), Andaru, dan Pulung Kraton (green or white ball of light). Biasanya konsep Wahyu Kedaton ini berkaitan erat dengan konsep ramalan. Dalam babad sering diceriterakan tentang berbagai ramalan yang menjelaskan seseorang akan menjadi raja, setelah yang bersangkutan memperoleh tanda tanda yang bersifat gaib, misalnya, melalui mimpi (kejatuhan andaru, Cahya Nurbuat), menerima wangsit (message), atau ramalan. Sebagai contoh, ketika Senapati Ingalaga, pendiri Kerajaan Ma- taram Islam pertama di Kota Gede sebelum menjadi raja, dice- riterakan bahwa pada suatu malam ia sedang bersemedi di sebuah tempat, ia telah kejatuhan bola cahaya berkilauan dari langit ke atas tubuhnya. Jatuhnya bola berpijar, cahaya berki- lauan dari langit itu kemudian ditafsirkan sebagai pertanda bahwa ia telah memperoleh Wahyu Kedaton, yaitu “mandat” sah dari Yang Maha Kuasa untuk menjadi raja.

Segi segi persyaratan selanjutnya, ialah adanya Pusaka Kera- ton (Holy Regalia). Pusaka keraton ini juga merupakan atribut penting bagi syahnya seseorang menjadi raja. Di antara berbagai pusaka keraton, keris, payung dan mahkota merupakan pusaka keraton yang menjadi atribut penting pada waktu seseorang naik tahta atau dinobatkan menjadi raja. Menjelang Sultan Ha- mengku Buwana IX naik tahta ia telah menerima pusaka bernama Keris Jaka Piturun dari ayahnya Hamengku Buwana

VIII sebagai lambang penyerahan tahta kekuasaan Kraton Yog- yakarta. Demikian pula halnya ketika Sultan Hamengku Buwana

X menggantikan ayahnya ia juga mewarisi pusaka tersebut sebagai simbol tahta kekuasaan keraton yang didudukinya. Pusaka keraton sebenarnya cukup banyak, berupa benda

Transformasi Masyarakat Indonesia... benda atau alat alat yang dipercaya memiliki kekuatan magis

dan yang dapat menambah kesaktian raja. Beberapa di antaranya ialah senjata, kereta, gamelan, serat dan babad, dan benda-benda keramat lainnya. Dalam pandangan dunia religio magis benda benda magis tersebut sangat penting artinya bagi raja yang menduduki tahta kerajaan. Upacara upacara keraton yang ber- sifat sakral dan religio magis juga merupakan, sumber legitimasi raja yang tidak kalah pentingnya dengan segi-segi tersebut di atas.