RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan

Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan penduduk, aktivitas, dan penggunaan lahan. Perencanaan kota yang selama ini menitikberatkan pada aspek fisik semata dirasakan kurang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Sinulingga, 2005. Lebih lanjut Sinulingga 2005 menyatakan bahwa perkembangan kota yang cepat menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang perkotaan yang mempertimbangkan sifat lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial budaya. Ruang adalah wadah semua interaksi sistem sosial kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistem sumberdaya alam dan buatan berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Berdasarkan pada UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruangdan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Penataan ruang adalah usaha untuk merencanakan jumlah penggunaan lahan guna keperluan tertentu dan pada tempat yang tepat. Rencana tata ruang pada hakikatnya mengatur pemanfaatan dan letak elemen-elemen ruang kota, yaitu pusat pelayanan, industri, pemukiman dan ruang terbuka hijau RTH serta jaringan jalan untuk mencapai tujuan perencanaan kota. Tujuan dari perencanaan tata ruang kota anatara lain penyediaan ruang yang cukup untuk setiap jenis penggunaan secara efisien untuk kenyamanan bagi lingkungan kegiatan manusia kota Sinulingga, 2005. Perencanaan tata ruang perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan kawasan lindung untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan dan kawasan- kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana. Kawasan-kawasan inilah yang seharusnya dikembangkan menjadi ruang terbuka hijau. Agar keberadaan RTH di perkotaan dapat berfungsi secara efektif baik secara ekologis maupun planologis. Pengembangan RTH tersebut sebaiknya dilakukan secara berhirarki dan terpadu dengan sistem struktur ruang yang ada di perkotaan Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006. Brown dan Jacobson dalam Leitmann 1999 menyatakan bahwa perlindungan sistem lingkungan di perkotaan dapat dilakukan dengan mengalokasikan kawasan lindung. Kota dapat meningkatkan kualitas manusia dan lingkungan alam melalui konservasi sumberdaya maupun tingginya standar kualitas lingkungan. Ruang Terbuka Hijau sebagai ruang alami merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kota berkaitan dengan penanggulangan masalah lingkungan. RTH dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga kota yaitu: sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, paru-paru kota, sumber air tanah, mencegah erosi, keindahan, dan kehidupan satwa, menciptakan iklim, serta sebagai sumber pendidikan. Correa 1988 dalam Utami 2011, dalam penelitiannya menyatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial dapat dikelompokkan unsur utama yaitu: ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi, daerah untuk bergaulsosialisasi dengan tetangga, daerah tempat pertemuan warga, dan daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat. Keberadaan RTH sebagai ruang dengan fungsi ekologis menjadikan RTH sebagai salah satu fungsi lahan yang sering kali dikorbankan dalam membangun dan mengembangkan sebuah kota. RTH yang semakin berkurang akan berimplikasi pada suhu kota yang semakin meningkat. Menurut Saputro 2010, suhu udara rata-rata lebih tinggi pada area terbuka dari pada area rumput dan naungan. Hal ini karena pada area terbuka terkena radiasi matahari secara langsung. Radiasi matahari langsung akan segera memanaskan permukaan perkerasan dan selanjutnya memanaskan suhu udara di atasnya. Peningkatan suhu udara pada area yang ternaungi lebih rendah karena kemampuan tajuk pohon yang efektif dalam penyerapan panas dan mengurangi pemantulan. Saputro 2010, dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa area parkir pada bangunan-bangunan perkantoran dan perbelanjaan dengan area hijau yang minim kurang efektif dalam menurunkan suhu udara di sekitarnya. Selain itu, semakin besar persentase perkerasan terhadap luasan total menyebabkan suhu udara semakin meningkat, begitu sebaliknya. Pola pemanfaatan ruang terbagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang berfungsi konservasi serta kawasan budidaya yang dapat berfungsi lindung bagi ekologi kota, termasuk di dalamnya adalah lahan pertanian, taman kota, sempadan sungai, jalur hijau jalan, taman pulau jalan, jalur hijau rel kereta api, jalur hijau bawah tegangan tinggi, dan RTH kota non-pertanian lainnya. Sedangkan kawasan budidaya mencakup kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, industri dan pergudangan, pariwisata dan rekreasi, serta pertahanan dan keamanan Putri, 2010. Menurut Putri 2010, tingginya proporsi lahan terbangun dalam kawasan dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan run-off dan berkurangnya debit air yang diresap oleh tanah. Perkembangan kawasan budidaya kota dapat mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Hal ini menyebabkan frekuensi dan peluang kejadian banjir yang tinggi pada musim hujan.

2.2. Ruang Terbuka Hijau