Gambar 1. Perubahan kimia dalam otot selama metabolisme aerobik atau anaerobik Muchtadi dan Sugiyono, 1992
Daya ikat air oleh protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase pre rigor, daya ikat air relatif tinggi. Akan tetapi, daya ikat air akan menurun
seiring dengan penurunan nilai pH dan jumlah ATP pada jaringan otot Bendall, 1960.
Nilai pH daging menunjukkan penyimpangan mutu karena berkaitan dengan warna, keempukan, citarasa, daya mengikat air dan masa simpannya sebelum
mengalami proses pengolahan lebih lanjut ataupun pada produk olahan yang dihasilkan nantinya Soeparno, 1994. Perubahan nilai pH setelah pemotongan
ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot Buckle et al., 1985. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot post mortem
tergantung dari jumlah cadangan glikogen otot dalam daging. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot habis atau setelah kondisi pH
yang cukup rendah tercapai untuk menghentikan aktivitas enzim glikolitik dalam proses glikolisis anaerobik Pearson, 1971. Penurunan pH yang cepat, misalnya
karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktin-miosin dan menurunkan daya ikat air oleh protein Bendall, 1960. Temperatur tinggi
juga mempercepat penurunan pH otot post mortem dan meningkatkan penurunan daya ikat air karena peningkatan denaturasi protein otot dan perpindahan air ke
ruang ekstraseluler Penny, 1977.
1. ATP ADP + Pi
2. Kreatin-P
+ ADP
Kreatin +
ATP 3. Di bawah kondisi aerobik :
Glikogen
n
+ 9 ADP + Pi Glikogen
n-1
+ 9 ADP + 2 Piruvat 2 Piruvat + 30 ADP + 30 Pi
6 CO
2
+ 30 ATP 4. Di bawah kondisi anaerobik :
Glikogen
n
+ 3 ADP + Pi Glikogen
n-1
+ 3 ATP + 2 Piruvat 2
Piruvat 2
Laktat 5. 2 ADP
ATP + AMP 6.
AMP IMP
+ NH
3
Tahap penurunan kelarutan protein dimulai pada saat pre rigor, perubahan kelarutan per unit pH lebih kecil dibanding saat rigor mortis. Menurut Haam
1981, hal ini disebabkan oleh penurunan kelarutan protein pada fase pre rigor hanya dipengaruhi oleh penurunan pH saja, sedangkan pada fase rigor mortis,
selain penurunan pH, juga dipengaruhi oleh kuatnya ikatan antara aktin dan miosin. Menurut Winarno 1997, penurunan protein terjadi akibat proses
denaturasi dan degradasi protein menjadi gabungan dua asam amino atau lebih seperti peptida. Proses denaturasi protein dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pengembangan rantai polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit-unit yang lebih kecil, yaitu polipeptida dan asam-asam amino. Terjadinya proses degradasi
protein ditandai dengan timbulnya senyawa NH
3
, H
2
S, dan senyawa-senyawa volatil lainnya yang dapat mengindikasikan terjadinya kebusukan pada daging
melalui pengukuran nilai total volatile base TVB. Kegiatan-kegiatan tersebut memungkinkan terjadinya kerusakan daging
secara fisik, kimia dan mikrobiologis. Hal ini akan mempengaruhi penurunan mutu yang terjadi pada produk daging olahan nantinya. Penurunan mutu pada
produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh faktor internal berupa komposisi bahan penyusun dan faktor eksternal seperti kemasan dan kegiatan
distribusi. Kerusakan fisik pada produk daging dan olahannya selama penyimpanan
dapat dilihat dari perubahan nilai keempukan, kekenyalan, warna dan aroma dengan melakukan uji organoleptik. Menurut Singh 1994 warna produk pangan
merupakan hasil dari berbagai faktor, baik dari internal maupun eksternal. Faktor eksternal terdiri dari bahan pengemas, cahaya dan proses pengolahan, sementara
faktor internal meliputi pigmen yang ada didalamnya, warna yang ditambahkan, dan karakteristik fisik yang mempengaruhi kecerahan dan kekeruhan. Menurut
Winarno 1980, warna akhir pada pengolahan pangan biasanya diperoleh dari kombinasi beberapa peristiwa perubahan warna tersebut diatas.
Kerusakan selama penyimpanan dapat diketahui dengan pembauan yang disebut juga pencicipan jarak jauh. Manusia dapat mengenal enaknya makanan
hanya dengan mencium bau atau aromanya dari jarak jauh. Bau-bauan lebih kompleks daripada pencicipan dengan kepekaan pembauan 1x10
4
lebih tinggi
daripada pencicipan. Uji bau atau aroma sangat penting karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian suatu produk disukai atau tidak disukai Soekarto,
1985. Suatu bahan dianggap rusak apabila menunjukkan penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera atau
parameter lain yang umum digunakan manusia. Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan
bahan tersebut Winarno, 1997. Kandungan air dalam bahan pangan mempunyai peranan besar dalam reaksi kimia, sedangkan aktifitas air merupakan faktor
penting dalam pengendalian mikroba pada bahan pangan. Dalam bahan pangan, air terutama berperan sebagai pelarut yang digunakan
selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dalam besaran aktivitas air water activity = a
w
, yaitu perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air
jenuh, kemudian Buckle et al 1987 menambahkan bahwa nilai a
w
air murni adalah 1,0. Selain itu aktivitas air dapat pula dinyatakan sebagai RH
kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi nilai a
w
suatu bahan, semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut Syarief
dan Khalid, 1993. Menurut Syarief dan Khalid 1993, makanan yang disimpan pada tempat
yang lebih lembab kelembaban ruangan lebih besar daripada a
w
akan menyerap air, dan sebaliknya jika kelembaban ruangan lebih kecil daripada a
w
, makanan akan menguapkan sebagian airnya. Adapun jika a
w
sama dengan kelembaban ruangan, kadar air produk akan konstan. Air yang terkandung dalam bahan
pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air akan lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia dan
hidrolitik Syarief dan Khalid, 1993. Setiap mikroba mempunyai kebutuhan a
w
yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Berikut disajikan kebutuhan a
w
pada beberapa kelompok mikroba pada Tabel 6.
Peranan mikroba dalam perubahan mutu daging dan produk olahannya adalah dapat menguraikan protein selama proses penyimpanan berupa pemecahan
molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim. Hal ini dapat menyebabkan terbentuknya komponen-komponen
yang menimbulkan bau busuk Winarno, 1980. Protein akan didegradasi menjadi senyawa-senyawa volatil. Banyaknya senyawa-senyawa volatil dapat diketahui
melalui uji total volatil bases TVB. Kategori tingkat kesegaran daging dan produk olahannya dilihat berdasarkan nilai TVB yang dihasilkan. Menurut
Kimura dan Kiamakura 1934 dalam Borgstrom 1965 menyatakan bahwa batas nilai volatile nitrogen maksimum yang terkandung dalam bahan adalah 30 mg per
100 gr bahan. Batasan nilai kesegaran daging dan produk olahannya adalah 10 gr untuk daging yang masih segar, 20-30 untuk daging yang mulai busuk, dan 30 mg
untuk daging yang telah busuk. Tabel 6. Nilai a
w
minimal bagi pertumbuhan beberapa kelompok mikroba.
Kelompok mikroba a
w
minimal
Bakteri 0,91
Khamir 0,88
Kapang 0,80
Bakteri halofilik 0,75
Fungi xelofilik 0,65
Khamir osmofilik 0,60
Sumber : Frazier dan Westhoff, 1978. Selain itu, kerusakan yang terjadi pada produk daging dan olahannya
disebabkan oleh kerusakan lemak selama penyimpanan seperti timbulnya bau dan rasa tengik. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh
dalam lemak Winarno, 1997. Komponen yang menyebabkan timbulnya senyawa penyebab bau busuk menurut Fardiaz 1999 adalah NH
3
, H
2
S, indol dan amin sebagai hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme.
Pengukuran pH produk selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui tingkat keasamannya dan untuk mengetahui adanya kemungkinan pertumbuhan
mikroba. Beberapa mikroorganisme mampu tumbuh pada pH 3,0 sampai 6,0 yang disebut sebagai asidofil seperti bakteri asam laktat dan khamir Buckle et al,
1987. Nilai pH optimum pertumbuhan bakteri adalah 6,5 sampai 7,5, untuk
khamir nilai pH yang disukainya adalah 4,0 sampai 5,0 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2,5 sampai 8,5. Oleh karena itu khamir bisa tumbuh pada pH rendah
dimana pertumbuhan bakteri terhambat. Kapang memiliki pH optimum 5,0 sampai 7,0 dan dapat tumbuh pada pH 3,0 sampai 8,5 Fardiaz, 1992..
Kerusakan utama yang menyebabkan penurunan mutu produk daging dan olahannya disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang masuk ke
dalam daging hewan yang telah mati berasal dari lingkungan sekitar dan terjadi semenjak pemotongan hewan dilakukan dan proses penanganannya. Di dalam
daging, bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan mengambil kebutuhan pangannnya dari daging yang ditempati. Tingkat kerusakan daging tergantung dari
tingkat kebutuhan bahan pangan nutrisi bakteri Lechhowich, 1971. Mikroorganisme yang dapat tumbuh pada daging dan produk olahannya
ialah Micrococus candidum yang menghasilkan asam, spesies dari Lactobacillus dan Leuconostoc, Staphylococus, Escheria coli, Salmonella, Shigella dan
Streptococus Frazier dan Westhoff, 1978. Pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah mikroba yang diperbolehkan pada daging yang diolah.
Tabel 7. Kandungan maksimal mikroba pada daging masak
Jenis mikroba Jumlah maksimal
Total mikroba MPN koliform
E. coli Enterococi
C. perfingens Salmonella
S. aureus 10
6
sel cm
2
10
2
sel cm
2
Tidak terdapat 10
4
sel cm
2
10
3
sel cm
2
Tidak terdapat 10
3
sel cm
2
Sumber : Dirjen Peternakan 1990 Tipe kerusakan yang terjadi pada sosis yang diakibatkan oleh mikroba ialah
timbulnya gas pada kemasan vakum akibat pertumbuhan Lactobacillus, dan timbulnya lendir pada permukaan yang disebabkan oleh Microbacterium Syarief
dan Halid, 1993. Adapun beberapa mikroorganisme patogen yang dapat menimbulkan penyakit berbahaya dan gangguan pencernaan pada manusia adalah
Salmonella sp, Clostridium perfingens dan Staphylococus aureus. Mikroba ini merupakan penyebab penyakit berbahaya seperti tipus, panas badan dan sakit
perut yang apabila melampaui batas maksimal dalam tubuh akan menyebabkan
terjadinya penurunan pada kesehatan manusia Todd, 1980. Pertumbuhan mikroba terjadi sebagai akibat kurangnya proses pemasakan dan salahnya proses
pengelolaan sebelum bahan tersebut dikonsumsi Fardiaz, 1992.
C. PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN 1. Bahan Kemasan