6 KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN
6.1 Pendapatan Kelompok Masyarakat Pemanfaat
Pendapatan nelayan peserta kemitraan sangat tergantung dari sistem bagi hasil yang diterapkan. Secara adat kebiasaan dalam penangkapan ikan,
nelayan sebagai pandega atau anak buak kapal ABK, jarang digaji secara tetap. Biasanya pembayaran dilakukan sesuai porsi dari hasil tangkapan, hal ini
disebabkan hasil tangkapan dan penjualan ikan tidak pernah sama, cenderung berfluktuasi dan tidak pasti.
Adanya ketidakpastian terhadap hasil tangkapan inilah yang memungkinkan munculnya pola bagi hasil. Ikan hasil tangkapan nelayan dibagi
diantara yang terlibat dalam operasi penangkapan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan nelayan, dimana masing-masing daerah menunjukkan
variasi yang tidak sama. Perbedaan ini disebabkan oleh tradisi masing-masing daerah, juga dipengaruhi oleh corak hubungan yang terjadi di antara mereka
yang terlibat disamping oleh sarana produksi penangkapan yang digunakan. Pembagian hasilnya juga dapat berubah tiap saat tergantung dengan kondisi dan
tuntutan khusus yang setiap saat berubah. Secara umum separuh dari hasil tangkapan menjadi bagian juragan sebagai pemilik sarana penangkapan,
separuh sisanya menjadi bagian ABK. Dalam hal ini bagian tersebut dibagi berdasarkan porsi keterlibatanya secara khusus sebagai awak kapal.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pemerataan sumberdaya perikanan sesuai kontribusi masing-masing pihak pengelola
sumberdaya tersebut, pemerintah telah mencoba mengatur sistem bagi hasil perikanan melalui UU No. 16 Tahun 1964 tentang bagi hasil perikanan, tetapi
sampai saat ini penerapan UU tersebut banyak mengalami hambatan disebabkan sistem bagi hasil perikanan belum merupakan ikatan antara nelayan
pemilik dan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun peralatan yang digunakan Taryoto et al. 1993.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil kelompok masyarakat pemanfaat KMP peserta kemitraan di lokasi penelitian dilakukan
berdasarkan kesepakatan bersama. Kesepakatan yang dimaksud adalah antara pemilik sarana penangkapan bantuan LEPP-M3 yang adalah ketua kelompok
dengan nelayan ABK yakni anggota kelompok yang biasanya berjumlah rata- rata 20 orang.
Dalam usaha penangkapan ikan, nilai produksi dari usaha penangkapan dipengaruhi oleh musim, dalam hal ini faktor keadaan arus dan angin yang
mengganggu proses operasional penangkapan ikan itu sendiri. Disamping itu, jumlah populasi ikan pada fishing ground juga mempengaruhi jumlah atau nilai
produksi yang didapatkan. Populasi ikan dalam suatu perairan dipengaruhi kondisi biotik jumlah dan kualitas makanan dan abiotik suhu, penetrasi cahaya,
dan luas permukaan. Musim ikan banyak panen biasanya dialami nelayan pada bulan Oktober, Nopember, April dan Mei. Musim biasasedang berlangsung
pada Agustus, September, Desember, Januari, Pebruari dan Maret. Sementara pada bulan dimana terjadi paceklik ikan yaitu bulan Juni dan Juli, umumnya
nelayan tidak melaut karena keadaan cuaca dimana angin dan arus yang kuat menghambat nelayan dalam melakukan penangkapanl, dan juga jumlah populasi
ikannya kecil. Analisis pendapatan dalam penelitian ini hanya difokuskan kepada
nelayan yang terlibat langsung dalam kegiatan penangkapan, yakni juragan pimpinan operasional penangkapan atau fishing master yang dalam istilah
setempat dinamakan ”tanase”, ABK yang memiliki keahlian khusus motoris dan ABK biasa yang disebut boy-boy. Klasifikasi ini didasarkan pada keahlian dan
peran masing-masing dalam kegiatan penangkapan, yang selanjutnya berimplikasi terhadap sistem bagi hasil yang berlaku. Adapun sistem bagi hasil
yang berlaku pada KMP peserta kemitraan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Sistem bagi hasil KMP peserta kemitraan
No Status nelayan
Bagian yang diperoleh 1
2 3
Tanase Juragan Motoris
Masnait boy-boy 2
1,5 1
Sumber : Data primer diolah 2008
Perolehan bagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing nelayan yang diklasifikasikan berdasarkan keahlian di atas, setelah melalui pembagian
hasil yang berlaku yakni untuk nelayan pemilik yang memilki sarana penangkapan jaring, yang memilki rumpon dan bagian untuk ABK. Pembagian
hasil yang biasanya dilakukan antara lain : 33,33 pemilik, 33,33 rumpon dan 33,33 ABK, 30 pemilik, 30 rumpon, 40 ABK dan 60 pemillik tidak
memiliki rumpon, 40 ABK, serta 50 pemilik tanpa rumpon, 50 ABK. Seluruh pembagian hasil ini setelah dikurangi dengan biaya variabel, biaya tetap.
Bila ditinjau berdasarkan jumlah persentasi terhadap nilai total pendapatan, maka pimpinan operasional penangkapan atau juragan memperoleh
porsi rata-rata sebanyak 6,67 , ABK khusus sebanyak 5 dan ABK biasa sebanyak 3,3 . Berdasarkan gambaran di atas, maka dalam sistim bagi hasil
sesungguhnya terjadi ketimpangan antara nelayan pemilik dengan ABK. Berdasarkan sistim bagi hasil yang tertera pada Tabel 29, selanjutnya
dilakukan perhitungan terhadap tingkat pendapatan KMP peserta kemitraan, yang perinciannya ditampilkan pada lampiran 3. Sementara gambaran tentang
pendapatan KMP peserta kemitraan di sajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Kisaran pendapatan KMP peserta kemitraan
No Status Nelayan Jumlah responden
Nilai Rp 1
2 3
Juragan ABK khusus
ABK biasa 16
33 33
854.780 – 3.033.296 590.487 – 2.274.972
472.390 – 1.234.470
Sumber : Data primer diolah 2008
Tabel di atas memperlihatkan bahwa kisaran pendapatan juragan terendah adalah Rp. 854.780, sementara ABK khusus dan biasa masing-masing
Rp.590.487 dan Rp 472.390. Bila dibandingkan pendapatan juragan dengan ABK khusus dan biasa terlihat ada ketimpangan. Ha ini disebabkan oleh sistem
pembagian hasil yang belum sepenuhnya memperhatikan korbanan yang diberikan oleh ABK terhadap usaha penangkapan ini.
Penerapan suatu bentuk tekologi di lapangan jaring dan perahu yang dilakukan oleh LEPP-M3 memang akan meningkatkan pendapatan nelayan
peserta kemitraan, tetapi teknologi tersebut harus diuji terhadap pengaruh sosialnya pada masyarakat sekitarnya. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa
suatu bentuk teknologi yang secara teknis dan ekonomis dapat diaksanakan dan sangat menguntungkan, pada akhirnya menghadapi berbagai masalah karena
dalam pelaksanaannya di lapangan tidak atau kurang diterima oleh masyarakat. Perubahan mendasar yang telah terjadi dari dampak kemitraan terhadap
nelayan peserta kemitraan adalah peningkatan pendapatan. Hal ini akan terus berlanjut, jika ditangani secara profesional baik dari pihak LEPP-M3, maupun
keseriusan dari instansi terkait untuk mendorong peserta kemitraan agar tetap memiliki motivasi dalam berusaha. Disadari bahwa faktor kerusuhan sosial
menyebabkan belum secara pasti dikatakan program kemitraan ini berhasil atau tidak berhasil, hal ini perlu dilakukan evaluasi yang lebih tepat dan membutuhkan
waktu. Keberhasilan suatu kegiatan usaha juga sangat ditunjang oleh faktor penentunya yakni sumberdaya manusia nelayan peserta, disamping faktor
alam, modal, teknologi dan kewirausahaan. Sangat dipahami bahwa pendapatan merupakan salah satu unsur tingkat
kesejahteraan manusia yang sangat mempengaruhi tingkat kecukupan kebutuhan dasar. Pendapatan KMP peserta kemitraan di lokasi penelitian pada
dasarnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu, tergantung dari produksi yang mengalami fluktuasi sesuai musim tangkapan. Fluktuasinya tingkat
pendapatan ini tentu akan mempengaruhi nelayan dalam mengambil keputusan berkait dengan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika pendapatan tersebut
tidak dikelola secara bijaksana akan menimbulkan persoalan. Dari hasil penelitian ditemukan juga bahwa nelayan peseta kemitraan
belum menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil tangkapan dalam bentuk tabungan. Hal ini menyebabkan beberapa peserta kemitraan terpaksa melakukan
hutang untuk membeli bahan bakar minyak BBM bagi kebutuhan operasi penangkapan. Mencermati kondisi tersebut, akan sangat memprihatinkan jika
pihak mitra LEPP-M3 mengabaikan aspek pembinaan manajemen usaha yang baik bagi nelayan peserta kemitraan.
Perencanaan proyek kemitraan yang terpisah-pisah dan tidak menyeluruh mencakup berbagai aspek dan lembaga yang berkaitan dan berperan di
dalamnya, akan menyebabkan kasus demi kasus keberhasilan sebagai aspek tetapi tidak diikuti oleh kegagalan pada aspek lainnya. Oleh karena itu masalah
pemberian kredit berupa alat tangkap dan armadanya mencakup banyak komponen di dalamnya yang berinteraksi satu dengan yang lainnya di dalam
suatu batasan atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Masalah ini bersifat kompleks karena berkaitan dengan berbagai disiplin lain dan dinamis
karena berkembang dengan perubahan waktu.
6.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan KMP