Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan usaha mampu memberikan manfaat antara lain : 1 meningkatkan produksi secara moderat,
stabil, dan berkesinambungan, 2 meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, 3 mengurangi pengangguran di pedesaan, 4 meningkatkan pemerataan dan
keadilan sosial, 5 menciptakan kerja dan lapangan berusaha, 6 meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan 7 meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan, 8 melestarikan kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan pembanguan berkelanjutan Saptana dan Ashari 2007.
Anwar 1992 mengatakan bahwa pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistim perekonomian
gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama nelayan golongan lemah dan miskin yang tidak
berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktivitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu pembangunan ekonomi dengan
pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan
maximum social benefit, terutama ditinjau dari pencapaian tujuan nasional
jangka panjang. Dengan demikian dalam mengembangkan usaha perikanan usaha penangkapan ikan bantuan dalam bentuk kemitraan usaha yang
diberikan oleh berbagai pihak, pemerintah maupun swasta sangatlah diperlukan tidak hanya terbatas pada modal usaha tetapi penyuluhan maupun bimbingan
dan pengamanan pasar produknya.
1.2 Perumusan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, bahwa kendala yang dihadapi oleh nelayan kecil dalam usaha penangkapan ikan yang
dikategorikan sebagai usaha kecil adalah kendala dalam aspek permodalan, kelembagaan dan manajemen, teknologi, jaringan usaha dan informasi. Maka
kehadiran kemitraan merupakan salah satu alternatif mengatasi kendala ini. Selama ini terlihat bahwa berkembangnya usaha perikanan skala besar
dengan menerapkan pola PIR bapak angkat tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan nelayan kecil. Walaupun nelayan ikut terlibat di dalamnya, namun
posisi mereka lebih banyak sebagai buruh. Banyak nelayan tidak memperoleh hasil yang memadai karena terpaksa menerima sistem bagi hasil yang
eksploitatif, misalnya dalam usaha penangkapan purse seine berdasarkan sistem bagi hasil yang berlaku 60 dari total pendapatan untuk pemilik modal dan 40
sisanya untuk buruh nelayan. Porsi 40 tersebut, masih harus dibagi lagi kepada semua anggota kelompok atau ABK dengan porsi yang berbeda–beda
sesuai dengan peran masing-masing dalam kegiatan penangkapan. Keuntungan usaha lebih dinikmati pemilik modal, sehingga kurang berpengaruh terhadap
perbaikan taraf hidup nelayan kecil. Pemanfaatan bantuan pemerintah melalui fasilitas kredit motor tempel
dan alat penangkapan ikan kepada nelayan telah memberikan pengaruh yang berarti terhadap produksi hasil tangkapan. Hal ini memberi petunjuk bahwa kredit
motor tempel dan alat penangkap ikan telah memberi dampak yang positif terhadap produksi perikanan. Tetapi jika ditinjau dari tujuan program kredit yang
dicanangkan oleh pemerintah melalui proyek dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan, ternyata tujuan tersebut masih belum sepenuhnya dinikamti
oleh nelayan, hanya sebagian kecil nelayan terutama nelayan yang mampu mengganti alat penangkapan ikan yang diberikan dari fasilitas kredit menjadi alat
penangkapan ikan. Gambaran di atas memberi indikasi bahwa secara umum nelayan kecil
baik yang memiliki keterkaitan kegiatan dengan usaha perikanan modern maupun tidak, sedang menghadapi kondisi sosial ekonomi yang kurang
menggembirakan. Hermanto 1989 menjelaskan bahwa secara garis besar ada beberapa faktor penyebab kemiskinan masyarakat nelayan di daerah pantai,
yaitu 1 kurangnya saran prasarana penunjang, 2 rendahnya penerapan teknologi perikanan, 3, lemahnya kelembagaan masyarakat, 4 lemahnya
sumberdaya keluarga nelayan. Faktor-faktor tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya.
Berkaitan dengan principal-agent relation, terlihat bahwa adanya hubungan kerjasama melalui ikatan kontrak formal antara tauke pedagang
pengumpul disatu pihak dengan nelayan di pihak lain. Terciptanya hubungan kerjasama tersebut karena nelayan memiliki kemampuan yang sangat terbatas
terhadap aspek informasi, modal dan juga dihadapkan resiko ketidakpastian uncertainty memperoleh hasil tangkapan yang sangat berfluktuasi baik jumlah,
jenis maupun ukuran. Disamping itu produk perikanan yang melimpah bulky dan mudah membusuk perishable, sehingga harus dijual secepat mungkin.
Dengan kondisi yang demikian nelayan juga menghadapi resiko pemasaran hasil dengan tingkat harga yang cenderung berfluktuasi. Di lain pihak, tauke terutama
pedagang pengumpul ekspor memiliki akses terhadap informasi dan modal yang
membutuhkan adanya kepastian pasokan ikan dari nelayan secara kontinu dalam jumlah, jenis dan ukuran yang sesuai untuk tujuan ekspor.
Gambaran kemitraan usaha yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar terlihat jelas belum dapat
memberikan hasil yang berarti dalam upaya pemberdayaan nelayan kecil secara umum. Demikian halnya dengan kondisi di Kota Ambon, intervensi pemerintah
dalam membantu nelayan dalam berbagai bantuan yang diberikan lewat program ”kredit usaha kecil”, dan bantuan dari berbagai instansi dalam bentuk modal kerja
dan investasi bagi nelayan khususnya perikanan tangkap guna memberdayakan nelayan di kota ini, belum sepenunya memberikan hasil yang memadai. Pihak
perusahaan seperti PT Maprodin, PT Mina Kartika PT. Nusantara Fishery dan PT. Sarana Maluku Ventura yang membangun kemitraan dengan nelayan di Kota
Ambon, juga masih menghadapi berbagai permasalahan. Kemitraan yang berlangsung belum juga memberikan solusi yang jitu bagi peningkatan
kesejahteraan nelayan di kota ini. Untuk mengatasi berbagai kondisi ini maka kehadiran program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir PEMP yang
diprakarsai oleh departemen kelautan dan perikanan melalui kegiatan kemitraan usaha dengan nelayan di Kota Ambon diharapkan menjadi solusi bagi upaya
memberdayakan nelayan tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dikaji : 1. Bagaimana konsep pengembangan
dan implementasi kelembagaan kemitraan perikanan tangkap dalam pemberdayaan nelayan ? 2. Faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan
kelembagaan kemitraan perikanan tangkap dalam pemberdayaan nelayan? 3. Bagaimana pengembangan kapasitas kelembagaan kemitraan perikanan
tangkap dalam pemberdayaan nelayan ? Pertanyaan di atas perlu untuk ditelaah, karena penelitian untuk mengkaji
kemitraan usaha pemerintah dengan nelayan kecil di Kota Ambon secara komprehensif belum dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting karena untuk
mendesain program kemitraan di masa datang perlu ditopang oleh pengetahuan dasar yang memadai mengenai sebab-sebab kegagalan masa lalu, sehingga
akan menjadi pedoman bagi memperbaiki kehidupan nelayan kecil perikanan tangkap di kota ini.
1.3 Tujuan Penelitian