Latar Belakang Institutional capacity of catch fishery partnership in the empowerment of fishermen in Ambon

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap nelayan dalam kegiatan usahanya adalah dalam jangka waktu tertentu dapat memperoleh hasil tangkapan seoptimal mungkin. Hasil tangkapan nelayan tersebut secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kemampuan teknis dan manajemen. Dalam hal teknis adalah jenis perahu dan alat tangkap yang dimiliki nelayan, sedangkan dalam manajemen berkaitan dengan sikap atau prilaku nelayan ke arah pengembangan usaha yang pada dasarnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka. Selanjutnya faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan yang ada. Pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya penangkapan ikan di masa mendatang dihadapkan pada kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian besar sumberdaya perikanan dimanfaatkan oleh usaha perikanan berskala kecil atau perikanan rakyat. Keadaan usaha perikanan rakyat yang pada umumnya masih sederhanatradisional tersebut, memiliki jangkauan usaha penangkapan yang masih terbatas di perairan pantai, di mana produktivitas yang dihasilkannya masih rendah. Faktor penyebab lambatnya pengembangan usaha penangkapan oleh nelayan tradisional saat ini adalah bergaining position yang masih lemah, kurangnya modal usaha, tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan yang rendah dan kurangnya pembinaan dari instansi terkait. Sangat dipahami perikanan skala kecil atau tradisional umumnya berada di luar kekuasaan politik maupun ekonomi, sehingga nelayan kelompok ini sering memiliki posisi tawar yang lemah. Dampak dari kondisi ini adalah mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber modal yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha penangkapan. Kalau ada pihak perbankan akan menyalurkan kreditnya pada usaha penangkapan skala kecil ini, maka ada persyaratan anggunan collateral dan penerapan suku bunga yang tinggi, yang hal ini justru menjadi titik lemah bagi nelayan skala kecil. Sementara pada sisi lain prosedur perbankan terlalu rumit dan berbelit-belit. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar nelayan merupakan tamatan SD, bahkan ada yang tidak pernah mengeyam pendidikan formal sekalipun. Hal ini tentu saja berimplikasi pada tingkat penerimaan nelayan yang rendah terhadap teknologi baru, meskipun pada hakekatnya untuk membantu mereka. Apalagi terhadap penguasaan teknologi maju dan canggih yang dapat meningkatkan produktifitas penangkapan mereka. Demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan nelayan terhadap produk-produk hukum yang mengatur usaha penangkapan. Hal ini membuat penafsiran mereka yang keliru terhadap produk hukum tersebut, sehingga menimbulkan konflik antara nelayan antar daerah maupun antar alat tangkap yang berbeda. Disisi lain peran pemerintah sebagai fasilitator yang mesti berperan dalam pembinaan terhadap nelayan skala kecil ini belum dilakukan secara maksimal. Pakpahan et al. 2006 Kehidupan miskin yang dialami sebahagian besar nelayan di Indonesia menyebabkan “bargaining position “ mereka sangat lemah. Mereka merasa terisolasi baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosial, mereka teridentifikasi sebagai masyarakat marginal terpinggirkan dan tidak memiliki modal sosial memadai untuk bersaing dengan nelayan-nelayan kapitalis atau nelayan-nelayan pengusaha perikanan. Kalaupun ada HNSI Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia sebagai wadah, anggotanya tidak melibatkan para nelayan kecil, tetapi nelayan-nelayan kapitalis yang memiliki modal besar dan bargaining position tinggi dengan pemerintah atau berbagai stakeholders lainnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup atau pendapatan nelayan skala kecil ini antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapannya. Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan menggunakan teknologi yang relevan yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu memperbesar armada penangkapan dan penggunanan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. Teknologi yang dipakai haruslah yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi teknis, ekonomi, sosiologi, manajemen dan lingkungan Wisudo et al, 1994 Ekonomi nelayan secara struktural menyerupai ekonomi petani, namun apabila dilihat dari sudut pandang perilaku ekonomi, kehidupan nelayan sangat berbeda dengan kehidupan petani. Perbedaan ini tampaknya disebabkan antara lain oleh proses produksi yang berbeda antara usaha penangkapan ikan dan pertanian. Dalam proses produksi persiapan-persiapan yang dilakukan nelayan tidak banyak, meskipun keterampilan penguasaan teknis, penguasaan terhadap iklim, prilaku atau habitat ikan, musim panen dan sebagainya sangat penting. Implikasi dari proses produksi yang terjadi berdampak pada pola pendapatan nelayan, yang tidak mempunyai gambaran terhadap pendapatan yang mereka peroleh. Pola pendapatan nelayan yang tidak teratur ini tampaknya menciptakan perilaku ekonomi yang spesifik dan lebih lanjut berpengaruh pada pranata ekonomi dalam kehidupan sosial masyarakat nelayan. Terbatasnya modal usaha dan terbatasnya akses bagi nelayan memperoleh kredit dari lembaga keuangan resmi, serta pendapatan mereka yang tidak pasti mendorong munculnya mekanisme khusus seperti apa yang kita kenal sebagai “shared risk” pembagian resiko dan “shared of capital” pola pemilikan bersama atau kolektif atas sarana produksi. Kedua mekanisme seperti ini dengan sendirinya merupakan institusi yang dibentuk berdasarkan adaptasi nelayan terhadap pendapatan mereka, yang mana mekanisme seperti ini telah terlembaga dalam kehidupan mereka. Berbagai bentuk lembaga pembiayaan yang dapat melayani masyarakat desa, baik yang bersifat fomal maupun non formal. Sumber lembaga pembiayaan informal lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat. Peminjam bebas menggunakan kreditnya, juga kreditior mengetahui betul kelayakan si peminjam serta bersedia memberi pinjaman kapan, di mana dan berapa saja permintaannya. Sedangkan pembiayaan formal tidak fleksibel, prosedur berbelit, kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu relatif lama, baik untuk mengambil maupun membayar kredit. Seringkali debitor harus mengeluarkan biaya yang cukup besar unutk mengurusnya, sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi Hastuti dan Supadi, 2005. Selama ini terdapat sejumlah bias pemikiran terhadap masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat nelayan. Bias-bias pemikiran seperti itu menempatkan masyarakat nelayan pada posisi yang tidak layak. Mereka dianggap lemah, bodoh, tidak efisien dan tidak mampu menentukan nasib dan kebutuhannya sendiri. Dengan pandangan seperti ini peran pemerintah atau kelompok kuat dalam pembangunan pedesaan nelayan menjadi sangat dominan dan menempatkan kelompok nelayan sebagai instrumen pembangunan, bukannya sebagai subjek pembangunan. Membangun masyarakat nelayan berbasis pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan, diperlukan adanya perubahan kebijakan yang mendasar. Strategi dan pengembangan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan hendaknya diarahkan untuk bertumpu pada masyarakat nelayan community-based policy. Dengan pilihan strategi ini, kebijakan yang diterapkan harus memberikan kemungkinan kepada masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya, menentukan masa depan mereka atas pilihan sendiri. Dengan kata lain program intervensi apapun yang ditetapkan untuk mendorong dinamika dan pertumbuhan kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan akan memberikan hasil yang optimal apabila dalam pelaksanaannya menekankan dimensi distribusi kekuasaan, khususnya kepada masyarakat nelayan. Ini mengandung konsekuensi bahwa pemahaman terhadap kekuatan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah mutlak, dan studi terhadap organisasi ekonomi dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan menjadi sangat relevan. Daerah Maluku yang memiliki perairan yang luas mengindikasikan bahwa laut memiliki peran yang vital bagi kehidupan di Maluku, sehingga dapat dikatakan bahwa laut merupakan “ladang kehidupan” bagi penduduk di Maluku. Kota Ambon yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku, memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Salah satu potensinya adalah perikanan tangkap. Gambaran usaha perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon Tahun 2008 dapat dilihat melalui Rumah Tangga Perikanan RTP, jumlah armada penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan. Tercatat untuk Tahun 2008 RTP di Kota Ambon tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya, yaitu tetap sebanyak 3.378 RTP. Jumlah armada penangkapan Tahun 2008 bertambah sebesar 62,87 dari tahun sebelumnya 1.123 armada menjadi 1.829 armada dengan spesifikasi perahu tanpa motor 1.224 armada, perahu motor 586 armada, dan kapal motor 29 armada. Sedangkan jenis alat tangkap yang digunakan untuk Tahun 2008 tercatat sebanyak 3.462 unit, dibandingkan dengan Tahun 2007, terdapat peningkatan yang cukup berarti sebesar 14,18 . Selain itu produksi perikanan dalam bentuk segar di Kota Ambon Tahun 2008 tercatat sebesar 19.919,51 ton dengan niali produksi sebesar Rp 63.965.805.000. Produksi tersebut mengalami peningkatan drastis dari Tahun 2007, yaitu sebesar 83,21 . Namun jika dilihat dari nilai produksinya terlihat peningkatan yang dihasilkan sebesar 39,26 . Produksi ikan segar ini didominasi oleh ikan cakalang. Nelayan yang memanfaatkan wilayah perairan pesisir Selatan Kota Ambon untuk menangkap ikan, diketahui berasal dari 8 desa. Nelayan-nelayan ini menggunakan 13 jenis alat penangkapan ikan sebanyak 615 unit yang didominasi oleh pancing tangan sebanyak 223 unit 36 , jaring insang hanyutpermukaan sebanyak 120 unit 20 , pancing tonda 103 unit 17 , panah dan jaring insang dasar sebanyak 43 unit 7 , rumpon sebanyak 32 unit 5 , pole and line sebanyak 16 unit 3 , tangguk 14 unit 2 dan alat tangkap lainnya lebih sedikit dari 10 unit. Jenis dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan pesisir Selatan Kota Ambon dirinci menurut desa No Jenis Alat Tangkap Jumlah unit G L A S M N K H 1 Panah 5 4 5 6 5 3 8 7 2 Pancing tangan 10 97 22 15 13 7 11 48 3 Pancing tonda 2 23 12 19 6 17 6 18 4 Rawai 1 5 Pole and line 16 6 Bubu 1 1 1 4 7 Jala 1 8 Tangguk 3 9 Jaring insang permukaan 17 38 14 11 15 25 10 Jaring insang dasar 7 10 3 12 5 6 11 Trammel net 2 1 2 12 Pukat cincin 4 4 13 Rumpon ALPI 8 12 2 7 1 1 1 3 Total 65 188 58 66 23 56 34 116 Sumber : Hasil Penelitian Unpatti 2002 Ket : G= Galala, L=Latuhalat, A=Airlow, S=Seri, M=Mahia, N=Naku, K=Kilang, H=Hukurila Tabel 1 memperlihatkan bahwa nelayan yang berasal dari Desa Latuhalat paling banyak mengoperasikan alat penangkapannya di perairan ini, yakni sebanyak 188 unit alat penangkapan ikan yang terdiri dari 7 jenis alat tangkap. Selanjutnya nelayan dari Desa Hukurila mengoperasikan 116 unit alat penangkapan ikan yang terdiri dari 10 jenis alat tangkap. Nelayan-nelayan pole and line sebanyak 16 unit yang berasal dari Desa Galala yang pesisirnya relatif jauh dari wilayah ini juga memanfaatkannya sebagai daerah penangkapan cakalang. Di wilayah perairan pesisir Selatan Pulau Ambon beroperasi 285 armada penangkap ikan yang terdiri dari 215 perahu penangkap tanpa mesin, 33 kapal penangkap ikan bermesin motor tempel, 21 yang bermesin ketinting dan 16 kapal penangkap ikan yang bermesin motor dalam. Secara rinci gambaran armada penangkapannya terlihat pada Tabel 2. Nelayan-nelayan dari desa Latuhalat yang memiliki armada penangkap ikan terbanyak yakni 87 unit armada penangkap ikan, kemudian nelayan-nelayan yang berasal dari desa Seri yakni sebanyak 51 unit armada penangkap ikan, Naku sebanyak 34 armada, Kilang sebanyak 27 armada, Hukurila sebanyak 26 armada, Mahia sebanyak 24 armada dan Airlouw sebanyak 20 armada, sedangkan armada pole and line sebanyak 16 unit berasal dari desa Galala Tabel 2. Armada penangkapan ikan yang beroperasi di pesisir Selatan Kota Ambon menurut desa asalnya No. Desa Perahu Tanpa Motor Ketinting Motor Tempel Mesin Dalam Jumlah 1. Galala 16 16 2. Latuhalat 74 13 87 3. Airlouw 16 2 2 20 4. Seri 40 4 7 51 5. Mahia 18 6 24 6. Naku 23 10 1 34 7. Kilang 22 3 2 27 8. Hukurila 22 2 2 26 T o t a l 215 21 33 16 285 Sumber : Hasil penelitian Unpatti 2002 Total hasil tangkapan ikan yang berasal dari wilayah perairan pesisir Selatan Pulau Ambon adalah 190.631 kg 190,63 ton per bulan. Bila diperkirakan nelayan dapat mengoperasikan alat penangkapannya di perairan ini dalam setahun selama 8 bulan, maka total produksi ikan yang berasal dari pesisir Selatan Pulau Ambon adalah sebesar 1.525.048 kg 1.525,05 ton per tahun. Jenis ikan cakalang yang paling banyak ditangkap dari perairan ini yakni sebanyak 119.538 kg 119,54 ton per bulan kemudian ikan pelagis kecil sebanyak 53.459 kg 53,46 ton per bulan, ikan-ikan demersal sebanyak 10.059 kg 10,06 ton per bulan dan jenis ikan tuna sebanyak 7.575 kg 7,58 ton per bulan. Ikan-ikan pelagis besar dan kecil yang selama ini ditangkap oleh nelayan tradisional di perairan pesisir Selatan Kota Ambon, tidak didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan TPI tetapi masih di daratkan di pasar-pasar tradisional. Kegiatan penangkapan kelompok ikan pelagis besar dan kecil ini juga masih bercirikan perikanan tradisional. Berdasarkan gambaran kondisi perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon di atas, maka kehadiran kemitraan adalah merupakan hal yang sangat penting dalam kerangka memberdayakan masyarakat nelayan di wilayah ini. Sehingga pada gilirannya nelayan khususnya perikanan tangkap akan keluar dari perangkap keterbelakangan yang membelenggu mereka selama ini. Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan usaha mampu memberikan manfaat antara lain : 1 meningkatkan produksi secara moderat, stabil, dan berkesinambungan, 2 meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, 3 mengurangi pengangguran di pedesaan, 4 meningkatkan pemerataan dan keadilan sosial, 5 menciptakan kerja dan lapangan berusaha, 6 meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan 7 meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan, 8 melestarikan kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan pembanguan berkelanjutan Saptana dan Ashari 2007. Anwar 1992 mengatakan bahwa pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistim perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama nelayan golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktivitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan maximum social benefit, terutama ditinjau dari pencapaian tujuan nasional jangka panjang. Dengan demikian dalam mengembangkan usaha perikanan usaha penangkapan ikan bantuan dalam bentuk kemitraan usaha yang diberikan oleh berbagai pihak, pemerintah maupun swasta sangatlah diperlukan tidak hanya terbatas pada modal usaha tetapi penyuluhan maupun bimbingan dan pengamanan pasar produknya.

1.2 Perumusan Masalah