Total Bobot Basah Hasil Panen dan Nilai Efisiensi Biologi
dimanfaatkan secara optimal. Kayu tropis ini mempunyai kadar selulosa 48,33 persen, lignin 27,28 persen dan pentosan 16,34 persen, dengan nisbah CN
53,170,25 Nurhayati 1988. Kayu sengon memiliki bobot jenis yang rendah yaitu berkisar antara 0,24-0,49 dengan rata-rata 0,33 Widarmana 1984.
Substrat serbuk gergajian ini kemudian diperkaya dengan gips dan kapur serta dedakbekatul padi yang merupakan hasil samping penggilingan padi.
Mineral kalsium yang ditambahkan ke dalam substrat adalah gips CaSO4 dan kalsium karbonat CaCO3. Tujuannya adalah untuk memperbaiki pH, struktur
atau permeabilitas media produksi. Total mineral kalsium yang ditambahkan berkisar 0,5-1 dari total media tanam, dapat berasal dari satu jenis mineral
kalsium atau bersama-sama Priyadi dan Akhmadi 2000. Bekatul polish bagian luar dari butiran beras setelah kulit padi sekam
dan kulit ari Soemardi 1975, terdiri atas perikarp, lapisan aleuron, embrio dan sebagian endosperm serta mengandung sebagian besar vitamin dari biji. Dari
gabah kering giling setelah mengalami pengupasan kulit dan penyosohan dihasilkan bekatul 8, sekam 20, beras 65 dan hilang 7 Grist 1965.
Komposisi kimia bekatul adalah kadar air 9,7, kadar protein 13,3, kadar lemak 15,8, kadar abu 10,4, karbohidrat 39, serat kasar 11,8 Houston dan
Kohler 1970. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor panen
maupun interaksi antara faktor isolat dan faktor panen berpengaruh nyata terhadap total bobot basah hasil panen isolat jamur. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa faktor isolat berpengaruh nyata terhadap nilai EB isolat jamur. Isolat P. ostreatus
HO memberikan respon yang paling tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya pada nilai rata-rata total bobot basah hasil panen per kantong
substrat 142,4 gram. Nilai rata-rata total bobot basah hasil panen per kantong substrat terendah pada Pleurotus EB14-2 sebesar 34,8 gram
Isolat P. ostreatus HO juga memberikan respon yang paling tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan lainnya yaitu dengan nilai EB 119,0. Nilai
EB terendah pada Pleurotus EB14-2 sebesar 29,1. Nilai EB Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu sengon dapat mencapai 52,6 Gunawan 1997,
pada media campuran serbuk gergajian kayu sengon dengan limbah kertas
mencapai 126 Widiastuti dan Gunawan 1991, pada media jerami padi dengan waktu 30-45 hari dapat mencapai 100 Chang dan Miles 1989. Pada industri
jamur nilai EB ini berkisar antara 40-90 dan merupakan parameter keberhasilan budidaya jamur.
Dari data di atas berarti P. ostreatus HO sebagai standar pembanding dapat menghasilkan nilai EB yang tertinggi yaitu di atas 90. Sedangkan dari
isolat uji, Pleurotus EB9 menghasilkan nilai EB yang cukup tinggi yaitu di atas 40. Namun untuk kelima isolat lainnya yaitu Pleurotus EB24, Pleurotus EA4,
Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB14-2 menghasilkan nilai EB
yang masih rendah yaitu masih di bawah 40. Dari penelitian ini, terlihat kecenderungan menurunnya rata-rata bobot
basah hasil panen per kantong substrat dari panen pertama ke panen-panen selanjutnya. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa pada panen pertama nutrisi
yang tersedia pada media produksi masih cukup banyak sehingga jamur dapat tumbuh dengan optimal dan menghasilkan bobot basah hasil panen per kantong
substrat yang besar. Sedangkan pada panen berikutnya terjadi penurunan bobot basah hasil panen per kantong substrat, yang disebabkan nutrisi yang terkandung
dalam substrat semakin berkurang dan adanya metabolit-metabolit sekunder yang dihasilkan jamur yang mungkin bersifat racun bagi miselium jamur sendiri.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada media yang sama kelompok Pleurotus mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkan
nutrisi yang tersedia. Pleurotus EB9 mampu memanfaatkan nutrisi yang tersedia secara optimal, walaupun masih lebih rendah dibanding P. ostreatus HO.
Sedangkan isolat-isolat Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus
EB6 dan Pleurotus EB14-2 belum optimal dalam memanfaatkan nutrisi yang tersedia. Hal ini diduga karena isolat tersebut merupakan isolat liar yang
memerlukan adaptasi dengan lingkungan baru. Berdasarkan nilai EB isolat liar tersebut belum cukup memuaskan jika akan dibudidayakan. Kelima isolat tersebut
diduga juga memerlukan pengujian berupa penambahan faktor nutrisi dengan komposisi tertentu seperti suplemen untuk dapat memicu pertumbuhannya. Selain
itu, faktor lingkungan seperti RH dan suhu juga mempengaruhi pertumbuhan jamur, sehingga dapat menjadi faktor untuk meningkatkan petumbuhannya.
Pada pengukuran kelembaban RH dan suhu ruangan yang dilakukan di rumah tanam cukup bervariasi. Bulan Agustus tahun 2004 merupakan waktu hari
hujan paling sedikit pada tahun tersebut di Bogor. Pada saat substrat produksi mulai dipindahkan ke ruang pemeliharaan sampai akhir pengamatan, terlihat
kisaran suhu dan kelembaban adalah 26-28
o
C suhu pagi, 50-68 pagi, 26- 28
o
C suhu sore dan 50-78 sore. Menurut Oei 2003 kelembaban yang dibutuhkan untuk pemunculan primordia adalah 90, sedangkan pada saat tubuh
buah mulai berkembang kelembaban yang dibutuhkan lebih rendah yaitu berkisar antara 80-85 dengan suhu sekitar 25-28
o
C. Dari data di atas dapat kita lihat bahwa kisaran kelembaban pada ruang pemeliharaan belum sesuai dengan kondisi
untuk pertumbuhan jamur yang optimum. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ruang pemeliharaan yang digunakan masih menggunakan cara konvensional atau
manual sehingga sulit untuk mengatur dan mempertahankan kelembaban dan suhu yang diinginkan. Selama ini untuk mengatur dan mempertahankan kelembaban
dilakukan dengan cara menyirami lantai ruang pemeliharaan yang juga diberi karung basah, dan penyiraman air dengan menggunakan sprayer tiga kali sehari
terhadap kantung substrat produksi.