Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi

Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.9 A. Bidang tangensial kayu akasia setelah diinokulasi dengan Pleurotus EB14-2 setelah 2 1, 4 2 dan 8 minggu inkubasi 3. 1a. Miselium menyebar melalui noktah. 1b. 3b. Miselium di dalam jari-jari. 2c. Miselium di dalam lumen serat. B. Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 1 dan 8 minggu inkubasi 2. Mikrograf cahaya. a. Miselium menyebar melalui noktah. b. Miselium di dalam jari-jari. c. Miselium di dalam lumen serat. C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi 1 dan 2. Mikrograf SEM. 1a. Terlihat serat yang dinding sekundernya terdegradasi. 1b, 2b. Lamela tengah yang juga terdegradasi. 2c. Jari-jari berlubang dan lepas. 1 2 3 a b b c 10 µm 10 µm 10 µm a b b c 1 2 10 µm 10 µm a a b b 1 c 10 µm b b 2 c 10 A B C Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.10 A. Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi 1 dan 2. 1a. Jari-jari, dan sel jari-jari yang lepas 1a1 dan miselium dalam jari-jari 2a. 2b. Miselium dalam lamela tengah sel serat. 2c. Noktah sel. B. Bidang tangensial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi 1 dan 2. 1a dan 2a. Jari-jari, dan miselium dalam sel jari-jari 2a. 2b. Lumen sel serat tanda panah. C. Bidang transversal kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi 1 dan 2. Mikrograf SEM. 1a. Pori saluran pembuluh yang dikolonisasi oleh miselium. 1b. Sel parenkim. 2a1. Miselium yang mengkolonisasi pori. 2b. Noktah sel. 2c. Dinding sel sekunder yang telah terdegradasi. 2d. Lamela tengah yang telah terdegradasi. b c a 2 10 µm a a 1 50 µm A 1 a 10 µm 2 b a 10 µm B 2 a1 b c d 10 µm a 1 10 µm b C Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.11 Bidang radial kayu akasia setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi A, B, C dan D. Mikrograf SEM. A1a. Sel jari-jari, A1b. Pori saluran pembuluh yang dikolonisasi oleh miselium. A2a. Sel Serat yang terlepas. B1a. Miselium yang mengkolonisasi pori dan menyebar masuk melalui noktah, dinding sel sekitar noktah terlihat berwarna putih karena terdegradasi. B1b. Koloni miselium. B2a. B2b. Miselium yang mengkolonisasi lubang pori. B2c. B2d. Dinding sel pori yang terdegradasi dan robek. C1a. Noktah sel serat. C1b. Lubang sel parenkim. C2a. Sel serat yang terlepas. C2b. Diduga struktur dari bakal tubuh buah jamur. D1a dan D2a. Miselium yang masuk melalui noktah, dinding sel sekitar noktah nampak berwarna putih karena terdegradasi. D2b. Sambungan apit miselium. a 1 b 50 µm a 2 10 um 1 a b 10 µm 2 a b 10 µm 1 a b 10 µm a b c 2 d 10 µm 1 a 10 µm 2 a b 10 µm A B C D Sumber: Foto Elis Nina Herliyana Gambar 3.12. A. Bidang transversal kayu sengon kontrol terlihat sel-selnya utuh 1 dan bidang transversal kayu sengon setelah diinokulasi dengan P. ostreatus HO setelah 6 minggu inkubasi 2 dan 3. A1a. Pembuluh pori, A1b. Jari-jari. A1c. Sel parenkim nampak lebih persegi dan berdinding tipis. A1d. Serat nampak bulat dan berdinding tebal. A2a dan A3a. Miselium mengkoloni pembuluh. A2b. Jari-jari terdegradasi jamur dan menipis dinding sel sekundernya. A2c dan A3c. Dinding sel sekunder dan lamela tengah terdegradasi. A3b. Dinding sel sekunder mengembang dan nampak lamela tengah berwarna gelap. B. Penampakan irisan tangensial kayu sengon setelah inokulasi dengan Pleurotus EB9 setelah 2 minggu inkubasi 1 dan 2. B1a. Miselium mengkolonisasi jari-jari. B2a. Miselium di dalam lumen serat. B2b dan B2c. Miselium menyebar melalui noktah. B2d. Miselium menembus dinding sel serat tanda panah. Mikrograf cahaya. Pembahasan Tingkat Degradasi dan Laju Dekomposisi Isolat Kelompok Pleurotus Pada Kayu Bahan Pulp, Serta Bobot Kering Sisa Kayu Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa ke tujuh isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO sebagai isolat pembanding dapat mengkolonisasi dan mendegradasi kayu pinus dan akasia. Sedang untuk kayu sengon, hanya isolat Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO, yang dapat mengkolonisasi dan 1 a b c d 10 µm 3 a b c 10 µm 2 c a b 10 µm 1 a a b c 2 d 10 µm 50 µm A B mendegradasinya, untuk lima isolat kelompok Pleurotus lainnya terhadap kayu sengon tidak tercatat. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian diikuti kayu akasia dan kayu pinus. Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus tersebut adalah antara 1,8 sampai dengan 92,3 mgminggu. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya adalah P.ostreatus HO pada kayu sengon 92,3 mgminggu pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-2 adalah Pleurotus EB9 pada kayu sengon 90,7 mgminggu pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-3 adalah Pleurotus EB9 pada pinus 86,3 mgminggu pada minggu ke-6. Isolat paling rendah laju dekomposisinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu akasia sebesar 1,2 mgminggu pada lama inkubasi 8 minggu. Penurunan bobot kering kayu berbanding lurus dengan tingkat degradasi maupun dengan laju dekomposisi. Tingkat degradasi dan laju dekomposisi kayu pinus dan akasia cenderung meningkat seiring dengan lamanya masa inkubasi. Namun tingkat degradasi dan laju dekomposisi pada minggu ke-8 tampak menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh bobot kering awal kayu yang berbeda, tidak meratanya penempatan sampel di dalam botol dan dimulainya inokulasi oleh isolat jamur yang tidak seragam. Bobot kering awal kayu yang berbeda diduga menyebabkan tidak meratanya degradasi pada contoh uji. Namun, dilihat dari tingkat degradasi, perbedaan tersebut pengaruhnya sedikit, oleh karena itu bobot kering awal dalam perhitungan selanjutnya dikonversi menjadi 1,5 gram, yang merupakan rata-rata bobot kering awal ketiga jenis kayu. Tingkat degradasi tidak berubah, namun laju dekomposisi ada yang berubah. Pada Pleurotus EA4, terlihat laju dekomposisi pada bobot kering kayu awal yang dikonversi sama dengan laju dekomposisi pada bobot kering kayu awal yang tidak dikonversi. Satu isolat jamur pada satu jenis kayu, yang mempunyai tingkat degradasi yang rendah belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang rendah ataupun sebaliknya, Satu isolat jamur pada satu jenis kayu yang mempunyai tingkat degradasi yang tinggi juga belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kayu pinus secara keseluruhan lebih sukar mengalami biodegradasi dibanding kayu sengon dan akasia. Hal ini diduga disebabkan adanya suatu zat ekstraktif yang sangat penting pada pinus, yaitu resin yang dihasilkan pada saluran resin. Saluran resin adalah suatu ruang antar sel yang dikelilingi oleh sel-sel parenkim khusus yang mengeluarkan resin ke dalam saluran tersebut. Resin ini diduga mempunyai peranan penting dalam menolak serangan serangga ataupun penyerang-penyerang lain Haygreen dan Bowyer 1986. Zat ekstraktif mempunyai nilai yang penting, antara lain: kayu menjadi tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna pada kayu. Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Tiap jenis kayu memiliki ekstraktif yang berbeda-beda, baik dalam hal sifat maupun daya racunnya Fengel dan Wegener 1984. Struktur dan komposisi lignin juga mempengaruhi tingkat degradasi suatu isolat jamur. Lignin pada kayu daun jarum berbeda dibandingkan lignin pada kayu daun lebar, struktur maupun komposisinya. Hal ini berpengaruh terhadap sifat- sifat seperti ketahanan terhadap serangan mikroorganisme, degradasi dan juga dalam teknologi pengolahannya dan sebagainya. Lignin kayu daun lebar disusun oleh koniferil alkohol dan sinafil alkohol dengan suatu perbandingan tertentu tergantung pada faktor tempat tumbuh dan spesies yang secara umum lebih mudah diuraikan oleh jamur pelapuk putih dibanding lignin pada kayu daun jarum yang hanya disusun oleh koniferil alkohol dan sangat sedikit sinafil alkohol Faix et al. 1985 dalam Reid et al. 1990. Selain itu, selulosa pada kayu akasia dan sengon kayu daun lebar mempunyai derajat polimerisasi DP yang lebih kecil serat pendek, sedangkan pada pinus kayu daun jarum mempunyai DP yang lebih besar serat panjang. Serat yang pendek akan lebih mudah terurai dibanding serat panjang. Namun demikian, suatu jenis jamur pelapuk putih relatif berbeda dalam kecepatan meniadakan komponen utama kayu dengan jenis jamur pelapuk putih yang lain. Perbedaan tersebut dengan jelas mencerminkan perbedaan dalam kegiatan enzim-enzimnya Nicholas 1987. Pengamatan Secara Mikroskopik Jaringan Kayu Pengamatan kayu pada bidang radial dan tangensial dengan menggunakan mikroskop cahaya maupun SEM, miselium isolat Pleurotus terlihat mengkoloni sel jari-jari kemudian pada minggu ke-4 menyebar ke sel-sel lain di sekitarnya melalui noktah sel dan pada minggu ke-6, miselium sudah mengkoloni jari-jari, lumen sel-sel parenkim dan trakeid serta saluran resin. Struktur kayu akasia dan sengon kayu daun lebar berbeda dengan kayu pinus kayu daun jarum. Kayu daun lebar tersusun atas jenis-jenis sel yang berbeda dengan variasi proporsi yang luas dan terlihat lebih kompleks. Namun cara serangan isolat-isolat jamur yang diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip dengan pada pinus. Pada tahap awal pelapukan yaitu minggu ke-2, miselium isolat kelompok Pleurotus terlihat mengkoloni sel jari-jari, dan pada minggu ke-4, melalui noktah-noktah, miselium masuk dan menyebar ke struktur kayu. Pada minggu ke-6 dan ke-8 noktah-noktah dan sel-sel terlihat rapuh akibat pengikisan oleh enzim-enzim yang dihasilkan miselium jamur, sebagian susunannya sudah tidak teratur dan beberapa ikatan penyusunnya sudah terlepas. Pada kayu sengon, pada minggu ke-2 miselium Pleurotus EB9 menembus dinding sel secara langsung tanpa melalui noktah. Hasil pengamatan mikroskopik pada kayu pinus oleh P. ostreatus HO, memperlihatkan adanya dua tipe pelapukan yang berbeda, yaitu dinding sel sekunder terdegradasi lebih dulu dibanding lamela tengahnya, serta yang kedua, lamela tengah dan dinding sel sekunder terdegradasi secara bersamaan. Berbagai spesies kayu mempunyai ciri-ciri khas yang unik yang memungkinkan satu spesies berbeda dari lainnya, demikian pula halnya dengan mikroorganisme yang mengkoloni dan mendegradasi kayu. Bentuk degradasi ini merupakan sesuatu yang dihasilkan dari kombinasi struktur dan komposisi kayu serta sifat-sifat mikroorganisme penyerang, dalam hal ini jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus. Kayu tersusun atas beberapa tipe sel yang berbeda. Struktur kayu akasia dan sengon kayu keras lebih kompleks dibandingkan dengan struktur kayu pinus kayu lunak. Menurut Wilcox 1987, satu ciri struktural dinding-dinding semua sel kayu yang mempunyai arti sangat penting dalam degradasi adalah noktah. Pada umumnya noktah itu terdiri atas sebuah lubang lewat dinding sel yang sebagian tersumbat oleh suatu selaput. Noktah-noktah itu menyediakan jalan untuk penyebaran antar sel bagi organisme yang mempunyai kemampuan terbatas untuk melakukan penetrasi langsung di dinding sel. Karena kayu pada dasarnya adalah sistem tertutup, miselium jamur harus masuk lewat dinding sel atau selaput-selaput noktah agar dapat secara sempurna merembes ke struktur kayu. Sifat dinding miselium yang kaku di bagian belakang ujung miselium dan sistem percabangan miselium yang kompleks memungkinkan miselium yang lebih tua umurnya akan melekat erat pada substrat. Dengan demikian secara desakan mekanis ujung miselium dapat memanjang ke depan. Kemampuan tersebut ditambah dengan dihasilkannya enzim ekstraselular yang menguraikan substrat kayu mengakibatkan miselium mampu membuat lubang kecil menembus dinding sel kayu. Sistem percabangan miselium yang menyebar memungkinkan miselium menguasai substrat jaringan kayu secara menyeluruh. Pengaruh-pengaruh anatomik yang dihasilkan oleh isolat-isolat jamur yang diujikan tampak seragam. Pada tahap awal penyerangan oleh jamur, terlihat bahwa miselium jamur pelapuk putih mendiami saluran resin dan jari-jari pada kayu pinus. Pada kayu akasia terlihat bahwa miselium jamur mendiami pembuluh- pembuluh dan jari-jari. Penelitian ini memperkuat simpulan Wilcox 1987, bahwa jari-jari dalam struktur kayu daun jarum penting dalam degradasi kayu. Sel jari-jari menjadi jalan bagi distribusi transversal bahan-bahan simpanan, dan juga dapat menjadi jalan menyebarnya miselium ke sel-sel lain disekitarnya. Jamur pelapuk putih sering mendegradasi lignin dan selulosa secara progresif terhadap serat kayu daun lebar dan trakeid kayu daun jarum yaitu dari lumen dan maju ke luar ke arah lamela tengah yang mengakibatkan penipisan dinding, walaupun kecepatan dekomposisi kedua komponen itu mungkin berbeda. Simpulan Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu pinus 40,1 dan pada kayu akasia 38,1. Isolat paling tinggi ke-2 adalah P. ostreatus HO pada akasia 31,8 pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian diikuti kayu akasia dan pinus. Hasil analisis ragam ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada kayu pinus dan akasia menunjukkan bahwa lama inkubasi, jenis isolat, dan interaksi antara jenis isolat dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat degradasi kayu. Besar penurunan bobot kering kayu berbanding lurus dengan tingkat degradasi maupun dengan laju dekomposisi. Cara serangan isolat-isolat jamur yang diinokulasikan pada kayu akasia dan sengon hampir mirip dengan cara serangannya pada pinus.

4. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI SUBSTRAT GERGAJIAN

KAYU SENGON Ligninolytic Characters of Pleurotus Group Based on the Biodegradation of Sengon-wood Sawdust Substrate Abstrak Jamur pelapuk putih mulai dikembangkan untuk mengembangkan industri berbasis jamur di banyak negara diantaranya dalam proses teknologi biobleaching dan biopulping yang berwawasan lingkungan. Di Bogor, enam isolat kelompok Pleurotus liar sudah diisolasi dari beberapa lokasi yaitu Pleurotus EAB7, EB24, EB14-2, EB6, EA4 dan EB9, dan dipelajari karakter ligninolitiknya. Pleurotus ostreatus HO digunakan sebagai pembanding standar. Aktivitas ligninolitik keenam isolat jamur ini diukur setelah ditumbuhkan pada media serbuk gergajian kayu sengon Paraserianthes falcataria dalam kantong dengan bobot sekitar 400 gram, bahan tambahan lain adalah dedak, gips dan kapur serta rata-rata kadar air 70,1. Pengamatan dilakukan pada fase vegetatif, tepatnya saat miselium memenuhi media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong dan pada fase reproduktif pada saat panen 1, 2, 3 dan 4. Contoh uji, yaitu media serbuk gergajian kayu sengon dalam kantong tersebut, dibuka dan dihancurkan dengan menggunakan blender khusus Hammer Mill, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 o C selama 4-6 hari sampai kadar air sekitar 15 dan ditimbang sekitar 30 gram untuk bahan analisis. Analisis dilakukan dengan mengukur kadar zat ekstraktif larut dalam air Standar TAPPI T 207 om-88, kadar zat ekstraktif larut dalam NaOH 1 Standar TAPPI T 212 om-88, kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol-Benzena Standar TAPPI T 204 om-88, analisis kadar lignin Standar TAPPI T 13 os-54, dan analisis kadar holoselulosa dengan metoda browning Standar TAPPI T 211 m dan analisis kadar selulosa Cross dan Bevan Meulenhoff et al. 1977; TAPPI 1996. Kadar zat-zat ekstraktif total secara umum meningkat setelah diinokulasi oleh masing-masing isolat kelompok Pleurotus baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Masing-masing isolat kelompok Pleurotus liar menunjukkan variasi dalam rata-rata penurunan kadar lignin 10,7-89,7 dan selulosa 18,9-87,4. Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan menurunkan kadar lignin substrat terbesar 89,7 dan kadar selulosa terbesar 87,4. Antar isolat mempunyai karakter ligninolitis yang berbeda. Isolat yang paling baik untuk agens biopulping dan biobleaching adalah Pleurotus EB9 pada fase vegetatif. Kata-kata Kunci : Kelompok Pleurotus, karakter ligninolitik, substrat serbuk gergajian kayu sengon Abstract White-rot fungi has been started to be developed for enhancing the mushroom based industry in many countries including in environmentally sound of biobleaching and biopulping technological process. Six isolates of wild Pleurotus group were isolated from various location in Bogor, namely Pleurotus EAB7, EB24, EB14-2, EB6, EA4 and EB9 of which were studied of their ligninolytic character. P. ostreatus HO was used as standard comparison. The ligninolytic character of these six fungi isolates was measured after inoculation into sengon P. falcataria wood sawdust substrate inside plastic bag with substrate weight of about 400 gramm, other additional substances were paddy scalp, gypsum, calcium and water. Observation was done on sengon wood sawdust substrate since vegetative phase until reproductive phase. Samples were opened, destructed with Hammer Mill, and then dried with oven on temperature of 40 o C in 4-6 days until water content reach 15, and weigh about 30 gram for analyses. Analyses were done by measuring water soluble extractive substance TAPPI T 207 om-88 Standar, NaOH 1 soluble extractive substance TAPPI T 212 om-88 Standar, alkohol-Benzena soluble extractive substance TAPPI T 204 om-88 Standar, lignin content TAPPI T 13 os-54 Standar, holocellulose content with methode browning TAPPI T 211 m Standar, and cellulose content with methode Cross and Bevan Meulenhoff et al. 1977; TAPPI 1996. Having applied of each wild Pleurotus group isolates resulted in increasing of extractives total compounds both in vegetative and reproductive phases. Each wild Pleurotus group isolates shows variation in decreasing average of lignin content 10,7-89,7 and cellulose 18,9-87,4. Pleurotus EB9 are able to decrease the highest lignin 89,7 and cellulose 87,4 content of substrate. Classification based on ligninolytic character is different with classification based on morphological and physiological characters. Pleurotus EB9 seems to be separated from other isolates. This shows that there was different ligninolytic character among the isolates. The best isolate for biopulping and biobleaching agent is Pleurotus EB9 on vegetative phase. Keyword : Pleurotus group, ligninolytic characters, sengon sawdust substrate