Pengaruh Suhu Potensi Ligninolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus

tropis pada khususnya Highley dan Kirk 1979; Rayner dan Boddy 1988. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan jamur, karenanya pada suhu 10+1 o C dan 35+1 o C isolat-isolat kelompok Pleurotus yang diuji menyebabkan pertumbuhan koloninya terhambat. Hal ini diduga karena kerja enzim pada suhu tersebut ikut terhambat. Setelah dipindahkan ke suhu ruang, pertumbuhan koloni isolat dapat tumbuh kembali dengan baik karena kerja enzim kembali maksimal. Koloni pada media kultur sebagai variabel menunjukkan perbedaan dalam laju pertumbuhan koloni cepat, sedang, lambat. Pada suhu optimum, laju pertumbuhan koloni kelima isolat Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, dan Pleurotus EB6 termasuk lambat 0,3-0,8 mmhari. Pleurotus EB9 termasuk sedang 2,3 cmhari dan P. ostreatus HO tergolong cepat 8,3 mmhari. Hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing isolat diduga mempunyai sifat genetik tertentu sehingga pada suhu berapapun pertumbuhannya mempunyai laju pertumbuhan koloni yang khas. Ketujuh isolat jamur yang diuji dapat digolongkan sebagai jamur mesofil yang dapat hidup pada rentang suhu 15-40+1 o C, dengan suhu minimal 0+1 o C dan maksimal 50+1 o C Chang dan Miles 1989; Alexopoulos et al. 1996. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat, faktor suhu maupun interaksi antara faktor isolat dan faktor suhu berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan diameter koloni isolat jamur. Hal tersebut menunjukkan bahwa spesies yang berbeda membutuhkan kondisi yang berbeda untuk pertumbuhannya termasuk kondisi lingkungan, diantaranya adalah suhu. Fungsi suhu bagi jamur adalah mempengaruhi aktivitas enzim, organisasi dan komposisi organel-organel sel fungi, komposisi plasmalema dan jumlah lipid Griffin 1994. Aktivitas enzim dapat meningkat dua kali lipat setiap kenaikan 10+1 o C. Enzim yang teraktivasi pada suhu tinggi mempengaruhi kemampuan mensintesis komponen-komponen yang dibentuk seperti vitamin, asam amino atau metabolik lainnya Imam 2000. Suhu optimal untuk pertumbuhan dapat menentukan pertumbuhan miselia atau bibit jamur spawn, dan juga untuk produksi optimal produk metabolik jamur yang berfungsi sebagai obat seperti lentinan oleh jamur Lentinus edodes Chang dan Miles 1989.

3. Pengaruh pH Media

Laju pertumbuhan diameter koloni isolat-isolat jamur yaitu Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9 serta P. ostreatus memperlihatkan kecepatan yang berbeda pada pH yang berbeda. Nilai pH juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur. Hampir semua isolat terlihat dapat tumbuh pada kisaran pH 5-6, kecuali Pleurotus EB14-2 dan Pleurotus EB6, yang pertumbuhannya terhambat pada pH 5. Hal ini sesuai dengan pendapat Kollman 1968 yang melaporkan bahwa suasana asam pH 4,5 – 5,5 baik untuk pertumbuhan jamur. Kirk et al. 1978 juga mengemukakan bahwa laju pertumbuhan jamur pelapuk putih berlangsung cepat pada pH sekitar 5. Pertumbuhan diameter koloni jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune dan P. chrysosporium optimal pada media PDA juga terjadi pada suasana asam pH 4,7 – 5,9 Herliyana 1997. Setiap jenis jamur mempunyai toleransi tertentu terhadap kemasaman substrat tanah maupun kompos. Beberapa strain jamur mempunyai pH optimum yang berbeda, juga antar galur dan spesies Gerraway dan Evans 1984. Nilai pH optimum pada saat pertumbuhan miselium berbeda dengan nilai pH optimum pada saat pembentukan tubuh buah. Miselium Pleurotus spp. tumbuh optimal pada pH 5,5-6,5 Chang dan Miles 1989. Nilai pH dapat mempengaruhi sistem kerja enzim. Nilai pH optimum untuk sebagian besar enzim adalah 6-8 dengan beberapa pengecualian, seperti pepsin, enzim pencernaan dalam lambung yang bekerja optimal pada pH 2 Campbell et al. 2002. Nilai pH juga mempengaruhi ketersediaan ion dalam suatu media. Pada kisaran pH tertentu, ion-ion logam dapat membentuk kompleks yang tidak larut air. Ion Mg dan P dapat tetap berada dalam bentuk bebasnya pada pH rendah, tetapi pada pH tinggi membentuk kompleks tidak larut air sehingga dapat menyebabkan ketersedian ion-ion tersebut berkurang bagi jamur Chang dan Miles 1989. Selain itu pH juga mempengaruhi permeabilitas sel yang berubah pada pH yang berbeda. Pada pH yang rendah, membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion H + sehingga lalu lintas kation esensial terbatas. Sebaliknya, pada pH tinggi membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH - yang menyebabkan anion terbatas Moore dan Landecker 1996; Carlile et al. 2001.

4. Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT

Hasil penelitian menunjukkan semua isolat jamur mempunyai reaksi positif pada medium asam tanat AAT dan asam galat AAG. Reaksi oksidasi yang positif pada media AAG dan AAT menunjukkan semua isolat merupakan jamur pelapuk putih. Isolat kelompok Pleurotus yang diujikan pada media AAG dan AAT diduga mengeluarkan enzim ektraseluler oksidase dengan terjadinya reaksi oksidasi dengan asam galat ataupun asam tanat. Untuk mengetahui suatu jenis jamur termasuk ke dalam jenis pelapuk putih atau bukan dapat dilihat dari reaksi yang terjadi pada media AAG. Suatu isolat yang bereaksi positif terhadap AAG maka isolat tersebut termasuk ke dalam jenis pelapuk putih walaupun isolat tersebut bereaksi negatif terhadap AAT Noubles 1948. Uji reaksi oksidasi dengan menggunakan media AAG dan AAT dilakukan pertama kali oleh Bavendamm pada tahun 1928 terhadap jamur penyebab busuk pangkal batang pada tanaman berkayu Davidson 1938 dalam Noubles 1948. Jamur kelompok pelapuk putih hampir semuanya mengeluarkan enzim ekstraseluler oksidase. Enzim ini diduga dapat mendegradasi asam galat sehingga sifat racun dari asam ini berkurang atau hilang sama sekali Dharmaputra et al. 1989. Pertumbuhan koloni ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada media AAG dan AAT lebih lambat dibandingkan tanpa perlakuan AAG dan AAT, diduga hal tersebut disebabkan AAG dan AAT mempunyai daya racun bagi isolat-isolat jamur tersebut. Dihidroksifenol sebagai penyusun asam galat atau tanin yang tidak berwarna akan membentuk kuinon yang berwarna cokelat gelap apabila teroksidasi secara enzimatis Bell dalam Abadi 1987. Sudiasto 2001 mengungkapkan bahwa tanin biasanya mengingatkan orang kepada asam tanat tannic acid. Tanin banyak terkumpul pada bagian tanaman yang sedang aktif tumbuh, misalnya buah muda, bunga, tunas dan paru. Tanin yang dapat dihidrolisis atau pyrogallol tannin dikenal juga sebagai asam galat gallic acid. Asam tanat merupakan bubuk putih kekuningan sampai coklat muda. Bahan ini tidak berbau, rasanya ”sepet” dan sangat larut dalam air, alkohol dan gliserin. Menurut Fengel dan Wegener 1984 tanin merupakan salah satu jenis senyawa fenolik pada zat ekstraktif di sel-sel kayu. Tanin mudah terhidrolisis dengan air menjadi glukosa dan asam fenolat asam galat dan asam