IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER FISIOLOGIS, LIGNINOLITIK DAN MORFOLOGIS ENAM ISOLAT KELOMPOK

Abstract More than 24 isolates of white-rot fungi of Pleurotus group were isolated from various places in Bogor. Six among them were able to form fruit body on sengon Paraserianthes falcataria wood sawdust medium. Those six isolates are Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9. The identification was based on its physiological, ligninolytical, and morphological characters. The physiological character includes colony type culture and colony growth rate on PDA, MEA, and MPA mediums, and the oxidation reaction using malt medium that contain galat AAG and tannic AAT acids. The ligninolytical character includes the production of ligninase enzyme, especially manganese peroksidase MnP of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4. The morphological character, macroscopically and microscophically, includes the visual appearance of fruit body, the number of stalks, the sizes of pileus and stalk, the lengths and widths of basidospora, sistidia, and basidia. The paraphine technique in making preparats was referred to microtom methodeSPM modification 2002. The morphological observation was done by using light microscope, lucida microscope, and scanning electron microscope SEM. Beside microscopic and macroscopic photos, line-drawing was also conducted by licensed painter. The terminology of macroscopic morphological characteristic description was referred to Corner 1981 and 1994 and Brown 1981. The terminology of fungi colony texture characteristic description was referred to Stalpers Rayner and Boddy 1988. The terminology of microscopic characteristic was referred to Rayner and Boddy 1988, Corner 1981 and 1994 and Brown 1981. The identification result of six isolates that were able to form fruit body are five isolates of Hohenbuehelia petaloides, which are EB14-2 light brown, EB24 gray brown, EA4 light brown, EAB7 gray brown, and Eb6 gray brown, and also Pleurotus djamor EB9 pink. The analysis result of isolate group based on physiological and morphological characters showed that P. djamor EB9 is different with H. petaloides. The production of ligninase enzyme, especially MnP, of P. djamor EB9 and H. petaloides EA4 are also different. Keywords : White-rot fungi of Pleurotus group, P. djamor EB9, H. petaloides, morphology, identification Pendahuluan Beberapa jamur pleurotoid adalah jamur pelapuk kayu Alexopoulos et al. 1996; Dix dan Webster 1995 dan lignicolous hidup di dalam, pada atau di luar kayu Brown 1981. Jamur pleurotoid adalah jenis jamur yang mempunyai ciri- ciri penting di lapangan sebagai berikut: a. tidak mempunyai cincin, b. tidak mempunyai volva, c. konsistensi tangkai padat, d. attachment tangkai: tangkai pendek atau absen pinggir, kurang dari 2 cm, eksentrik atau lateral; e. attachment lamela, fungi berlamela melanjut deccurent, f. bentuk shape dari pileus tudung: bentuk tudung agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram, dan g. tipe pinggiran pileus: pinggiran margin inrolled muda lurus straight tua, bergelombang wavy–bergaris strite-slighly tua Largent 1973. Ciri-ciri lainnya juga adalah berukuran kecil sampai besar, berwarna bervariasi putih, krem, abu-abu, violet, sampai hitam, lunak, licin, daging basidiokarp tebal, berbau sedap; spora bulat-elips, mempunyai dinding tipis dan halus, spora non-amiloid, jejak spora umumnya putih; kadang-kadang jamur ini dapat tumbuh tunggal, biasanya ditemukan banyak tubuh buah pada satu kali pengamatan, berkelompok, berkerumun, bersusun seperti rak; habitatnya umumnya pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar; dan diketahui beberapa spesiesnya bersifat edible, diantaranya yang terkenal adalah kelompok Pleurotus Brown 1981; Largent 1973. Masing-masing jamur menghasilkan kombinasi enzim ligninase yang berbeda-beda. Mekanisme degradasi lignin oleh kelompok Pleurotus belum banyak dipelajari seperti pada P. chrysosporium. Namun dari beberapa studi yang dilakukan, terlihat enzim yang bertanggungjawab untuk degradasi lignin pada jamur Pleurotus bervariasi. Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus, termasuk diantaranya mempunyai sinonim Hohenbuehelia, yang berhasil dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel 1805 pertama kali memberi nama Pleurotus LR 2004. Hohenbuehelia, masih dimasukkan ke dalam Pleurotus Dennis 1953; Largent 1973; Desjardin 1999, namun beberapa peneliti memisahkannya dari Pleurotus Watling dan Gregory 1989; Albertó et al. 1998; Corner 1981. Hohenbuehelia memiliki banyak kemiripan ketika di lapangan dengan Pleurotus spp. dan di alam banyak tumbuh pada substrat kayu. Namun demikian, Hohenbuehelia belum banyak dilaporkan potensinya dalam mendegradasi lignin, termasuk Hohenbuehelia asal Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang jamur pelapuk putih kelompok Pleurotus lokal dengan cara karakterisasi berdasarkan aspek morfologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati karakteristik secara morfologi yaitu dengan pengamatan langsung terhadap fenotip organisme tersebut. Peubah yang diamati dalam karakter morfologis diantaranya adalah karakter morfologis secara makroskopis maupun mikroskopis seperti contohnya jumlah tangkai, ukuran pileus dan tangkai, panjang dan lebar basidiospora, sistidia dan basidia, serta karakter kultur isolat jamur. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kimia Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Studi Ilmu Hayat, Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan di Rumah Jamur Departemen Biologi FMIPA di Tajur, Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan dan Rumah Jamur, Departemen Biologi FMIPA, IPB dan di Laboratorium Mikologi, Bogoriense Herbarium LIPI dan Laboratorium SEM LIPI Zoologi IPB, Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Cibinong dan Laboratorium Bioteknologi dan Biologimolekuler, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia LRPI, Bogor, pada bulan Mei 2004 sampai Januari 2007. Pertumbuhan Isolat Kelompok Pleurotus pada Media Agar Koloni miselium keenam isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 dan Pleurotus EB9 ditumbuhkan pada media MEA. Mula-mula koloni masing-masing isolat dipotong dengan cork bor dengan diameter 7 mm, dan setiap potong koloni miselium dikulturkan pada media dalam cawan Petri berdiameter 90 mm. Media yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar PDA, Malt Extract Agar MEA 1,5 dan Malt Peptone Agar MPA 1,5. Media MEA ada yang dimodifikasi dengan penambahan serbuk gergajian kayu sengon Malt Extract Agar Sengon MEAS atau serbuk jerami padi Malt Extract Agar Jerami MEAJ. Masing- masing isolat jamur tersebut diinkubasi pada suhu kamar 29+1 o C dan diukur laju pertumbuhannya berdasarkan diameter koloni miseliumnya setiap hari selama sepuluh hari inkubasi. Pertumbuhan Jamur Pelapuk Putih Kelompok Pleurotus pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon Percobaan ini bertujuan untuk melihat karakter morfologis secara makroskopis maupun mikroskopis. Kultivasi dengan media serbuk gergajian kayu ini dilakukan seperti pada Chapter 1. Media serbuk gergajian kayu sengon yang sudah diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi, kemudian yang sudah penuh dengan miselium disimpan di ruang pemeliharaan atau ruang produksi sampai keluar tubuh buah. Uji ini dilakukan dengan 4-10 ulangan. Tubuh buah yang sudah matang petik tersebut kemudian dipanen. Tubuh buah tersebut kemudian diamati sifat-sifat morfologi tubuh buahnya. Tubuh buah yang muncul kemudian diinokulasikan potongan daging basidiokarpnya pada medium agar MEA atau media yang paling optimum. Isolat murni ini kemudian digunakan untuk karakterisasi morfologi dan identifikasi. Karakterisasi Morfologi Jamur Pleurotoid Kelompok Pleurotus Secara Makroskopis dan Mikroskopis Selanjutnya dilakukan karakterisasi jamur, yang meliputi karakter morfologis tubuh buah secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi genusspesies dilakukan berdasarkan morfologi basidiokarp dengan mengacu pada Corner 1981 dan 1994 dan Brown 1981. Hasil yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan hasil yang ditulis oleh peneliti-peneliti tersebut dan berdasarkan pustaka lainnya. Terminologi untuk deskripsi karakteristik tekstur koloni jamur mengacu pada Stalpers Rayner dan Boddy 1988. Terminologi karakteristik mikroskopik mengacu pada Rayner dan Boddy 1988, Corner 1981 dan 1994 dan Brown 1981. Ciri-ciri morfologi yang dijadikan dasar dalam identifikasi jamur adalah pertama, pengamatan pada bentuk dan warna permukaan atas basidiokarp. Basidiokarp dipotong melintang menjadi dua bagian mulai dari pangkalnya untuk mengukur ketebalan basidiokarp keseluruhan, jaringan daging atau konteks, dan jaringan lamela. Kedua, selanjutnya dibuat sediaan pileipelis dan pileosistidia, cap trama, gill trama , dan himenium untuk melihat basidia dan pleurosistidia dan seilosistidia. Ketiga, dibuat sediaan radial stipitipelis dan stem trama kalau ada, basidiospora, lapisan kutis dan jaringan lamela. Basidiospora dikeluarkan dari jaringan lamela dengan cara membuat jejak spora di atas kertas berwarna gelap. Keempat, dibuat irisan lapisan kutis dan jaringan lamela dibuat dengan pisau silet atau mikrotom yang tajam sehingga diperoleh irisan dengan ketebalan sekitar 10 µm. Sediaan ini dibuat semipermanen dengan menambahkan laktofenol sebelum ditutup dengan kaca penutup. Sediaan digunakan untuk mengukur panjang dan lebar basidiospora, bentuk dan ukuran elemen kutis, mengukur jaringan lamela serta lebar spesimen. Setiap spesimen diukur 20-25 basidiospora, 3 jaringan lamela dan 3 spesimen. Pengamatan morfologi dilakukan dengan mikroskop cahaya, mikroskop lusida, teknik mikroskop elektron payaran SEM dan juga teknik mikrotom dengan metode parafin. Selain foto mikroskopik dan makroskopik, dilakukan pula line-drawing oleh pelukis berlisensi yaitu Ahmad Satari Biotrop. Preparasi Isolat Untuk Pengamatan Dengan Mikroskop Elektron Payaran Mikroskop elektron payaran SEM ini berguna untuk melihat struktur eksternal suatu obyek dalam bentuk stereo 3 dimensi. Preparasi sampai pemotretan dilakukan pada himenium tubuh buah hasil kultivasi pada isolat Pleurotus EA4, Pleurotus EB6, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB9 dan P ostreatus HO. Tahap-tahap pekerjaan dengan menggunakan SEM mengacu pada Slayter dan Slayter 1992 yang telah dimodifikasi, yang terbagi menjadi 4 tahap yakni: a Preparasi persiapan, b Penempelan, c Coating dan d Pemotretan. Preparasi terdiri atas 5 tahap yaitu : 1 Cleaning, spesimen dicuci dengan garam fisiologis atau buffer coccodylate + 2 jam 4 o C dan diagitasi dalam ultrasonik sonycation selama 5 menit; 2 Pre-fixation, spesimen difiksasi dengan larutan 2.5 glutaraldehyde selama 12 jam, 4 o C; 3 Post-fixation, spesimen difiksasi dengan 2 tannic acid selama 6 jam pada suhu 4 o C, selanjutnya dicuci dengan buffer coccodylate 4 o C selama 15 menit sebanyak 4 kali, kemudian dicuci dengan larutan O 5 O 4 1 selama 2-4 jam pada suhu 4 o C, setelah itu kemudian dicuci dengan aquades selama 15 menit pada suhu 4 o C; 4 dehidrasi dan direndam dengan alkohol 50 selama 5 menit sebanyak 4 kali pada suhu 4 o C, kemudian direndam alkohol 75 selama 25 menit pada suhu 4 o C, selanjutnya direndam alkohol 80-85 selama 20 menit pada suhu 4 o C, dan kemudian direndam dengan alkohol 94 selama 20 menit pada suhu ruang 29 o C + 1 o C, dan terakhir direndam dengan ADS alkohol absolut selama 10 menit pada suhu ruang; dan 5 T-Butanol freeze drying dilakukan selama 10 menit sebanyak 2 kali, kemudian dikering bekukan di dalam vacuum chamber pada suhu -3 o C atau -20 o C selama 2 jam sampai kandungan t-butanol hilang. Spesimen yang telah kering direkatkan pada speciment stub dengan menggunakan selotipe karbon 2 sisi. Selotipe dipotong sepanjang diameter spesiment stub dan kemudian direkatkan pada spesiment stub. Selanjutnya kertas pemisah kedua dilepas dan potongan himenium yang diinginkan diletakkan dengan hati-hati di atasnya. Coating atau pelapisan permukaan spesimen dengan emas dilakukan dengan cara logam emas diuapkan secara vakum sehingga melapisi permukaan spesimen, proses ini dilakukan dengan bantuan vacuum evaporation device. Terakhir, pemotretan untuk pengamatan dan pengambilan foto struktur eksternal spesimen menggunakan mikroskop elektron payaran. Teknik Mikrotom Dengan Metode Parafin Teknik mikrotom dengan metode parafin digunakan untuk mendapatkan sayatan spesimen yang tipis. Metode parafin menggunakan seri larutan Johansen dengan Tertier Butil Alkohol TBA sebagai dehidran modifikasi SPM 2002. Metode ini terdiri atas 10 tahap yaitu a Fiksasi, b Pencucian, c Dehidrasi dan penjernihan, d Infiltrasi, e Penanaman blok, f Penyayatan, g Perekatan, h Pewarnaan, i Penutupan, dan j Pemberian label. Uraian dari tahap-tahap di atas adalah sebagai berikut: a Fiksasi, bahan difiksasi dalam larutan FAA formaldehid 5 bagian: asam asetat glasial 5 bagian : etanol 70 90 bagian selama 24 jam; b Pencucian, larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50 sebanyak 3 kali dengan waktu penggantian masing- masing selama 0,5 jam; c Dehidrasi dan penjernihan, dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VI dengan komposisi dalam Tabel 6.1, waktu perendaman untuk Johansen VII dilakukan dalam botol yang berisi 13 bagian parafin beku; d Infiltrasi, wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam tutup dibuka, kemudian disimpan dalam oven 58 o C selama 12 jam tutup dibuka dan selanjutnya seluruh parafin dituang, diganti dengan parafin cair baru dilakukan 3 kali penggantian setiap 6 jam dan disimpan pada suhu 58 o C; e Penanaman blok, semua cairan parafin dituang dan diganti dengan parafin cair murni dan disimpan di dalam oven dengan suhu 58 o C selama 1 jam, selanjutnya material tersebut siap diblok; f Penyayatan, blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10µm; g Perekatan, sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan ditetesi air, selanjutnya gelas obyek tersebut dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 45 o C selama 3-5 jam; h Pewarnaan, dilakukan pewarnaan ganda safranin 2 dalam air dan fastgreen 0,5 dalam etanol 95. Berturut-turut gelas obyek direndam ke dalam larutan berikut secara berturut-turut xilol 1 5 menit, xilol 2 5 menit, etanol absolut 2 kali masing-masing 5 menit, etanol 95 5 menit, etanol 70 5 menit, etanol 50 5 menit, etanol 30 5 menit, akuades 2 menit, safranin 2 12 jamsemalam, akuades 2 menit, etanol 30 3 menit, etanol 50 3 menit etanol 70 3 menit, etanol 95 3 menit, fast-green 0,5 5 menit, etanol absolut 2 kali masing-masing 5 menit, xilol 1 dan xilol 2 masing-masing 5 menit; i Penutupan, bahan diberi media entellan atau canada balsam dan ditutup dengan penutup; dan j Pemberian label dengan cara ditempel pada sisi kiri gelas obyek. Tabel 6.1 Komposisi masing-masing larutan Johansen dan lama perendaman pada metode parafin tahap dehidrasi dan penjernihan Larutan Johansen Komposisi larutan I II III IV V VI VII Air 50 30 15 - - - - Etanol 95 40 50 50 45 - - - Etanol 100 - - - - 25 - - Tertier butil alkohol 10 20 35 55 75 100 50 Minyak parafin - - - - - - 50 Waktu perendaman 2 jam 24 jam 2 jam 2 jam 2 jam 24 jam Sumber: SPM 2002 Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam karakterisasi morfologi adalah rancangan acak lengkap RAL. Pengolahan data analisis ragam menggunakan SAS9 dan analisis kelompok berdasarkan karakter morfologi menggunakan aplikasi SPSS13. Hasil dan Pembahasan Identifikasi Berdasarkan Karakter Fisiologi, Ligninolitik dan Morfologi Lebih dari 24 isolat jamur pelapuk putih pleurotoid kelompok Pleurotus telah ditemukan dari beberapa tempat di Bogor dan diisolasi basidiokarp-nya. Selanjutnya 17 isolat diantaranya dikultivasi untuk memperoleh tubuh buah. Diantara 17 isolat tersebut, ada enam isolat yang berhasil membentuk tubuh buah. Keenam isolat dengan kode awal dan kode setelah identifikasi berdasarkan hasil karakterisasi morfologi dan fisiologi disajikan pada Tabel 6.2. Setelah dilakukan identifikasi secara morfologi dan fisiologi, keenam isolat tersebut adalah Pleurotus djamor EB9 yang berwarna pink dan Hohenbuehelia petaloides EB14-2 cokelat muda, H. petaloides EB24 cokelat keabu-abuan, H. petaloides EA4 cokelat muda, H. petaloides EAB7 cokelat keabu-abuan, dan H. petaloides EB6 cokelat keabu-abuan. Tabel 6.2 Isolat-isolat jamur kelompok Pleurotus yang ditemukan di daerah Ciherang, Bogor No. Kode awal Setelah identifikasi Ciri-ciri tudung: bentuk, warna, diameter terkecil-terbesar cm. Konsistensi. Pinggiran. Tekstur daging. Panjang dan diameter tangkai cm. Jejak spora 1. Pleurotus EB14-2 H. petaloides EB14-2 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda- putih keruh, 1-1,6-3-6. Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. 0,6-1, 0,9-1,5. Putih. 2. Pleurotus EB24 H. petaloides EB24 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu- abuan-putih keruh, 1,4-2,4-2,5-3. Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. 0,6-2,5, 1-1,8. Putih. 3. Pleurotus EA4 H. petaloides EA4 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat muda- putih keruh, 1-1,4-2,5-3,2. Lunak, tebal. Rata. Daging tudung kenyal. 0,6-1,2, 0,6-1,6. Putih. 4. Pleurotus EAB7 H. petaloides EAB7 Seperti tiram, sendok, kipas, ginjal. Cokelat keabu-abuan -putih keruh, 0,7-1,2-1,6- 2,8. Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. 0,6-0,9, 0,6-1,3. Putih. 5. Pleurotus EB6 H. petaloides EB6 Seperti tiram, kipas, ginjal. Cokelat keabu- abuan-putih keruh, 0,5-2,0-3-4,3. Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. 0,6-1,2,1,1-1,4. Putih. 6. Pleurotus EB9 P. djamor EB9 Seperti tiram, kipas, ginjal. Merah muda pink-putih keruh, 1,4-2,8-3-4. Lunak, tebal. Bergelombang. Daging tudung kenyal. 1,45-2, 0,38-1,2. Merah muda. Deskripsi Karakter Koloni Kultur dan Fisiologis Isolat Jamur Pada Media Agar Karakter Koloni Kultur. Penampakan koloni kultur H. petaloides EB14- 2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P.djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada beberapa jenis medium seperti PDA, MEA, MEAS, MEAJ dan MPA disajikan pada Gambar 6.1. Penampakan kultur dari genus Hohenbuehelia yaitu H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7 dan H. petaloides EB6 pada beberapa jenis media secara umum mempunyai tipe appresed dan downy, serta beberapa silky . Penampakan koloni P.djamor EB9 pada beberapa jenis media secara umum mempunyai tipe velvety dan cottony, atau downy, sedang P. ostreatus HO secara umum mempunyai tipe cottony dan plumose, beberapa velvety Tabel 6.3 dan Gambar 6.1. Tabel 6.3 Tipe koloni kultur ketujuh isolat kelompok Pleurotus pada beberapa jenis media Tipe koloni kultur pada media MEA No. Isolat PDA MEA MEAS MEAJ MPA 1. H. petaloides EB14-2 appresed appresed, downy appresed, downy appresed, downy appresed 2. H. petaloides EB24 appresed , downy appresed, downy appresed, downy appresed, downy appresed 3. H. petaloides EA4 appresed appresed, downy appresed, downy , silky appresed, downy silky appresed 4. H. petaloides EAB7 appresed , appresed, downy appresed, downy , silky appresed, downy appresed , downy 5. H. petaloides EB6 appresed appresed, downy appresed, downy , silky appresed, downy, silky appresed 6. P. djamor EB9 velvety cottony downy , velvety cottony downy , velvety velvety, cottony velvety, cottony 7. P. ostreatus HO velvety , cottony, plumose velvety, cottony, plumose cottony, plumose cottony, plumose cottony Berdasarkan pengamatan di atas diketahui bahwa penampakan koloni kultur satu isolat pada media yang sama dapat berbeda. Di sisi lain, penampakan kultur pada media yang berbeda dapat sama. Hal ini menunjukkan adanya faktor lain yang mempengaruhi penampakan kultur suatu isolat selain faktor genetik dan media. Walaupun demikian, tipe kultur suatu spesies isolat menunjukkan ciri khas yang unik yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Jamur yang tumbuh pada medium padat dapat membentuk koloni yang mempunyai miselium udara aerial mycelium yang tumbuh pada atau di atas permukaan agar dan miselium yang menembus permukaan agar submerged mycelium Rayner dan Boddy 1988. Kedua jenis miselium tersebut mempunyai beberapa istilah yang berbeda yang dibedakan atas tipe atau karakterisasi tertentu. Pada isolat-isolat yang diujikan pada penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan tipe, yang kemudian diberi nama dalam bahasa Inggris serta definisinya. Isolat H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, dan H. petaloides EB6 memiliki koloni kultur tipe appresed dan downy . Tipe appresed yaitu koloni miselium dengan posisi rendah pada permukaan agar, keadaan ini pada beberapa cendawan merupakan taraf pertama dalam pertumbuhan miselium udara, kemudian miselium ini dapat berubah menjadi bentuk lain. Contoh tipe appresed adalah terlihat pada gambar Aa dan Ba Gambar 6.1. Tipe downy yaitu koloni miselium berwarna putih, halus, tidak terlalu tebal, mempunyai hifa pendek, tersebar di atas permukaan miselium yang tampaknya seperti tertutup dengan bulu halus, seperti terlihat pada gambar Ab, Dc dan Bd. Namun pada H. petaloides EB4 dan H. petaloides EAB7, miseliumnya kadang-kadang menunjukkan tipe silky. Tipe silky yaitu koloni tertutupi dengan berkas miselium yang paralel, panjang, kurang lebih rebah dan sering mengkilat seperti sutera yang disisir, contohnya adalah terlihat pada gambar Cb, Cc, Db dan Dd Gambar 6.1. Isolat P. djamor EB9 menunjukkan tipe downy gambar Fa, velvety dan cottony . Tipe velvety adalah lapisan miselium berbentuk tenunan padat dengan helaian rambut yang jelas, tebal, lurus dan pendek seperti beludru, misalnya seperti pada gambar Fb. Tipe cottony adalah bermiselium tegak, agak panjang 3- 5 mm dan tunggal memencar ke semua arah, misalnya seperti pada gambar Fc, tipe ini dapat menjadi tipe velvety apabila rambut-rambut panjang menjadi kusut dan rebah Gambar 6.1. P. ostreatus HO memiliki tipe koloni velvety gambar Gc, cottony gambar Ga dan plumose. Tipe plumose adalah miselium berwarna putih atau putih kekuning-kuningan. Ukuran hifa pendek dan berkelompok, menyebar ke segala arah, tetapi memiliki titik pusat penyebaran yang susunannya mirip kipas angin, misalnya seperti pada gambar Gd Gambar 6.1. Gambar 6.1 Penampakan dan tipe koloni kultur. A. H. petaloides EB14-2, tipe appresed pada a MEAS, c MPA, dan d MPA, tipe downy pada b MEAS dan e MEAJ; B. H. petaloides EB24, tipe appresed pada a MEAS, b MEAS, c MPA dan e MPA, dan tipe downy pada d PDA; C. H. petaloides EA4, tipe appresed pada a MEAS dan d PDA, tipe silky pada b MEAS dan c MEAJ; D. H. petaloides EAB7, tipe silky pada a, b dan d MEAS dan tipe downy pada c MEAS; E. H. petaloides EB6, tipe appresed pada a MEAS, tipe downy pada b dan d MEAS, dan tipe silky pada c MEAJ; F. P.djamor EB9, tipe downy pada a MEAS, tipe velvety pada b MEAS, tipe cottony pada c MPA dan d MEAJ; G. P. ostreatus HO, tipe cottony pada a MPA, tipe plumose pada b MEA dan d MEAS dan tipe velvety pada c PDA a b c d a b c d e A a b c d e B a b c d C D E a b c d b F a c d G a b c d b Karakter Fisiologis Laju Pertumbuhan. Berdasarkan karakter koloni kultur dan karakter fisiologis pada media MEA, maka untuk identifikasi dengan melihat pola kunci H. petaloides adalah A-P-S-1.1.1.1.9.2.1.1.3.1.2, pola kunci P. djamor adalah A-P-I-1.1.1.1.9.2.1.1.2.1.2 dan pola kunci P. ostreatus adalah A-P- I-1.1.1.1.9.2.1.1.1.1.2 Tabel 6.4. Perbedaan yang paling menonjol pada pola kunci H. petaloides, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA tersebut, adalah laju pertumbuhan. H. petaloides mempunyai laju perumbuhan lambat S yaitu menghasilkan diameter koloni berkisar antara 2 sampai 5 cm dalam 14 hari inkubasi. P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO mempunyai laju perumbuhan sedang I yaitu menghasilkan diameter koloni lebih dari 9 cm dalam 14 hari inkubasi Tabel 6.4. Dapat juga dikatakan H. petaloides mempunyai laju pertumbuhan “3”, atau laju pertumbuhannya lambat dan koloninya baru menutup cawan Petri setelah 5-6 minggu inkubasi. P. djamor EB9 mempunyai laju pertumbuhan “2”, atau laju pertumbuhannya sedang dan koloninya baru menutup cawan Petri setelah 2-4 minggu inkubasi. Sedangkan P. ostreatus HO mempunyai laju pertumbuhan “1”, atau laju pertumbuhannya cepat dan koloninya sudah menutup cawan Petri setelah 1-2 minggu inkubasi Tabel 6.4 Nobles 1948. Reaksi Oksidasi pada Media AAG dan AAT. Hasil penelitian menunjukkan semua isolat kelompok Pleurotus mempunyai reaksi positif pada medium asam tanat AAT dan asam galat AAG. Hal ini ditandai secara visual dengan terbentuknya zona coklat terang sampai coklat gelap pada medium AAT dan AAG di sekitar miselium koloni isolat. Reaksi oksidasi pada media AAT dan AAG yang cukup kuat dimiliki oleh P. ostreatus HO, P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4. Reaksi oksidasi yang positif pada AAG dan AAT menunjukkan semua isolat kelompok Pleurotus merupakan jamur pelapuk putih. Diduga bahwa isolat kelompok Pleurotus yang diujikan pada media AAG dan AAT mengeluarkan enzim ektraseluler oksidase dengan terjadinya reaksi oksidasi dengan asam galat ataupun asam tanat. Tabel 6.4 Pola kunci H. petaloides H. petaloides EB14-2, H. petaloides EB24, H. petaloides EA4, H. petaloides EAB7, H. petaloides EB6, P. djamor EB9 dan P. ostreatus HO pada media MEA No. Kode Nama Karakter H. petaloides P. djamor P. ostreatus 1. A Warna koloni putih √ √ √ 2. P Test oksidasi pada asam galat positif √ √ √ 3. SI S. Lambat, 2-5 cm dalam 14 hari; I. Kecepatan sedang, lebih dari 9 cm dalam 14 hari S. √ I.√ I.√ 4. 1 substrat pada pohonkayu daun lebar √ √ √ 5. 1 warna koloni putih setelah enam minggu ditumbuhkan √ √ √ 6. 1 muncul zona difusi karena reaksi dengan media aag dan aat √ √ √ 7. 1 mempunyai clamp connection √ √ √ 8. 9 tidak ditemukan struktur spesial pada miselium √ √ √ 9. 2 tidak ada clamidospora √ √ √ 10. 1 terdapat konidia √ √ √ 11. 1 terdapat oidia √ √ √ 12. 321 3. laju pertumbuhan slow, cawan tertutup setelah 5-6 minggu; 2. laju pertumbuhan dengan kecepatan moderat , cawan tertutup setelah 2-4 minggu; 1. laju pertumbuhan dengan kecepatan rapid, cawan tertutup setelah 1-2 minggu 3. √ 2. √ 1.√ 13. 1 muncul tubuh buah sebelum 6 minggu inkubasi √ √ √ 14. 2 tidak ada efek pada media, atau bila ada, warnanya tidak lebih dari kuning madu √ √ √ Ciri-ciri lainnya pada MEA: 15. Ada aerial miselium √ √ √ 16. Sambungan apit banyak √ √ √ 17. Ada hifa skeletal √ √ √ 18. Konidiaoidia banyak √ √ 19. Hifa bindingspiral √ √ 20. Structur spesial seperti kristal besar √ 21. Suhu optimum pada MEA 2029 29 29 Nobles 1948 Deskripsi Karakter Ligninolitik Kelompok Pleurotus Berdasarkan Produksi Enzim Ligninase Khususnya MnP Dari hasil penelitian ini nampak isolat Pleurotus EB9 menghasilkan MnP dan juga lakase yang signifikan, sementara produksi LiP tidak terlalu signifikan. Aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat -0.200 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1 2 3 4 5 6 7 Lama Inkubasi Hari A k ti v ita s E n zi m U m MnP LiP Lakase seiring masa inkubasi sampai hari ke enam. Demikian juga aktivitas lakase, yang mulai muncul sejak satu hari inkubasi, walaupun tampak adanya fluktuasi. Pada hari keenam, enzim kasar tersebut dipanen. Selama kultur masal 1 liter dalam bioreaktor selama 6 hari, pH menurun perlahan dari 5,6-4,8. Pada panen hari ke-6 diperoleh pH optimum sebesar 4,8 Gambar 6.2. Gambar 6.2 Ekspresi MnP, LiP dan lakase Uml oleh isolat Pleurotus EB9 secara ekstraseluler dengan substrat kayu sengon dengan kondisi media digoyang dalam bioreaktor. Produksi enzim skala besar dengan bioreaktor juga dilakukan pada H. petaloides EA4. Hasil produksi enzim P. djamor EB9 dan H. petaloides EA4 hasil produksi diketahui bahwa P. djamor EB9 menghasilkan lakase dan MnP, namun aktivitas LiP tidak terdeteksi, sedangkan isolat H. petaloides EA4 menghasilkan lakase dan LiP namun aktivitas MnP tidak terdeteksi Tabel 6.5. Tabel 6.5 Ekspresi enzim MnP, LiP dan Lakase Uml secara ekstraseluler oleh isolat Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 yang sudah dipekatkan dengan amonium sulfat As Enzim Metode Aktivitas Uml_____________ Pleurotus EB9-As Pleurotus EA4-As MnP Oksidasi guaiakol MnSO 4 Pada λ 465 nm 0,138 TTd LiP Oksidasi veratryl alkohol menjadi Veratraldehid pada λ 310 nm TTd 0,179 Lakase Oksidasi ABTS pada λ 420 nm 0,914 0,086 TTd = Tidak terdeteksi Pada SDS-PAGE hasil kromatografi kolom penukar ion DEAE- Sepharose terhadap sampel pemekatan 40 AS dari H. petaloides EA4, tidak didapatkan pita-pita yang menunjukkan keberadaan enzim MnP. Aktifitasnya juga tidak diperoleh hasil yang bagus. Hal di atas menunjukkan bahwa H. petaloides EA4 tidak menghasilkan enzim MnP. Deskripsi Karakter Morfologi Kelompok Pleurotus Asal Bogor Deskripsi karakter morfologi baik makroskopis maupun mikroskopis tiap isolat diuraikan di bawah ini dan gambarnya terlihat pada Gambar 6.3 untuk H. petaloides EB14-2, Gambar 6.4 untuk H. petaloides EB24, Gambar 6.5 untuk H. petaloides EA4, Gambar 6.6 untuk H. petaloides EAB7, Gambar 6.7 untuk H. petaloides EB6, Gambar 6.8 untuk P. djamor EB9, dan Gambar 6.9 untuk P. ostreatus HO sebagai pembanding standar.

1. H. petaloides EB14-2 H. petaloides

EB14-2. Pileus seperti tiram, seperti kipas-ginjal rounded fabelliform di lapangan dan hasil kultivasi, seperti sendok sepatu shoehorn- like , seperti rangkaian bunga dengan 3-4 tudung hasil kultivasi. - Permukaan bagian tengah berlekuk depressed, basah-gelatinous tapi tidak lengket ketika basah, di tengah sedikit berbulu canescent. - Warna : cokelat muda pale brown -putih keruh off white. – Diameter terkecil 1-1,6 cm dan terbesar 3-6 cm di lapangan, terkecil 1-1,6 cm dan terbesar 3-7,3 cm hasil kultivasi. - Konsistensi lunak dan berdaging. - Pinggiran margin melengkung ke arah himenium inrolled muda lurus straight tua, bergelombang wavy–bergaris strite-slighly tua. - Daging tudung context putih, tebal, kenyal tua, ada lapisan gelatin gelatinous layer di atas lapisan daging flesh. - Lamela gills melanjut decurrent turun ke arah dasar tangkai, menyempit narrow. - Spasi antar lamela dekat close–sangat rapat very crowded + 20-160 lamelatudung. - Warna lamela putih whitish–krem creamy. –A nak lamela Serie of lamellulae 2-7 seri. - Tangkai stipe di sisi lateral, tidak di tengah eksentrik, padat solid, pendek, halus smooth, berbulu. - Warna tangkai pangkal-ujung krem-putih keruh. -Panjang 0,6-1 cm, diameter 0,9-1,5 cm di lapangan dan hasil kultivasi. –Sambungan apit clamp connection ada. Sumber: Gambar Elis Nina Herliyana dengan line drawing oleh Ahmad Satari Gambar 6.3 H. petaloides EB14-2. a. Tubuh buah di lapangan. b. Tubuh buah hasil kultivasi. c. Potongan melintang tubuh buah. d. Basidioles. e. Cheilocystidia dan pleurocystidia. f. Spora. g. Miselium pada kultur, nampak ada spora aseksual tanda panah dan sambungan apit. a b c d e f g 5 µm 5 µm 5 µm 5 µm 5 µm 1 cm 1 cm 1 cm