Fase Vegetatif, Fase Reproduktif dan Jumlah Panen

masing isolat dilakukan saat media diinokulasikan dengan bibit yang dihitung sebagai hari ke-nol. Pada semua isolat, ternyata membutuhkan lama inkubasi lama fase vegetatif yang berbeda pada isolat yang berbeda untuk mencapai kondisi kolonisasi penuh sampai bawah dengan miselia yang berwarna putih. Rata-rata lama fase vegetatif jamur isolat Pleurotus EB14-2 paling lama yaitu 80,0 hari, dan Pleurotus EB9 mempunyai rata-rata lama fase vegetatif paling singkat yaitu 14,0 hari. Lamanya fase vegetatif pada kelima isolat yaitu Pleurotus EB14-2, Pleurotus EB24, Pleurotus EA4, Pleurotus EAB7, Pleurotus EB6 diduga karena jenis-jenis ini belum dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, karena merupakan jenis liar yang belum pernah dibudidayakan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan P. ostreatus HO, yang sudah lazim dibudidayakan. Dalam penelitian ini, P. ostreatus HO mengalami lama fase vegetatif yang relatif pendek yaitu 19,5 hari. Jamur P. ostreatus biasanya memerlukan lama fase vegetatif antara 39-45 hari Kartika 1992; Herliyana 2004. Menurut Wulansari 2001, dengan perlakuan serbuk gergajian sengon yang diberi suplemen bekatul padi dedak, pollard gandum dan kapur-gips dengan masing-masing bobot media produksi 1100 gram, jamur P. ostreatus memerlukan lama fase vegetatif berkisar antara 42 sampai 49 hari. Isolat Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase vegetatif yang sangat pendek. Diduga isolat ini mempunyai kelebihan dalam mendegradasi bahan lignoselulosa dengan cepat. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan isolat ini pada media agar, ternyata Pleurotus EB9 dapat tumbuh pula pada media produksi dengan lama fase vegetatif yang sangat pendek dan bahkan lebih cepat dibanding P. ostreatus HO. Perbedaan waktu dan kecepatan untuk mencapai pertumbuhan maksimum dari ketujuh isolat selain dipengaruhi oleh jenis sumber karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh substrat, juga dipengaruhi oleh kemampuan genetik masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim untuk memecah struktur suatu senyawa karbon dan nitrogen, sehingga pada satu isolat memerlukan waktu yang lebih lama untuk memecah senyawa tersebut. Sesuai dengan pendapat Higley dan Dashek 1998 bahwa sebagian besar jamur pelapuk putih menggunakan selulosa dan hemiselulosa mendekati kecepatan yang relatif sama, dimana lignin biasanya digunakan pada beberapa jenis jamur dengan kecepatan yang relatif lebih tinggi. Beberapa jamur pelapuk putih mengubah lignin dan hemiselulosa secara memilih, tetapi pada prinsipnya mereka mendegradasi seluruh komponen dinding sel kayu. Perbedaan waktu dan kecepatan laju pertumbuhan pada media agar dan media produksi selain dipengaruhi oleh kemampuan menghasilkan enzim-enzim masing-masing isolat, juga diduga diakibatkan oleh perbedaan sumber-sumber karbon dan nitrogen yang dimiliki oleh kedua jenis media tersebut. Media yang memiliki kadar karbon dan kadar nitrogen yang lebih besar memerlukan waktu yang lebih lama oleh enzim untuk memecah senyawa yang lebih kompleks tersebut. Lama Fase Reproduktif. Lama fase reproduktif diawali dengan berakhirnya fase vegetatif dan mulai dibukanya kantong substrat dilanjutkan munculnya pertama kali primordial, kemudian sampai panen pertama, kedua dan seterusnya sampai panen terakhir. Primordial merupakan miselium yang membentuk gumpalan-gumpalan kecil seperti simpul benang yang bertambah besar dan membentuk struktur bulat. Gumpalan miselium yang dibentuk ini memberikan tanda awal pembentukan tubuh buah Gunawan 2000. Menurut Wulansari 2001, P. ostreatus dengan perlakuan serbuk gergajian sengon yang diberi suplemen 15 bekatul padi dedak dan 1,5 gips-kapur waktu panen pertama paling cepat dibanding perlakuan lainnya yaitu 61,4 hari. Komposisi media produksi dalam penelitian ini mendekati perlakuan terbaik tersebut, sehingga diharapkan masing-masing isolat dapat tumbuh dengan baik. Rata-rata lama fase reproduktif atau lama panen dari mulai panen pertama sampai panen terakhir paling lama adalah pada jamur isolat Pleurotus EA4 yaitu 199,0 hari dan paling singkat yaitu 112,5 hari untuk isolat Pleurotus EB9. Perbedaan yang cukup besar pada lama fase vegetatif dan reproduktif pada isolat- isolat jamur yang diuji menunjukkan tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhannya. Perbedaan kecepatan untuk lama fase reproduktif dari ketujuh isolat dipengaruhi juga kemampuan genetik masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim untuk memecah struktur suatu senyawa karbon dan nitrogen. Dari penelitian ini, terlihat kecenderungan semakin cepatnya lama panen per kantong substrat dari panen-panen sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan proses degradasi substrat oleh jamur yang semakin sempurna menjelang panen terakhir, sehingga pada panen-panen terakhir jamur tidak membutuhkan waktu lama untuk membentuk tubuh buah, oleh karena itu pula pada panen-panen terakhir produksi tubuh buah semakin menurun. Jumlah Panen. Rata-rata jumlah panen paling banyak adalah pada isolat jamur Pleurotus EB14-2 yaitu 6,0 kali. Sedangkan rata-rata jumlah panen paling sedikit adalah pada Pleurotus EB9 dan P. ostreatus HO yaitu 4,0 kali. Pleurotus spp. dapat dipanen sebanyak 10-12 kali dari setiap media produksi pada satu periode penanaman selama 6-7 bulan. Dalam kondisi yang baik, Pleurotus spp. dapat dipanen sampai 16 kali. Setelah media produksi hanya menghasilkan tubuh buah yang berukuran kecil sebaiknya diganti dengan bibit yang baru dari hasil pembiakan yang baik dan mutunya terjamin Djarijah dan Djarijah 2001. P. ostreatus yang dibudidayakan dalam substrat serbuk gergajian dengan suplement bekatul, kapur, gips dan biji jagung dapat dipanen sebanyak empat hingga lima kali dalam jangka waktu 3-5 bulan Priyadi dan Akhmadi 2000. Pleurotus spp. membutuhkan suhu optimal untuk pertumbuhan miselium dan tubuh buahnya berkisar antara 26+1 o C dan 28+1 o C Chang dan Miles 1989, temperatur optimum untuk pertumbuhan miselium ialah 25-30 C dan temperatur optimum untuk pembentukan tubuh buah adalah 20-25 C dengan kelembaban 80-85 agar pertumbuhan miselium dan tubuh buah optimal Suprapti 1987. Pertumbuhan jamur tiram dalam media produksi dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, kandungan O2 dan CO2, imbangan CN, mineral, jumlah substrat dan populasi awal inokulum Royse 2000 terutama jumlah substrat dan populasi awal inokulum Daru 1999. Analisis Kelompok Berdasarkan Karakter Fisiologis Dari analisis kelompok berdasarkan karakter fisiologis ini dapat diduga terdapat dua spesies yang berbeda yang digambarkan dengan adanya dua kelompok besar dari enam isolat jamur asal Bogor di atas. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua yaitu karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda, yaitu isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan lebih dekat dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat kelompok Pleurotus lainnya. Simpulan Dari hasil penelitian ini diharapkan Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 sebagai jamur pelapuk putih potensial karena mempunyai reaksi pada AAG dan AAT yang cukup kuat, terutama Pleurotus EB9 yang mempunyai lama fase vegetatif yang lebih singkat dibanding isolat yang lain termasuk P. ostreatus HO. Karakter fisiologi yang berbeda dapat menunjukkan spesies yang berbeda, yaitu isolat Pleurotus EB9 berbeda dengan kelima isolat lain yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, dan EB6. Pleurotus EB9 mempunyai kekerabatan lebih dekat dengan P. ostreatus HO dibanding dengan isolat-isolat kelompok Pleurotus lainnya.

3. KARAKTER LIGNINOLITIK KELOMPOK Pleurotus BERDASARKAN BIODEGRADASI PADA TIGA JENIS KAYU

BAHAN PULP Ligninolytic Characters of Pleurotus Group Based on The Biodegradation of Three Wood of Pulp Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakter ligninolitik berdasarkan tingkat degradasi isolat-isolat kelompok Pleurotus yaitu Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 dan EB9, dengan P. ostreatus HO sebagai pembanding standar pada kayu Acacia mangium akasia, Pinus merkusii pinus dan P. falcataria sengon. Tingkat degradasi diperoleh dari penurunan bobot kering kayu. Pengamatan mikroskopik dilakukan pada kayu yang telah didegradasi tersebut. Bahan yang digunakan adalah kayu berbentuk serpih chip berukuran 2,5x2,0x0,5-3,0x2,5x0,5 cm, dengan bobot kering 1,05-2,34 gram. Delapan potong chip masing-masing kayu diberi 10 ml media Malt Ekstrak cair dan dikocok sampai menyerap di dalam kantong plastik, kemudian dimasukkan ke dalam botol gelas berukuran 214 ml diameter 5,5 cm dan tinggi 9 cm dan selanjutnya disterilisasi. Setelah steril, kedelapan potong chip kayu dalam botol tersebut diinokulasi dengan cara ditaburi satu gram bibit jamur yang ditumbuhkan pada media jagung pecah. Satu chip kayu per botol diambil untuk pengamatan bobot kering dan satu chip kayu dari botol yang berbeda untuk pengamatan secara mikroskopik. Untuk pengamatan secara mikroskopik, dari contoh chip kayu tersebut, kemudian dibuat preparat mikrotom menggunakan metode Sarajar 1975. Pelunakan contoh kecil kayu dilakukan dengan alkohol dan gliserin. Pembuatan sayatan tipis setebal 15-20 mikron secara radial, tangensial maupun longitudinal dilakukan dengan bantuan alat Sliding Microtome. Pewarnaan dilakukan dengan pemberian lactophenol blue. Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Fluorescens Microscope Olympus type Bx 51. Untuk sifat mikroskopik beberapa contoh uji dibuat preparat SEM dengan metode Slayter dan Slayter 1992. Pengamatan terhadap bobot kering chip kayu dan pengamatan secara mikroskopik dilakukan tiap dua minggu selama 8 minggu. Tingkat degradasi pada kayu bahan pulp tersebut antara 0,4 sd 40,1. Laju dekomposisi kayu oleh kelompok Pleurotus tersebut antara 1,8 sd 92,3 mgminggu. Isolat paling tinggi tingkat degradasinya adalah Pleurotus EB9 pada kayu pinus 40,1 pada minggu ke-6, dan tetap tinggi pada kayu akasia 38,1 pada minggu ke-6. Isolat paling tinggi ke-2 adalah P. ostreatus HO pada akasia 31,8 pada minggu ke-6. Rata-rata tingkat degradasi oleh Pleurotus EB9 dan P.ostreatus HO pada kayu sengon adalah yang tertinggi, kemudian kayu akasia dan kayu pinus. Isolat paling tinggi laju dekomposisinya adalah P.ostreatus HO pada kayu sengon 92,3 mgminggu pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-2 adalah Pleurotus EB9 pada kayu sengon 90,7 mgminggu pada minggu ke-2. Isolat paling tinggi ke-3 adalah Pleurotus EB9 pada pinus 86,3 mgminggu pada minggu ke-6. Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pada tahap awal kolonisasi oleh jamur, miselium mendiami saluran resin dan jari-jari pada kayu pinus. Pada kayu akasia terlihat bahwa miselium mendiami pembuluh dan jari- jari. Pada umumnya miselium melakukan penetrasi melalui noktah-noktah sebagai salah satu cara penyebaran ke sel-sel kayu yang lain. Pada proses pelapukan selanjutnya terlihat kerusakan dan perubahan bentuk pada lamela tengah dan dinding sel sekunder. Kata-kata Kunci: Kelompok Pleurotus, biodegradasi, kayu pinus, akasia dan sengon Abstract The purpose of this research was to examine ligninolytic characterization of Pleurotus group from Bogor district based on degradation value of A. mangium, P. merkusii and P. falcataria by means of wood dry weight and microscopic analysis on wood destruction. The isolates were Pleurotus EB14-2, EB24, EA4, EAB7, EB6 and EB9 in which P. ostreatus HO was used as standard comparison. Materials used are chips of acasia, pine and sengon 2,5x2,0x0,5- 3,0x2,5x0,5 cm, with dry weight of 1,05-2,34 gram. Eight chips of each wood species were mixed with 10 ml medium Malt Extract liquid and shacked until penetrated. They were then rained into glass bottle with size 213 ml to be sterilized. After sterilized, the chips were inoculated with 1 gram spawn which are grown on corn medium. One chip per bottle was taken for dry weight observation, and other chip per bottle from different bottle was taken for microscopic analysis. For microscopic analysis, microtome slide of chips were prepared using Sarajar method 1975. Chips were maserated with alcohol and gliserine, and then collorated with lactophenol blue. Observation on microscopic character was conducted by using Fluorescens Microscope Olympus type Bx 51 and SEM preparate with Slayter dan Slayter method 1992. Examination of dry weight and microscopic observation were conducted in every 2 weeks for 2 months period. Wild Pleurotus group showed wide variation in terms of degradation level 0,4-40,1. Wood decomposition rate of the group ranged from 1,8-92,3 mgweek. Degradation level of Pleurotus EB9 on pine wood was the highest 40,1 on the 6th weeks. Second’s isolat was Pleurotus EB9 on acacia wood 38,1 on the 6th weeks. Wood decomposition rate of P.ostreatus HO on sengon wood was highest 92,3 mgweek on the 2nd weeks. The second highest wood decomposition rate was isolat of Pleurotus EB9 on sengon wood 90,7 mgweek on the 2nd weeks. Rate of degradation level of Pleurotus EB9 and P.ostreatus HO on sengon wood was the highest, followed by on acacia and pine wood. Microscopic analysis showed that in the early stage of fungi invasion on pine, mycelium lived in resin tunnel and xyllary rays, while on acasia they lived in vessels and xyllary rays. In general, mycelium was penetrated through nocti as a means to spread further in another of wood cells. On the advanced decay process, there were changes in form and cells damage of middle lamella and secondary cell wall. Keywords: Pleurotus group, biodegradation, pine, acacia and sengon wood