Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci dalam upaya meningkatkan kualitas manusia yang berbudi pekerti. Baik buruknya pendidikan akan membentuk suatu budaya bangsa. Tokoh pendidikan Indonesia Driyarkara mengemukakan, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Dalam Perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan media yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai dan menanamkan etos kerja di kalangan warga masyarakat Nanang Fattah, 2012: 44. Pendidikan merupakan instrumen membentuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional dan memantapkan jati diri bangsa. Saat arus globalisasi semakin kuat, pendidikan berperan penting dalam membentengi diri dari nilai-nilai budaya luar yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa lndonesia. UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 Tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional mengatakan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sebagaimana isi dari undang-undang di atas pendidikan merupakan hal utama dalam pembangunan bangsa, bagaimana membentuk manusia yang 2 berkarakter dan memiliki potensi diri sehingga mampu menyikapi berbagai tantangan kehidupan. Seiring berkembangnya teknologi informasi yang ditandai dengan adanya globalisasi dan modernisasi, memberikan pengaruh pada setiap sektor kehidupan yang menyebabkan krisis di berbagai bidang salah satunya pendidikan. Dewasa ini generasi muda khususnya pelajar yang merupakan kunci dari keberhasilan pendidikan tidaklah sejalan dengan yang diharapkan. Banyak peserta didik yang masih di bangku sekolah memiliki prestasi yang bagus tetapi moral akhlaknya tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Kurangnya rasa sopan-santun terhadap orang tua, adanya tindak kekerasan yang sebagai korban maupun pelaku pergaulan bebas, serta sikap kurang bangga terhadap kebudayaan lokal daerah sehingga lebih menyukai hal-hal modern yang mereka anggap lebih baik. Dengan adanya perilaku tersebut menunjukkan belum berhasilnya pendidikan untuk membentuk karakter anak bangsa. Agar dampak buruk tersebut tidak terjadi maka manusia abad 21 menurut Tilaar 2006: 148-150 adalah manusia Indonesia yang cerdas, yaitu manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai Pancasila dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Manusia yang cerdas menurut Tilaar diantaranya adalah masyarakat yang berbudaya. Kebudayaan yang dimiliki meliputi kebudayaan lokal yang merupakan nilai-nilai pertama-tama dikenal di Indonesia. Pemeliharaan dan pengembangan budaya lokal merupakan salah satu unsur dari pendidikan nasional. Pendapat tersebut menunjukkan pentingnya pemahaman dan penghayatan terhadap nilai budaya lokal sebagai 3 salah satu identitas bangsa yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Pengenalan dan pelestarian budaya lokal tersebut salah satunya ditanamkan pada sekolah. Dengan adanya penghargaan terhadap budaya lokal akan memberikan kemampuan kepada individu untuk mengelola dirinya dengan baik agar mampu bersikap, bertindak, dan bertanggungjawab atas perannya sebagai individu, anggota masyarakat, dan bangsa Indonesia. Pendidikan dan kebudayaan memiliki hubungan yang terkait yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang. Tilaar 2004: 56 menjelaskan bahwa ”Pendidikan merupakan proses pembudayaan.” Ketika terjadi suatu proses pendidikan maka kebudayaan pun ikut mengalir di dalamnya. Lembaga pendidikan merupakan pusat kebudayaan, kebudayaan akan terus berkembang dan lestari melalui lembaga pendidikan. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana daerah lain di Indonesia tidak lepas terhadap masuknya kebudayaan luar. Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat wisata dan pendidikan sehingga banyak penduduk luar daerah ataupun wisatawan asing yang membawa dampak baik maupun buruk. Beberapa contoh tindak degradasi moral tersebut adalah masih adanya pelaku tindak kekerasan baik itu bullying maupun tawuran pelajar serta meningkatnya penggunaan narkoba oleh kalangan mahasiswa dan pelajar di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni BNN mencatat terjadi peningkatan sebanyak 36.000 pada tahun 2015 pecandu baru 4 sehingga DIY dinyatakan sebagai kawasan darurat narkoba Harianjogja.com1422016. Oleh karena itu diperlukan adanya antisipasi dan tindakan nyata supaya kebudayaan Yogyakarta sebagai ciri khas daerah tidak hilang. Ketika nilai-nilai budaya sudah tertanam kuat oleh generasi- generasi penerus, dengan adanya berbagai macam pengaruh kebudayaan masyarakat mampu menyikapi dengan bijak baik dengan cara asosiasi, asimilasi maupun akulturasi yang dapat semakin menguatkan posisi dan peran budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menyikapi perubahan tersebut melakukan antisipasi dampak buruk yang lebih besar dari melemahnya nilai-nilai karakter bangsa akibat globalisasi. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta yang di dalamnya memberikan keistimewaan pada pemerintah DIY dalam penataan kelembagaan, pengembangan kebudayaan, pengaturan pertanahan dan tata ruang, serta dana keistimewaan maka pemerintah pun menindaklanjuti kebijakan tersebut melalui berbagai program. Salah satu program dalam bidang Pendidikan yakni menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2025. Untuk mewujudkan visi tersebut tentunya harus dilakukan upaya-upaya nyata berupa program atau kegiatan. Salah upaya mencapai visi tersebut adalah melalui Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Berbasis Budaya. 5 Pendidikan berbasis budaya merupakan pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi diri UU No. 5 Tahun 2011. Pendidikan berbasis budaya dilaksanakan berlandaskan dan mengacu pada sistem pendidikan nasional yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya. Budaya yang dimaksud adalah budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tetap mengapresiasi budaya nasional dan budaya lain di Indonesia serta budaya global yang bersifat positif Tim Pengembang PBB 2014: 4. Penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya dilaksanakan di berbagai jalurjenjangjenis pendidikan yaitu: pada pendidikan formal meliputi; Sekolah Dasar SD, Sekolah Menengah Pertama SMP, Sekolah Menengah Atas SMA, Sekolah Menengah Kejuruan SMK, Sekolah Luar Biasa SLB, pada pendidikan nonformal meliputi Paud Nonformal, Kelompok Bermain, dan pada pendidikan informal melalui Pendidikan Keluarga. SMA Negeri 11 Yogyakarta sebagai salah satu jenjang tingkat satuan pendidikan formal tidak terlepas dari sasaran implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya. Berdasarkan hasil pra observasi yang dilakukan di SMA Negeri 11 Yogyakarta telah mengintegrasikan kurikulum pendidikan berbasis budaya pada kurikulum sekolah. Hasil wawancara dengan Ibu K “Pengintegrasian kurikulum pendidikan berbasis budaya melalui berbagai cara diantaranya masuk mata pelajaran tersendiri yakni 6 muatan lokal yang dikembangkan di sekolah dan pembiasaan”. Penerapan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta melalui beberapa program intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang mengangkat budaya Jawa khususnya Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas peserta didik baik dalam karakter maupun menjunjung dan mengenali kebudayaan di daerahnya. Pelaksanaan kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di sekolah belum optimal. Masih terdapat beberapa program yang mendukung kebijakan tersebut belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, misalkan program Jumat berbahasa Jawa, sebagaimana yang disampaikan JS “program Jumat Berbahasa Jawa belum terlaksana sepenuhnya, banyak siswa-siswa sekarang tetap menggunakan bahasa Indonesia dikarenakan susah untuk unggah- ungguhnya”. Hal serupa juga disampaikan salah satu siswa SIN “campur bahasanya kalau Jawa yang bahasa ngoko, jadi kalau di pelajaran sering tidak mengerti. Selain itu sekolah belum ada laporan hasil pelaksanaan pendidikan berbasis budaya yang dilakukan, sehingga belum tampak sejauh mana keberhasilan implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya ini Berdasarkan deskripsi di atas, untuk mengetahui lebih banyak mengenai implementasi kebijakan pendidikan berbasis budaya, faktor penghambat dan pendukungnya maka diperlukan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mengambil judul “Implementasi Kebijakan Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya Di SMA Negeri 11 Yogyakarta”. 7

B. Identifikasi Masalah