Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan

83 Pengembangan budaya sekolah dalam bentuk perilaku sehari-hari juga terlihat di antaranya, perilaku sopan santun siswa sesuai dengan budaya yang mengutamakan unggah-ungguh, terlihat dalam interaksi siswa dengan guru saling menyapa dengan ramah, dan berjabat tangan ketika bertemu. Nilai kejujuran juga ditanamkan dalam kehidupan sehari- hari dengan dibuktikan adanya koperasi sekolah, yang sistemnya siswa dapat mengambil barang dan membayar dan mengambil uang sendiri. Hal tersebut di samping nilai kejujuran yang ditanamkan juga terdapat nilai tanggungjawab, kedisiplinan, dan pengendalian diri. Nilai spiritual juga ditanamkan yakni melalui program pembiasaan tadarus Al-Quran untuk siswa muslim pada setiap hari Jumat begitu juga kerohanian pada agama lain. Seperti yang dikatakan HJ : “pembiasaan religius yang dilakukan adalah program tadarus Al-quran setiap jumat, dan begitu juga dengan agama lain ada kerohanian”. Untuk mewujudkan visi sekolah berwawasan kebangsaan pembiasaan yang dilakukan adalah setiap pagi sebelum memulai pelajaran selalu menyanyikan lagu Kebangsaan bersama-sama.

2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan

Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya Pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 merupakan bentuk dari kebijakan yang dilakukan oleh dinas Pendidikan DIY sebagai bentuk dalam mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya lokal dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang terjadi di masyarakat. Dalam mencapai kesuksesan 84 pelaksanaan pendidikan berbasis budaya tentu memiliki faktor pendukung yang menunjang pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Faktor pendukung tersebut seperti yang dikatakan oleh Kepala Sekolah B yaitu: “ Faktor pendukungnya banyak, mulai dari potensi yang sudah ada di sekolah sendiri seperti budaya sekolah di SMA Negeri 11 ini, adanya peran serta dari Dinas terkait seperti dinas kebudayaan dinas pendidikan dan juga badan lingkungan hidup dalam mendukung sekolah adiwiyata. Guru-guru di sini yang menguasai bidangnya dan antusias siswa maupun guru dalam berbagai program kegiatan berbasis budaya” B26042016. Pendapat serupa juga ditambahkan oleh Bapak HJ : “Sarana dan prasarana tersedia, seperti karawitan, dapur, dan alat membatik meskipun ada beberapa yang belum terpenuhi, adanya antusias siswa yang tinggi, respon dari warga sekolah baik dari kepala sekolah, staff, dan guru-guru semuanya mendukung ”HJ23042016. Berdasarkan hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa dukungan diperoleh dari internal sekolah maupun eksternal dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya. JS juga mengutarakan hal yang serupa yaitu: “Faktor pendukung diantaranya dari Dinas ya, dengan menyelenggarakan workshop, menyusun buku pedoman dan kegiatan lainnya. Sementara dari sekolah semuanya juga mendukung dengan adanya komunikasi yang sinergis dari kepala sekolah dan wakil kepala sekolah serta guru dalam penyusunan program kegiatan. Selain itu juga adanya antusias dan respon posi tif baik dari guru maupun siswa”JS14052016. Diperkuat dengan pernyataan DR : “untuk karawitan kemarin saya mengajukan proposal ke dinas kebudayaan dan lolos, Cuma ada sekitar 4 sekolah yang 85 mendapatkan subsidi, perlengkapan lain juga membeli buku-buku terkait budaya-budaya seperti pengenalan batik khas Yogyakarta. Terus, ada perlengkapan dapur kemarin ada subsidi dari DIKPORA yang berupa uang kemudian kita berikan peralatan untuk dapur unt uk kegiatan boga tradisional”DR20042016. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa dukungan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA negeri 11 Yogyakarta banyak pihak yang terlibat dalam mendukung keberhasilan kebijakan tersebut. Bentuk dukungan tersebut berupa antusias, respon dan dukungan sosial yang baik dari semua warga sekolah yang meliputi kepala sekolah, guru, staff, dan siswa. Selain itu juga adanya kelengkapan fasilitas yang cukup lengkap untuk melaksanakan berbagai kegiatan terkait pendidikan berbasis budaya. Bentuk dukungan dari luar juga adanya keterlibatan instansi terkait baik dari dinas pendidikan maupun dinas kebudayaan serta komite sekolah. Bentuk dukungan Dinas DIKPORA di antaranya melalui workshop, adanya buku pedoman pelaksanaan kurikulum pendidikan berbasis budaya serta dana bantuan dalam mengembangkan sekolah model Pendidikan berbasis budaya. Selain itu juga adanya dukungan dari Dinas kebudayaan berupa bantuan alat musik gamelan dan perlengkapannya. Proses implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA negeri 11 Yogyakarta selain terdapat faktor pendukung dalam kelancaran pelaksanaan juga terdapat faktor penghambat dalam kelancaran implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA negeri 11 Yogyakarta. Hambatan yang dialami dalam 86 implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya tersebut seperti yang dikatakan oleh HJ : “Hambatannya ya karena itu tadi, karena adanya kebijakan baru kita yang awalnya tidak biasa melakukan jadi sedikit harus menyesuaikannya lagi dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya. Ya kita belajar lagi”. HJ23042016 Ditambahkan juga oleh Bapak DR bahwa : “Hambatannya ada, walaupun tidak terlalu krusial karena kita yang masuk pada mata pelajaran tertentu, sehingga mata pelajaran tertentu dalam sinerginya dan integrasinya maupun implementasi, mereka tidak bermasalah yang 4 Mapel mereka bisa mengambil, KD, SKL yang sesuai. Kemudian untuk pembiasaan sifatnya umum, dari berbagai daerah relatif sama mungkin sopan santun, adat- istiadat itu tidak bermasalah”DR20042016. Begitu juga yang dikatakan oleh NR : “Sampai saat ini, hambatan-hambatan ada, tapi belum begitu besar, jadi kami masih bisa untuk menerima karena memang di sekolah ini juga sarana nya sudah ada, karawitan sudah ada sehingga mendukung untuk terlaksananya berbasis budaya. Mungkin untuk pelajaran lain ada juga. Menurut saya sebenarnya saat ini kurang maksimal atau belum sepenuhnya terlaksana seperti apa yang diharapkan soalnya kita guru seni belum terspesifikasi sendiri- sendiri ada musik, ada tari kriya, lukis dan lainnya tadinya kami kurang bisa mengatasi tapi sekarang kami sudah mulai bisa menyesuaikannya”NR23042016. Berdasarkan berbagai pernyataan di atas, faktor penghambat dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 yaitu berupa lebih kepada pengintegrasian nilai-nilai budaya ke dalam mata pelajaran yang ada di sekolah. Dalam pengintegrasiannya beberapa guru masih mengalami kesulitan dalam memahami mata pelajaran yang terintegrasi oleh nilai-nilai budaya. Selain itu guru dianjurkan berinovasi bagaimana memasukkan nilai-nilai budaya dalam 87 setiap kompetensi dasarnya. Hambatan lain yaitu adanya beberapa sikap guru yang masih enggan dengan adanya perubahan karena harus menyesuaikan kembali dengan aturan yang ada. Hambatan lain juga dialami oleh siswa di SMA Negeri 11 Yogyakarta seperti yang disampaikan oleh SIN siswa kelas XI IPA “jam pelajaran muatan lokal cuma 1 jam jadi waktunya kurang”. SIN14052016. Hal serupa juga dikatakan oleh AN “Kalau kesulitan, karawitan tidak tapi, alokasi waktu sedikit. Cuma bahasa jawa itu tadi bahasanya sulit dimengerti soalnya pakai bahasa halus”AN142016. Pendapat serupa juga dikatakan oleh SS siswa XI IPS 1 : Kesulitan iya ada, kayak seni tari tradisional ada yang gak bisa, lebih menyukai tari modern, dan juga bahasa Jawa seperti nulis aksara jawa dan bahasa krama. Soalnya kita biasanya pakai bahasa indonesia kalau untuk sehari-hari di rumah juga. SS10052016 Berdasarkan dari beberapa pernyataan di atas faktor penghambat dalam implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya adalah : a. Karakter pelaksana kebijakan di sekolah yang berbeda-beda dalam penyesuaian suatu kebijakan. b. Keterbatasan waktu pelatihan dan jam pelajaran dalam praktik seni karawitan. c. Belum ada dana khusus dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di sekolah. 88 Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang muncul sekolah melakukan berbagai strategi untuk mengurangi dampak dari hambatan tersebut seperti yang dikatakan Kepala Sekolah ibu B : “Strateginya kami harus selalu bersama-sama mencari jalan keluar dengan cara rapat pertemuan, yang di dalamnya ada rapat evaluasi kerja, evaluasinya rutin, setiap satu semester sekali, kalau yang di kegiatan itu mereka satu bulan sekali”B26042016 Ditambahkan juga oleh JS tentang strategi yang dilakukan guru dalam mengatasi hambatan yang muncul seperti : “Ya, kita saling diskusi, sharing dengan guru-guru pengampu pendidikan berbasis budaya, KD apa yang bisa diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya. Misalkan fisika, tentang bunyi-bunyi itu bisa diintegrasikan dengan budaya misalkan suara gamelan”JS14052016. Senada dengan HJ mengutarakan bahwa : Kalau hambatannya terkait skill ya tentunya mengatasinya dengan banyak latihan-latihan, misalkan diberikan guru-guru dianjurkan untuk ikut karawitan. Kita saling diskusi untuk mengatasi masalah- masalah yang ada. Selain itu juga ada rapat rutin dengan kepala sekolah untuk progress report dan evaluasi. Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dalam mengatasi hambatan -hambatan yang muncul sekolah telah melakukan usaha dalam mendukung keberhasilan implementasi kurikulum pendidikan berbasis budaya. Strategi-strategi yang dilakukan oleh sekolah adalah : a. Mengadakan rapat rutin terkait pelaporan dan evaluasi pelaksanaan pendidikan berbasis budaya. b. Diskusi antar guru mata pelajaran pengampu dalam integrasi nilai- nilai budaya. 89 c. Melakukan latihan-latihan permainan dan pengenalan alat musik tradisional.

C. Pembahasan

1. Implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di

SMA Negeri 11 Yogyakarta Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta, faktor pendorong dan faktor penghambat yang muncul dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya. Berdasarkan pada data yang diperoleh, peneliti mencoba menganalisis mengenai Implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya di SMA Negeri 11 Yogyakarta menggunakan teori model implementasi George Edward III untuk melihat keberhasilan dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya. Di dalam teori yang dijelaskan oleh George Edward III menjelaskan empat variabel, yaitu: a. Komunikasi Komunikasi dalam implementasi kebijakan kurikulum pendidikan berbasis budaya yaitu Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY melakukan sosialisasi dengan baik terhadap semua sekolah, termasuk salah satunya SMA Negeri 11 Yogyakarta. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas DIKPORA selain workshop yakni aturan tertulis berupa undang-undang tentang Pengelolaan Pendidikan Berbasis Budaya serta Peraturan Tentang Implementasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya.