BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN
A. Pengertian dan Pengaturan Mengenai Perjanjian Pemborongan
Pengaturan umum mengenai perjanjian pemborongan dimuat dalam Bab VII A Buku III Pasal 1601 b, dan Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616 KUH Perdata.
Pemborongan pekerjaan sebagaimana yang dinyatakan dalam 1601 b KUH Perdata adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong,
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Artinya, dalam suatu perjanjian pemborongan ada dua pihak yang terlibat. Pihak pertama disebut pihak yang memborongkan Kepala Kantor, Satuan Kerja,
Pemimpin Proyek dan pihak kedua disebut dengan pemborong, rekanan, atau kontraktor.
Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam Pasal 1601 b KUH Perdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena dapat menimbulkan
anggapan bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kewajiban saja sedangkan yang memborongkan
mempunyai hak saja. Pada hakikatnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dan yang memborongkan, masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban. Untuk melengkapi kekurangan definisi perjanjian pemborongan tersebut, Djulmialdji menyatakan bahwa perjanjian pemborongan
merupakan suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong,
Universitas Sumatera Utara
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak lain yang memborongkan, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang telah
ditentukan.
60
Bagaimana caranya pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan, karena yang dikehendaki dari pembuatan
perjanjian pemborongan adalah hasilnya, yang pada akhirnya harus diserahkan dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam
perjaniian.
61
Selain dalam KUH Perdata, perjanjian pemborongan juga diatur dalam Algemene Voorwaarden Voorde Unit Bij Aaneming Van Openbare Werken in
Indonesie Tahun 1941 selanjutnya disebut dengan A.V. 1941 tentang syarat- syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia,
yang merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia. A.V. 1941 adalah peraturan standar yang
digunakan bagi perjanjian pemborongan di Indonesia khususnya untuk proyek- proyek pemerintah. Namun seiring perkembangan zaman dan keluarnya peraturan
perundang-undangan yang baru, ketentuan-ketentuan dalam A.V. 1941 banyak yang sudah tidak relevan dan dinyatakan tidak lagi berlaku.
62
Pengaturan perjanjian pemorongan dalam KUH Perdata merupakan pengaturan pelengkap dan bersifat umum general. Dikatakan pelengkap karena
dalam perjanjian pemborongan para pihak dapat membuat sendiri ketentuan- ketentuan perjanjian pemborongan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
60
F.X. Djulmialdji, Hukum Bangunan, Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 4.
61
R. Subekti, Aneka Perjanjian, op.cit., hal. 58.
62
F. X. Djulmialdji, Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dikatakan bersifat umum karena KUH Perdata merupakan lex generalis terhadap peraturan perundang-undangan lain
yang juga memberikan pengaturan mengenai perjanjian pemborongan, artinya pengaturan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat berlaku dalam
perjanjian pemborongan proyek-proyek swasta maupun dalam perjanjian proyek-
proyek pemerintah.
Perjanjian pemborongan adalah perjanjian yang kompleks dan rentan bermasalah. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan khusus terkait tata laksana
perjanjian tersebut. Beberapa pemborongan pekerjaan yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Pemborongan pekerjaan konstruksi, yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan PP Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi;
2. Pemborongan kerja dan penyedia jasa pekerjaburuh, yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan 3.
Pemborongan pekerjaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
BarangJasa Pemerintah. Mengenai pengaturan pekerjaan pemborongan untuk pengadaan barang dan
jasa pemerintah, telah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama yaitu Perturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan yang terakhir adalah Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012 yang didampingi oleh Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2012. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pengadaan barangjasa ini antara lain diperkenalkannya metode pelelanganseleksi sederhana, pengadaan
langsung, dan kontessayembara dalam pemilihan penyedia barangjasa, selain metode pelelanganseleksi umum dan penunjukan langsung. Selain itu juga
mengatur secara khusus pengadaan Alutsista TNI dan Almatsus POLRI dimana pengadaannya diutamakan terlebih dahulu berasal dari industri strategis dalam
negeri, dan pengaturan pengadaan melalui sistem elektronik e-procurement.
B. Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan