tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUH Perdata bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.
c. Unsur Accidentalia
Unsur Accidentalia adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya, jangka waktu
pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang.
C. Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian dikatakan mengikat atau tidak mengikat terhadap para pihak yang membuatnya tergantung kepada sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat
oleh para pihak. Dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUH Perdata dinyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, dan selanjutnya dalam Ayat 3 dinyatakan: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bila suatu perjanjian dibuat
secara sah, maka perjanjian tersebut akan menjadi undang-undang dan secara serta merta akan mengikat para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya. Selain itu,
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik agar kedudukan para pihak menjadi seimbang antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk membuat suatu
perjanjian yang sah menurut hukum harus memenuhi empat syarat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Universitas Sumatera Utara
Syarat sah perjanjian yang pertama sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kedua kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut
sebagai syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat kontrak. Sedangkan syarat ketiga suatu hal tertentu dan syarat
keempat sebab atau causa yang tidak dilarang disebut sebagai syarat objektif, karena menyangkut objek hukum yang membuat kontrak tersebut.
27
Penjelasan mengenai syarat sah perjanjian yang diatur dalam 1320 KUH Perdata, dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :
Ad.1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Syarat subjektif pertama sahnya suatu perjanjian adalah sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya. Secara tersirat, hal ini menunjukkan bahwa adanya kesepakatan merupakan syarat penting dan mutlak sebagai
dasar awal dalam mengadakan suatu perjanjian. KUH Perdata tidak memberikan penjelasan mengenai arti sepakat. Oleh karena itu, penjelasan
mengenai kesepakatan akan dijabarkan dengan merujuk kepada pendapat atau teori hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum khususnya
hukum perjanjian. Sepakat menurut Mariam Darus Badrulzaman, dilukiskan sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran offerte. Pernyataan pihak yang
menerima tawaran dinamakan akseptasi acceptie.
28
27
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2012, hal.111.
28
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak mantara satu orang atau lebih
dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihatdiketaui orang lain.
29
Menurut J. H. Niewenhuis, kesepakatan adalah dimana para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu
perjanjian, atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain. Sama halnya dengan pendapat Mariam Darus
Badrulzaman, J. H. Niewenhuis juga menyatakan bahwa kesepakatan dibentuk oleh dua unsur yang fundamental, yakni adanya penawaran offer,
yang diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan kontrak, dan penerimaan acceptance, yang artinya
pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.
30
Berdasarkan beberapa pendapat sarjana di atas, dapat disimpulkan bahwa kesepakatan consensus adalah suatu persesuaian kehendak.
Artinya kehendak yang satu saling bertemu dan memeperoleh kesesuaian dengan kehendak lain, hingga pada akhirnya ditutup dengan kata “sepakat”.
Kesepakatan dapat terealisasi dengan dipenuhinya dua unsur yaitu adanya penawaran dan penerimaan. Di dalam konteks penawaran-penerimaan,
disyaratkan adanya suatu kehendak yang nyata tertuju pada orang tertentu, yang terejawantahkan dalam pernyataan yang disampaikan oleh kedua
belah pihak, yang terwujud dalam rangkaian kata-kata, baik lisan maupun
29
Sudikno Mertokusumo dalam Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 112.
30
J.H. Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan oleh Djasadin Saragih, Surabaya, 1985, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
tulisan. Kehendak dapat muncul dalam bentuk pernyataan secara tegas atau diam-diam, bahkan juga sikap berdiam diri atau tidak berbuat yang dalam
keadaan tertentu dapat diartikan sebagai suatu pernyataan.
31
Suatu pernyataan kehendak lazimnya terdapat kesesuaian antara kehendak dan kenyataan. Namun adakalanya terjadi ketidaksesuaian antara
kehendak dengan pernyataan yang disampaikan, maka dalam hal ini terdapat tiga teori yang dapat dijadikan acuan, yaitu :
32
a. Teori kehendak wilstheorie, menyatakan bahwa perjanjian terjadi
apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi;
b. Teori pernyataan verklaringstheorie, menyatakan bahwa kehendak
merupakan proses bathiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan.
Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi;
c. Teori kepercayaan vertouwenstheorie, bahwa tidak setiap
pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.
Syarat kesepakatan merupakan pencerminan asas konsensualisme, dengan adanya kata sepakat maka suatu perjanjian dianggap telah lahir.
31
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti, bandung, 2009. hal. 113.
32
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta Bandung, Bandung, 1987, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu, berikut empat teori yang menjelaskan tentang kapan suatu kesepakatan dalam perjanjian dianggap telah lahir :
33
1 Teori pernyataan uitingstheorie, menyatakan bahwa kesepakatan
terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan atau menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu. Kelemahan teori ini adalah tidak dapata ditentukan secara pasti kapan kontrak itu lahir;
2 Teori pengiriman verzendingstheorie, menyatakan bahwa
kesepakatan telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan.
Kelemahan teori hukum ini adalah pada pihak yang menawarkan tidak tahu secara jelas bahwa ia telah terikat dengan penawarannya
sendiri; 3
Teori pengetahuan vernemingstheorie, meyatakan bahwa kesepakatan lahir pada saat surat jawaban penerimaan diterima oleh
pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah jika surat penerimaan tersebut meskipun telah sampai di tempatnya ternyata
tidak segera dibaca; 4
Teori penerimaan onvangstheorie, menyatakan bahwa kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban
dari pihak lawan.
33
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 116.
Universitas Sumatera Utara
Secara yuridis, Hoge Raad mengikuti teori penerimaan untuk menentukan moment saat terjadinya kesepakatan yang menimbulkan
perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan bahwa tidak cukup jika pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai cocok untuk saling
mengikatkan diri dan juga tidak cukup jika mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu bahwa pernyataan kehendak
itu saling mencapai pihak lain.
34
Di dalam Pasal 1321 KUH Perdata dikatakan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan.” Perjanjian yang timbul karena adanya kekhilafan, paksaan dan penipuan disebut sebagai perjanjian dengan cacat
kehendak. Perjanjian yang dibuat dengan adanya unsur cacat kehendak mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan. Selain ketiga unsur cacat
kehendak tersebut, terdapat unsur penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi berkembang
dalam doktrin hukum dan yurisprudensi.
35
Unsur cacat kehendak yang pertama adalah kekhilafan atau kakeliruan dwaling yang diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata. Kekeliruan dapat
terjadi dalam hal seseorang mendapat gambaran yang salah mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian pada saat membuat
perjanjian. Perjanjian dapat dibatalkan apabila pihak lawan mengetahui atau setidak-tidaknya menyadari bahwa sifat atau keadaan tertentu dapat
34
Ibid.
35
Ibid., hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan kesesatan bagi pihak lain, dan perjanjian tidak dapat dibatalkan bilamana kekeliruan atau gambaran yang salah tersebut
diperoleh karena kesalahan sendiri dan ia tidak berusaha untuk melakukan pemeriksaan terhadap keadaan yang sebenarnya.
Unsur cacat kehendak yang kedua adalah tentang paksaan dwang yang diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUH Perdata.
Paksaan dalam pembuatan perjanjian dapat terjadi jika ada pihak yang memberikan persetujuannya karena di bawah ancaman. Paksaan dapat
berupa tekanan psikologis maupun kekerasan fisik, yang harus dilakukan secara nyata dan menimbulkan ketakutan yang sungguh-sungguh bagi
orang lain yang menyebabkan ia harus menyepakati perjanjian tersebut. Ancaman tidak selalu berupa perbuatan yang melanggar hukum
penganiayaan, pembunuhan, namun dapat berupa perbuatan yang bukan melanggar hukum, tetapi ancaman tersebut ditujukan untuk mencapai
sesuatu yang bukan merupakan hak pelaku.
36
Unsur cacat kehendak yang ketiga adalah penipuan bedrog yang diatur dalam pasal 1328 KUH Perdata. Mirip dengan unsur kekhilafan,
penipuan dapat terjadi dalam hal seseorang mendapat terpengaruh gambaran yang salah mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi
pokok perjanjian pada saat membuat perjanjian, dan gambaran tersebut muncul karena diciptakan atau berasal dari orang lain. Gambaran tersebut
36
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
adalah kekeliruan mengenai sifat dan keadaan yang secara sengaja ditimbulkan pelaku untuk menyesatkan pihak lawan.
Unsur cacat kehendak yang terakhir dan merupakan tambahan atas unsur-unsur dalam Pasal 1321, adalah unsur penyalahgunaan keadaan.
Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada dua unsur, yaitu kerugian bagi satu pihak dan penyalahgunaan kesempatan oleh pihak
lain, yang menimbulkan sifat perbuatan, yaitu adanya keunggulan pada satu diantara dua pihak, yang bersifat ekonomis danatau psikologis.
37
Keunggulan ekonomis dalam penyalahgunaan keadaan terjadi bilamana posisi ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang, sehingga satu
diantara dua pihak tersebut bergantung kepada yang lain. Selanjutnya keunggulan psikologis yang menyalahgunakan keadaan terjadi karena satu
diantara dua pihak mendominasi secara kejiwaan, yang secara kondisional terjadi karena : pertama, karena adanya ketergantungan relatif, misalnya
antara nasabah dengan bank atau klien dengan advokat; kedua, satu diantara dua pihak menyalahgunakan keadaan pihak lain untuk
kepentingannya, misalnya yang bersangkutan kurang sumber daya informasi, pengalaman danatau pendidikan.
38
Ad.2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian Kecakapan merupakan syarat subjektif yang kedua. Kecakapan yang
dimaksud di dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Setiap subjek hukum yang berwenang untuk
37
Ibid., hal. 121.
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum, termasuk dalam hukum perjanjian. Subjek hukum yang dianggap cakap
seyogiyanya mampu untuk mempertanggungjawabkan hal-hal yang telah disepakatinya dalam perjanjian. Kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikatkan diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.
39
Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-
undang tidak dinyatakan tidak cakap. Sedangkan orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian dinyatakan dalam
Pasal 1330 KUH Perdata, adalah sebagai berikut : a.
Orang-orang yang belum dewasa, diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata yang menegaskan bahwa belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jika perkawinan tersebut berakhir sebelum umur
mereka genap duapuluh tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Selanjutnya, mereka yang belum
dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orag tua, berada di bawah perwalian. Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa
badan hukum standar kecakapannya tidak serumit pada person, karena cukup dilihat dari kewenangannya. Artinya kecakapan untuk
39
J.H. Niewenhuis, op.cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan hukum didasarkan kepada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya.
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan under curatele,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 433 KUH Perdata ia yaitu orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu kurang akal,
sakit otak ingatan dan orang yang boros yang tidak dapat menahan keinginannya, meskipun dalam keadaan tertentu ia cakap
mempergunakan pikirannya. Seorang di bawah pengampuan dalam membuat perjanjian atau perbuatan hukum lainnya diwakili oleh
pengampunya yang disebut dengan kurator. c.
Orang-orang permpuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Ketentuan ini telah direvisi oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Edaran
No. 31963 tanggal 4 Agustus 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia
bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi syarat telah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan.
Ad.3. Suatu Pokok Persoalan Tertentu Suatu pokok hal tertentu yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, adalah mengenai prestasi objek yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Pasal 1333 KUH Perdata memberikan pengaturan
bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
Universitas Sumatera Utara
yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Artinya adalah,
bahwa dalam suatu perjanjian hal yang paling utama adalah menentukan jenis objek atau pokok persoalan perjanjiannya, mengenai jumlahnya
kuantitas dapat ditentukan kemudian. Doktrin hukum mengakui bahwa tidak hanya terhadap bendabarang
yang berwujud, tetapi juga terhadap bendabarang yang tidak berwujud yang akan ada dikemudian hari, dapat menjadi objek atau pokok persoalan
dalam perjanjian, asalkan bendabarang tersebut dapat ditentukan kemudian dan dengan syarat-syarat tertentu syarat menangguhkan.
40
Selengkapnya mengenai benda-benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam
perjanjian adalah sebagai berikut :
41
a. Benda dalam perdagangan;
b. Benda tertentu atau dapat ditentukan;
c. Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud;
d. Benda yang tidak dilarang oleh undang-undang atau benda yang
halal; e.
Benda yang ada pemiliknya dan dalam penguasaan pemiliknya; f.
Benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya; g.
Benda yang berada dalam penguasaan pihak lain berdasarkan alas hak yang sah.
40
Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal 130.
41
M. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
Ad.4. Suatu Sebab yang Halal Syarat yang terakhir dan merupakan syarat objektif yang kedua adalah
suatu sebab yang halal. Mengenai suatu sebab yang halal, KUH Perdata tidak memberikan penjelasan lebih lanjut selain dari yang disebutkan dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian sebab atau kausa oorzaak harus dihubungkan dengan konteks Pasal 1335 dan 1337 KUH Perdata. Sebab
atau kausa menunjuk pada adanya hubungan tujuan causa finalis, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup perjanjiankontrak atau
apa yang hendak dicapai para pihak pada saat hendak membuat perjanjiankontrak.
42
Dalam suatu perjanjian, harus dibedakan antara kausa yang halal dalam pengertian “tujuan” dan kausa yang halal dalam kaitannya dengan
“motif”. Kausa yang halal dalam perjanjian jual beli rumah adalah tujuan beralihnya hak milik rumah tersebut dari penjual kepada pembeli dengan
bayaran dari pembeli kepada penjual. Motif penjual menjual rumahnya, mungkin dilandasi oleh keinginan melunasi utangnya, sedangkan pembeli
termotivasi membeli rumah untuk anaknya. Hukum tidak memperhatikan Istilah halal yang digunakan bukan merujuk kepada
lawan dari istilah haram yang terdapat dalam hukum Islam, melainkan bahwa isi suatu perjanjian tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, kesusilaan baik dan ketertiban umum.
42
J.H. Niewenhuis, op.cit., hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
motivasi pembuatan kontrak, yang penting keduanya harus memiliki kausa yang halal, terlepas dari motivasinya.
43
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sah sebagaimana yang diatur dalam 1320 KUH Perdata, baik syarat subjektif maupun syarat
objektif akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut : 1
Noneksistensi, artinya tidak ada perjanjian, jika tidak ada kesepakatan; 2
Vernietigbaar, artinya perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian tersebut timbul akibat cacat kehendak wilsgebreke atau karena
ketidakcakapan onbekwaamheid, dimana tidak terpenuhinya syarat subjektif sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan; dan
3 Nietig, artinya perjanjian batal demi hukum, jika perjanjian tersebut
tidak mempunyai objek atau pokok persoalan tertentu dan tidak dapat ditentukan objeknya serta mempunyai sebab atau causa yang dilarang,
dimana tidak terpenuhinya syarat objektif, sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.
D. Asas-Asas Hukum Perjanjian