motivasi pembuatan kontrak, yang penting keduanya harus memiliki kausa yang halal, terlepas dari motivasinya.
43
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sah sebagaimana yang diatur dalam 1320 KUH Perdata, baik syarat subjektif maupun syarat
objektif akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut : 1
Noneksistensi, artinya tidak ada perjanjian, jika tidak ada kesepakatan; 2
Vernietigbaar, artinya perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian tersebut timbul akibat cacat kehendak wilsgebreke atau karena
ketidakcakapan onbekwaamheid, dimana tidak terpenuhinya syarat subjektif sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan; dan
3 Nietig, artinya perjanjian batal demi hukum, jika perjanjian tersebut
tidak mempunyai objek atau pokok persoalan tertentu dan tidak dapat ditentukan objeknya serta mempunyai sebab atau causa yang dilarang,
dimana tidak terpenuhinya syarat objektif, sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.
D. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas hukum merupakan landasan filosofis bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang artinya harus dipedomani dalam setiap pembuatan peraturan hukum.
Fungsi dari asas hukum adalah sebagai pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat di dalam dan di
belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat pula asas hukum
43
Herlien Budiono, op.cit., hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum yang terdapat pada peraturan konkret.
44
Memperhatikan kaitannya dengan hukum perjanjian, maka dalam hukum perjanjian juga terdapat asas-asas yang berfungsi sebagai landasan filosofis, dan
memberikan pedoman atau arahan terhadap pembentukan norma-norma hukum dalam perjanjian yang dibuat para pihak sebagaimana seharusnya. Dalam Lokal
Karya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17-19 Desember
1985 telah merumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asas Kepercayaan
2. Asas Persamaan Hukum
3. Asas Keseimbangan
4. Asas Kepastian Hukum
5. Asas Moralitas
6. Asas Kepatutan
7. Asas Kebiasaan
8. Asas Perlindungan
Selain dari delapan asas tersebut masih banyak lagi asas hukum perikatanperjanjian lainnya, meskipun demikian, terdapat lima asas utama yang
harus diperhatikan dalam pembuatan perjanjian, yaitu : a.
Asas Kebebasan Berkontrak freedom of contract
44
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang bersifat universal, artinya asas ini tidak hanya terdapat dalam hukum perikatanperjanjian di
Indonesia KUH Perdata, namun pada umumnya juga dianut di semua negara. Sutan Remy Sjahdeini menguraikan ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak menjadi enam, yaitu :
45
1 Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2 Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian; 3
Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
4 Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
5 Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
6 Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-
undang yang bersifat opsional. Dalam KUH Perdata terdapat pembatasan terhadap asas kebebasan
berkontrak sebagaimana tertuang pada Pasal 1338 KUH Perdata, yang berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. 2
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu.
45
Sutan Remy Sjahdeini dalam Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
3 Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Selain dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh ketentuan-ketentuan
yang ada dalam pasal 1337 KUH Perdata, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan baik, dan tidak
berlawanan dengan ketertiban umum. b.
Asas Konsensualisme Asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang artinya sepakat.
Sepakat yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang menyepakati atau menyetujui mengenai prestasi yang
diperjanjikan. Dengan adanya kesepakatan, secara teoritis pada saat yang bersamaan telah terjadi suatu perjanjian diantara para pihak yang
menyatakannya. Pernyataan sepakat pada dasarnya dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Namun, pernyataan sepakat secara lisan dipandang
tidak baik, mengingat pernyataan tersebut bisa saja diingkari sewaktu- waktu.
Muhammad Syaifuddin di dalam bukunya memberikan penjelasan bahwa kata sepakat secara lisan tidak memberi jaminan, karena sulit untuk
dibuktikan terlebih bila tidak ada saksi. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak dan
kewajiban hukum kontraktual yang disepakati secara lisan, maka para pihak tidak hanya bersandar pada asas konsensualitas semata, tetapi juga
menggunakan pengaman hukum legal cover berupa kontrakperjanjian
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk tertulis, bahkan dalam bentuk akta otentik, dengan menghadirkan dua orang saksi saat terjadinya kesepakatan.
46
c. Asas Perjanjian Mengikat Pacta sunt Servanda
Berpijak pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, disimpukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat menurut hukum atau dengan cara
yang sah sesuai Pasal 1320 KUH Perdata adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Adagium pacta sunt servanda diakui
sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di
dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya.
47
` Lebih lanjut, Pasal 1338 KUH Perdata memberikan pengaturan bahwa
bilamana perjanjian yang telah dibuat hendak ditarik kembali, maka harus dengan kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri, atau karena alasan-
alasan yang dinyatakan oleh undang-undang. d.
Asas Itikad Baik Pada abad ke-19, seiring dengan semakin berpengaruhnya doktrin
pemikiran ekonomi laissez faire, kebebasan berkontrak menjadi prinsip yang umum dalam mendukung persaingan bebas. Kebebasan berkontrak
menjadi penjelmaan hukum legal expression prinsip pasar bebas.
48
46
Joni Emirzon dalam Muhammad Syaifuddin, op.cit., hal. 21.
Namun, kebebasan berkontrak dalam kenyataannya dapat menimbulkan
47
Herlien Budiono, op.cit., hal. 91.
48
Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, UI Pascasarjana, Jakarta, 2004, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
ketidakadilan. Seyogianya dalam kebebasan berkontrak, para pihak memiliki posisi tawar bargaining position yang seimbang, tetapi dalam
kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar menawar yang seimbang.
49
Putusan Pengadilan Inggris menyatakan bahwa apabila orang memiliki pengetahuan khusus ahli memberikan keterangan kepada pihak
lain dengan maksud mempengaruhi pihak lain supaya menutup perjanjian dengannya, dia wajib berhati-hati bahwa keterangan-keterangannya adalah
benar dan dapat dipercaya. Putusan tersebut merupakan bentuk konkrit dari penjelmaan asal kehati-hatian, yang kemudian asas tersebut
berkembang dan menjadi asas itikad baik. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi
akan cendrung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.
50
Dalam hukum Indonesia, asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata, yang menetapkan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Pengertian itikad baik dalam ranah hukum memiliki makna yang lebih luas daripada pengertian dalam istilah
sehari-hari. Hoge raad dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 Nederlndse jurisprudentie, hlm. 676 memberikan rumusan bahwa :
“volgens de eisen van redelijk heid en billijkheid”, artinya itikad baik harus dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan. Redelijkheid
artinya rasional, dapat diterjemahkan oleh nalar dan akal sehat, sedangkan
49
Ibid.
50
Ahmadi Miru, op.cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
billijkheid artinya patut dan adil. Dengan demikian “redelijkheid en billijkheid”, meliputi semua yang dapat dirasakan dan dapat diterima nalar
dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan subjektivitas para pihak.
51
Asas itikad baik terbagi atas dua macam, yaitu asas itikad baik nisbi dan asas itikad baik mutlak. Pada asas itikad baik nisbi, yang diperhatikan
adalah sikap dan perilaku yang nyata dari subjek. Pada asas itikad baik mutlak, penilaiannya adalah pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran
yang objektif untuk menilai keadaan tidak memihak menurut norma- norma yang objektif.
52
Dalam perkembangannya, ruang lingkup asas itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata terlihat begitu sempit,
karena sesungguhnya keberadaan itikad baik juga diperlukan sebelum hubungan hukum perjanjian diadakan dan begitu pula pada saat
penyusunan kontrak dilakukan. Bila dikaitkan dengan pemborongan pekerjaan, maka itikad baik seharusnya telah ada sejak saat proses
penunjukan pihak penyedia barangjasa dilakukan, pada saat penyusunan SPK, dan terutama pada saat pelaksanaan perjanjian itu sendiri.
e. Asas Personalitas
Asas personalitas atau juga dikenal dengan asas kepribadian, merupakan asas yang memberikan ketentuan bahwa suatu perjanjian hanya
berlaku bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana dinyatakan dalam
51
P.L. Werry dalam Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 136.
52
Salim H.S., Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1315 KUH Perdata bahwa “pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
dari pada untuk dirinya sendiri”. Artinya, perjanjian hanya dapat mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain diluar
dari pada perjanjian tersebut pihak ke tiga. Selanjutnya dalam Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam
Pasal 1317”. Pasal ini mempertegas pengaturan Pasal 1315 KUH Perdata, dimana suatu perjanjian tidak dapat memberikan baik kerugian maupun
manfaat terhadap pihak ke tiga. Pengecualian diberikan sebagaimana diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata yang memperbolehkan seseorang
membuat janji guna kepentingan pihak ketiga, sepanjang perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain
mengandung kepentingan semacam itu. Sementara itu, dalam Pasal 1318 KUH Perdata, dimana seseorang memperjanjikan sesuatu hal untuk dirinya
sendiri, maka secara serta merta juga untuk kepentingan ahli warisnya dan pihak-pihak yang memperoleh hak darinya.
E. Wanprestasi