Pembahasan HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

115 membentuk harapan bahwa ia mampu memiliki mental yang kuat dan tetap mewujudkan keinginannya Allowing: membiarkan kekerasan terjadi pada dirinya karena sudah tidak memberikan dampak negatif Friendship: mengetahui manfaat dari kekerasan emosi yang terjadi dan menganggap kekerasan sebagai bantuan dalam membangun karakter diri yang lebih baik manfaat dari kekerasan yang diberikan oleh orang tua Tolerance: Membangun harapan bahwa ia dapat memiliki prestasi yang baik dengan caranya sendiri Allowing: Membiarkan jika orang tuanya menolak keinginannya atau melakukan kekerasan dalam mendidiknya Friendship: Menggunakan penolakan orang tuanya terhadap keinginannya sebagai motivasi untuk menghasilkan prestasi yang lebih baik hidupnya hingga pada akhirnya membuat kesimpulan sendiri mengenai kekerasan tersebut Tolerance: Membangun harapan untuk mendapatkan yang ia inginkan Allowing: Membiarkan kekerasan terjadi pada dirinya tanpa perasaan jengkel dan marah Friendship: Menganggap kekerasan yang terjadi sebagai suatu dorongan untuk mencapai keinginannya

E. Pembahasan

Penerimaan diri adalah suatu sikap dimana individu menerima kekurangan dan kelebihan dirinya serta pengalaman-pengalaman di masa lampau yang terkait dengan pembentukan karakter yang ia miliki. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik akan selalu berusaha untuk mengoptimalkan potensi dirinya tanpa Universitas Sumatera Utara 116 merasa malu mengakui kekurangan dan kelebihan yang ia miliki Widyarini, 2009. Berdasarkan ketiga responden dalam penelitian ini, awal terjadinya kekerasan emosi berasal dari keluarga. Pola asuh yang tidak demokratis dan memiliki kontrol yang kuat dapat memberikan tekanan psikologis pada anak tanpa disadari orang tuanya Widiyarini, 2009. Namun, anak yang mudah beradaptasi dan penurut, akan cenderung mengalah terhadap tekanan dan mengubah diri mereka sesuai dengan dengan keinginan orang tuanya. Akibatnya, anak akan kehilangan caranya sendiri dalam menjalani hidupnya sesuai dengan potensi yang dimiliki Harris, 2008. Hal ini terjadi karena pada masa kanak-kanak, anak lebih tergantung pada orang tua dalam hal perasaan aman dan kebahagiaan sehingga hubungan yang buruk dapat menyebabkan trauma emosional pada anak Hurlock, 1980. Pada awal terjadinya kekerasan emosi, ketiga responden menerima kondisi yang tidak menyenangkan tersebut dengan cara membiarkan kekerasan terjadi dan menahan perasaan tidak menyenangkan yang dihasilkan selama terjadinya kekerasan emosi. Hal ini merupakan suatu respon alami di mana setiap individu yang mengalami suatu pergolakan dalam dirinya akan menunjukkan respon pertahanan diri ketika dihadapkan pada situasi yang memicu munculnya perasaan tidak menyenangkan Schultz Schultz, 2009. Pandangan negatif yang terus berlanjut mengenai diri sendiri ketika mengalami perasaan tidak menyenangkan akan menyebabkan hilangnya perasaan berharga atau bernilai pada diri sendiri sebagai suatu individu yang unik Collins, 2008. Pada akhirnya, individu yang Universitas Sumatera Utara 117 terus menerus mengalami hal ini tidak akan mendapatkan identitas pribadinya sebagai tujuan hidup setiap individu May, 1996. Ketidakcocokan antara konsep diri yang dibangun dengan pengalaman- pengalaman kekerasan emosi yang dialami akan menghasilkan perasaan cemas, tegang dan bingung Semiun, 2006. Namun, responden yang tidak berlarut-larut dalam kondisi kekerasan emosi yang dialami akan mempertahanankan dirinya dengan melakukan rasionalisasi. Hal ini dilakukan untuk membuat berbagai spekulasi mengenai peristiwa kekerasan emosi yang mereka alami merupakan salah satu bentuk pertahanan diri dengan menggunakan proses kognitif terhadap situasi yang menghasilkan kecemasan, ketegangan, dan perasaan tidak menyenangkan tersebut Schultz Schultz, 2009. Menurut Freud dalam Supratiknya, 1995, mekanisme pertahanan diri merupakan suatu respon alami yang dilakukan untuk membebaskan individu dari kecemasan yang mengancam karena tidak dapat mengatasi sumber tekanan yang dihadapi. Hal ini merupakan suatu respon alami karena manusia didorong untuk mencari kenikmatan dan mereduksi tegangan pada dirinya Semiun, 2006. Dengan adanya rasionalisasi dalam membuat kesimpulan mengenai kekerasan yang terjadi, maka pemberian makna positif terhadap situasi kekerasan emosi akan lebih mudah dilakukan untuk membantu mengurangi kecemasan dan menerima kekerasan emosi sebagai sesuatu yang positif. Hal ini membuat responden dapat melihat kekerasan yang dialami sebagai harapan dan motivasi untuk membuktikan bahwa dirinya mampu memiliki pencapaian yang lebih baik Syarief, 2005. Universitas Sumatera Utara 118 Tahapan penerimaan diri yang dilalui tanpa adanya kecemasan terhadap pengalaman kekerasan emosi yang dialami akan membuat individu tersebut mampu mengamati pengalaman tersebut secara objektif. Hal ini akan memudahkan individu untuk berpikir secara logis dalam menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tepat mengenai kondisi kekerasan emosi yang dialaminya sehingga ia mampu melihat kekurangan serta kelebihan dalam dirinya dan mengembangkannya secara optimal. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Maslow dalam Semiun, 2006:354 yang menyatakan bahwa individu yang mampu mengaktualisasi diri adalah individu yang mampu menemukan penipuan dan kejujuran dengan cepat serta tidak memiliki prasangka- prasangka terhadap orang lain. Sedangkan individu yang melihat lingkungannya secara subjektif akan memaksa dunia untuk mencocokkannya dengan ketakutan, kebutuhan, dan nilai-nilai mereka sehingga individu tersebut tidak dapat berinteraksi dengan dunia dan orang lain dengan baik serta melakukan penanggulangan jika muncul konflik dalam interaksi tersebut. Dalam penelitian ini, responden yang mengalami kekerasan emosi secara terus menerus sejak kecil akan menghasilkan suatu situasi terkondisi. Hal ini membuat responden yang mengalaminya tetap merasakan dampak negatif dari kekerasaan emosi walaupun stimulus kekerasan tidak lagi diberikan. Dampak ini dirasakan karena responden sudah terkondisi dengan situasi kekerasan emosi yang ia alami secara terus menerus. Tingkah laku yang ditunjukkannya merupakan hasil dari adanya hubungan antara stimulus dengan respon Semiun, 2006.Individu yang melakukan kesalahan dapat diumpamakan sebagai suatu Universitas Sumatera Utara 119 stimulus, kekerasan emosi yang diberikan setelah individu tersebut melakukan kesalahan dianggap sebagai stimulus yang tidak terkondisi. Ketika kedua stimulus tersebut menghasilkan respon berupa tangisan dan rasa bersalah individu yang melakukan kesalahan. Jika hal ini terjadi berulang kali, maka individu yang mendapatkan pengkondisian tersebut akan menangis setiap kali melakukan kesalahan walaupun kekerasan emosi tidak lagi ia dapatkan. Hal inilah yang menyebabkan korban kekerasan emosi akan tetap merasakan dampak dari kekerasan emosi tersebut walaupun ia tidak lagi mengalami kekerasan. Selain itu, beberapa pertimbangan yang dibentuk selama mengalami kekerasan emosi juga dapat menyebabkan kekerasan emosi terus berlanjut pada waktu yang sama. Ketika kekerasan terjadi, beberapa korban membuat pertimbangan bahwa jika ia melakukan perlawanan terhadap kekerasan tersebut maka ia akan berhadapan dengan tindak kekerasan yang lebih parah, tetapi, jika ia tidak memberikan perlawanan, maka ia akan terus mengalami kekerasan selama ia berada pada lingkungan tersebut. Pengambilan keputusan dalam menentukan respon yang diberikan tersebut akan mempengaruhi kelanjutan kekerasan emosi yang terjadi. Dalam penelitian ini, responden yang sudah merasakan perasaan tidak menyenangkan dari kekerasan yang mereka terima memilih untuk tidak memberikan perlawanan terhadap kekerasan tersebut dan berfokus pada dirinya sendiri. Hal ini juga terjadi karena adanya perbedaan status yang lebih tinggi yang dimiliki oleh pelaku kekerasan emosi dibandingkan dengan dirinya Krumins, 2011. Universitas Sumatera Utara 120 Maslow menyatakan bahwa setiap individu memiliki perjuangan atau kecenderungan bawaan untuk mengaktualisasikan diri walaupun untuk mencapai pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri, setiap individu harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya dalam Semiun, 2006. Namun, setiap individu hidup dalam lingkungan sosial yang memiliki nilai-nilai tersendiri dalam menjalani kehidupan. Beberapa individu mengubah konsep diri mereka dan menyesuaikannya dengan tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh lingkungan sosial agar ia dapat lebih diterima oleh lingkungannya. Jika hal ini terjadi, maka aktualisasi diri akan sulit dicapai karena tujuan hidup masing-masing individu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Individu yang sudah mengetahui tujuan hidupnya, akan memiliki keyakinan untuk mewujudkan hal tersebut tanpa mempedulikan keraguan dan opini-opini yang diberikan dalam lingkungan sosialnya Vujicic, 2010. Hal ini sesuai dengan Bastaman 1996 dan Abidin, 2002 yang menyatakan bahwa motivasi terkuat yang mengarahkan manusia untuk melakukan aktivitasnya adalah kebutuhan akan hidup yang bermakna dan berharga. Namun, tidak semua individu yang telah memberikan makna pada satu pengalaman kekerasan emosi yang ia alami akan mampu bertahan dan menerima pengalaman kekerasan emosi yang terjadi pada situasi dan kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini terjadi karena rasionalisasi yang digunakan dalam suatu pengalaman kekerasan emosi, memiliki pemahaman yang berbeda dengan kekerasan emosi yang terjadi pada kondisi yang berbeda. Kratochvil dalam Bastaman, 1996 membagi kelompok individu berdasarkan cara menemukan Universitas Sumatera Utara 121 makna yaitu melalui sistem paralel dan sistem piramidal. Kelompok individu yang menemukan makna dengan sistem paralel memiliki beberapa nilai dengan bobot dan makna yang sama dalam beberapa aspek kehidupan. Individu ini membagi aspek-aspek dalam kehidupannya. Pengalaman kekerasan emosi yang dialami dalam lingkungan keluarga akan memberikan makna tersendiri dalam hidupnya sehingga ketika kekerasan emosi terjadi di lingkungan sosialnya, ia akan memberikan makna yang berbeda dengan pengalaman kekerasan emosi di keluarganya. Sisi positifnya, individu yang menemukan makna dengan sistem paralel akan mampu bertahan karena ia masih memiliki makna dari aspek hidup lainnya tetapi, untuk mencapai makna hidup seutuhnya, individu tersebut harus memberikan makna pada setiap aspek dalam kehidupannya. Sedangkan kelompok individu yang menemukan makna melalui sistem piramidal mengorientasikan diri pada satu nilai tunggal yang dianggap paling berarti dalam kehidupannya dan aspek lainnya berada pada peringkat yang lebih rendah. Kelompok individu ini lebih mudah mengalami kehampaan dan kebimbangan ketika ia kehilangan makna pada nilai tertinggi dalam kehidupannya. Namun, mereka akan lebih mudah menjalani hidup jika sudah menemukan makna pada aspek tertinggi dalam hidupnya. Jika makna tertinggi terletak pada keyakinan akan ajaran agamanya, individu tersebut tidak akan mengalami kesulitan ketika terjadi kekerasan emosi di lingkungan keluarga atau pekerjaannya karena ia akan tetap menjalani kehidupan sesuai dengan makna yang sudah ia miliki pada keyakinannya. Universitas Sumatera Utara 122 Dalam penelitian ini, hal ini menjadi perbedaan selama menjalani tahapan- tahapan penerimaan diri terhadap kekerasan emosi yang dialami. Beberapa individu yang mengalami kekerasan emosi dari berbagai aspek kehidupan lebih mudah untuk melakukan rasionalisasi terhadap kekerasan-kekerasan tersebut.Sedangkan beberapa individu lainnya yang juga mengalami kekerasan emosi dalam berbagai aspek lebih sulit melakukan rasionalisasi antara kekerasan pada kondisi yang satu dengan kekerasan yang terjadi pada kondisi yang lainnya.Hal ini terjadi karena makna merupakan sesuatu yang unik yang harus dicari dan ditemukan oleh masing-masing individu dalam situasi tertentu yang berbeda dengan yang dimiliki oleh banyak orang Semiun, 2006. Dengan kata lain, makna yang dimiliki merupakan sesuatu yang personal. Hal ini menunjukkan ada berbagai faktor yang mempengaruhi proses berjalannya setiap tahapan hingga individu mampu mencapai penerimaan diri setelah mengalami kekerasan emosi. Bentuk penerimaan diri ditandai dengan adanya keyakinan pada diri individu akan kemampuan yang dimilikinya dalam menjalani kehidupan Shereer, dalam Sari Nuryoto, 2002. Dengan keyakinan ini, individu tersebut akan berfokus untuk mengoptimalkan kemampuannya tanpa mempedulikan opini-opini dan keraguan yang diberikan oleh lingkungannya Vujicic,2010. Individu yang mampu menerima dan mengintegrasikan persepsi mereka dalam kondisi kehidupan sehari-hari, mengindentifikasi diri secara luas dengan orang lain, dan mampu melihat diri mereka secara positif merupakan ciri utama orang adekuat menurut Combs dan Snygg 1959, Semiun, 2006. Universitas Sumatera Utara 123 Berdasarkan kondisi yang mendukung untuk mencapai penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock 1974 dalam bukunya, pemahaman mengenai diri sendiri, harapan yang realistis, dan identifikasi dengan individu lain yang memiliki penyesuaian diri yang baik membantu korban kekerasan emosi dalam penelitian ini untuk mencapai penerimaan diri sedangkan kondisi lainnya seperti tidak adanya hambatan dalam lingkungan, sikap sosial yang mendukung, tidak adanya stres emosional, pola asuh masa kecil yang baik, dan kemampuan melihat diri sendiri sebagaimana perspektif orang lain melihat dirinya, tidak dimiliki oleh korban kekerasan emosi walaupun pada akhirnya mereka mampu mencapai penerimaan diri. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa pemahaman mengenai diri sendiri dan harapan yang realistis mengenai dirinya yang dibangun berdasarkan pemahaman akan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki merupakan kondisi yang paling utama untuk mencapai penerimaan diri terhadap kekerasan emosi yang dialami Semiun, 2006. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Tracy 2003 yang menyatakan bahwa individu yang memiliki pemahaman diri yang tinggi berdasarkan pemikiran-pemikiran pribadi dan introspeksi dalam kesadaran diri akan menerima dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai. Individu yang mengaktualisasikan diri dan mengembangkan potensi dalam dirinya juga memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri atas dasar yang realistis Friedman, 1955, dalam Semiun, 2006. Universitas Sumatera Utara 124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Ketiga responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sudah melalui kelima tahapan dalam proses penerimaan diri. Responden RR dan RS sudah menunjukkan adanya penerimaan diri terhadap kekerasan emosi yang mereka alami, sedangkan responden RG masih belum melalui tahapan akhir penerimaan diri khusus pada pengalaman kekerasan emosi yang didapatkan dari teman-temannya. 2. Tahapan dalam proses penerimaan diri merupakan sebuah proses maju- mundur yang dialami oleh individu yang mengalami kekerasan emosi dengan cara dan waktu yang berbeda-beda hingga pada akhirnya mereka dapat menerima pengalaman kekerasan emosi sebagai bagian dari dirinya atau dengan kata lain sudah menerima dirinya. Responden RR dan RS telah mengalami semua tahapan penerimaan diri hingga pada akhirnya dapat menyatakan makna positif dari setiap kekerasan emosi yang mereka alami sejak kecil. Sedangkan responden RG masih belum dapat menunjukkan makna positif dari kekerasan emosi yang didapatkan dari teman-temannya. 3. Tahapan yang paling jelas terlihat dari perilaku yang ditunjukkan dalam tahap penerimaan diri adalah tahap penghindaran aversion yang sering dilakukan dengan menahan perasaan tidak menyenangkan yang muncul pada saat terjadi kekerasan oleh ketiga responden dalam penelitian. Namun, hal ini justru Universitas Sumatera Utara