Kependudukan GAMBARAN UMUM KAWASAN

Kawasan Tangkahan dicurahi musim hujan yang berlangsung marata sepanjang tahun tanpa musim kemarau berarti, dan diperkirakan curah hujan rata-rata 2000-3200 mm pertahun. Keadaan ini sangat memberi keuntungan dalam ketersedian air bagi kawasan Tangkahan yang rata-rata masih tertutup oleh hutan. Oleh karena itu kebutuhan air masyarakat kawasan ini sangat mudah diperoleh dari sumur tanah dan sungai. Limpahan air hujan pun dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air. Gambar 9 : Peta Kawasan Ekowisata Tangkahan Sumber LPT

b. Kependudukan

Kawasan Tangkahan dan sekitarnya didiami oleh penduduk yang terdiri dari beberapa etnis. Etnis Karo merupakan mayoritas penduduk yang mendiami perkampungan-perkampungan di sekitar hutan, ditambah dengan etnis Jawa, Etnis Batak, dan Etnis Malayu yang tinggal sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit dan karet. Desa Namo Sialang memiliki penduduk berjumlah 5037 jiwa yang terdiri dari 2477 laki-laki dan 2560 perempuan. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pekerja perkebunan, pegawai Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008 negeri, dan sebagian lagi ada yang melakukan aktivitas pertanian, berternak dan mengusahakan perikanan. Desa Sei Serdang memiliki jumlah penduduk 3120 jiwa yang terdiri dari 1531 laki-laki dan 1589 perempuan. Hampir sama dengan penduduk di desa Namo Sialang, mata pencaharian penduduk Desa Sei Serdang adalah pekerja perkebunan baik kebun milik pribadi maupun milik swasta, berupa kebun jeruk manis, kebun karet atau pun kelapa sawit, pegawai negeri, bertani dan berternak. Aktivitas kehidupan masyarakat di kedua desa tersebut terasa sangat kondusif. Ikatan kekeluargaan merupakan rantai yang tidak terputus dalam kehidupan sosial di kawasan Tangkahan dan sekitarnya. Demikian pula halnya dengan kehidupan beragama terasa sangat toleran antara Islam, Khatolik dan Prostestan yang sama-sama menganjurkan manusia untuk saling tolong menolong dan hal ini merupakan sebuah kekuatan kultural di kawasan Tangkahan, sehingga suasana tetap kondusif dan stabil. Dalam diskusi-diskusi maupun dialog yang dilakukan dengan masyarakat lokal dikawasan Tangkahan beberapa pembuktian-pembuktian data sekunder terasa mengalir tanpa ada yang mengaturnya. Prinsip saling menghargai dan menghormati antar sesama pemeluk agama yang berbeda misalnya tanpa terasa berlangsung sangat nyaman tanpa gesekan-gesekan, dan membuktikan kondusifnya suasana kehidupan yang terbangun selama ini. Diskusi-diskusi tetap berjalan sangat femiliar meskipun misalnya beberapa anggota diskusi tersebut melakukan aktifitas peribadatan saat acara sedang berlangsung. Rasa kekeluargaan yang hadir kadang terasa melebihi rasa persaudaraan yang sebenarnya, baik dalam pergaulanaktifitas sehari-hari maupun dalam acara-acara yang sengaja dibangun dengan suasana formal. Diskusi-diskusi maupun dialog yang dibangun dengan konsep-konsep tertentu dengan berbagai tawaran-tawaran gagasan ataupun penekanan-penekanan tema yang berhubungan dengan perencanaan pengembangan kawasan selalu disambut dengan antusiasme yang tinggi yang menyiratkan aspirasi Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008 maupun ekspresi masyarakat lokal akan harapan-harapan kehidupan untuk masa depannya. Aspirasi maupun ekspresi yang selalu muncul dan mengalir jernih itu cukup memberi gambaran kepada kita betapa masyarakat setempat sangat berkeinginan untuk selalu dan tetap diakui eksis sebagai masyarakat pemilik langsung dan merupakan orang-orang yang paling tahu kondisi Tangkahan yang sebenarnya; meskipun di sisi lain kita dapat pula menangkap pengakuan-pengakuan mereka yang sangat sadar akan kelemahan-kelemahansumberdaya manusianya untuk mampu mengelola aktifitas ekowisata sebagai wujud pengembangan kawasan objek wisata alternatif tersebut. Pengakuan-pengakuan tersebut justru merupakan gambaran kerendahan hati dan kesadaran masyarakat setempat untuk tetap mendapat kepedulian pihak pemerintah Kabupaten dalam hal pembinaan dan dorongan-dorongan insentif lainnya bagi upaya pengembangan dan pemanfaatan kawasan Tangkahan secara benar. Pesona budaya tampak pula pada acara-acara sakral seperti perkawinan, ritual tolak bala, dan rutinitas lainnya. Kesenian tradisional, makanan khas, dan pengobatan tradisional masih terdapat di kawasan ini, dan dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi pengembangan ekowisata. Terlepas dari potensi sumberdaya alam dan kondusifnya kehidupan masyarakat di kawasan Tangkahan, aspek pendidikan masih merupakan kelemahan bagi penduduk di kedua desa tersebut. Kelemahan pendidikan ini disebabkan oleh kurangnya pendapatan serta insfrastruktur pendidikan, sehingga masyarakat tidak dapat menemukan atau mendapatkan pendapatan hasil usaha diluar usaha pertanian yang cenderung diwariskan oleh orang tua mereka. Disamping terbatasnya lahan dan tekanan demografi yang telah merusak pendapatan, pendidikan masih dilihat sebagai bentuk pengeluaran yang membebankan kebutuhan keluarga. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh langsung bagi kebutuhan sumberdaya manusia dalam upaya pengembangan ekowisata di kawasan tersebut kelak. Perspektif edukasi yang tersa lemah ini tentu saja menjadi bagian kekhawatiran masyarakat lokal yang secara psikilogis akan mempengaruhi kinerja pola kemitraan yang selama ini terjalin. Kekhawatiran ekses negatif terekspresikan dari jawaban maupun cara pandang masyrakat lokal Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008 manakala harapan kedatangan sosok wisatawan mancanegara menjadi sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi masyarakat lokal sangat antusias untuk menyambut kedatangan turis-turis macanegara khususnya, namun di sisi lain mereka juga mempunyai kekhawatiran manakala putra-putri mereka kelak tidak mampu menghempang pengaruh perilaku dan pola pikir turis mancanegara dengan sistem budaya bangsanya. Dari kekhawatiran itu sebenarnya tersirat keinginan dan harapan masyarakat agar pihak pemerintah hendaknya memberi perhatian yang serius terhadap peningkatan aspek pendidikan sebagai salah satu sarana formal peningkatan pengetahuan masyarakat, di samping kegiatan-kegiatan penyuluhan maupun pembekalan dan pelatihan dari aspek sosial kebudayaan dan pengetahuan kepariwisataan. Masalah konservasi dan lingkungan hidup yang pada saatnya nanti merupakan bagian dari pertarungan global sebenarnya kita sadari bukanlah merupakan bagian pemikiran masyarakat setempat saat ini. Karena memang kesederhanaan dan kebersahajaan kehidupan masyarakat lokal hanya sebatas keinginan memiliki pekerjaan dengan tujuan penambahan pendapatanpenghasilan ekonomi, serta keinginan berpartisipasi aktif dalam program-program pembangunan yang selalu disosialisasikan tersebut. Komersialisasi dan politisasi kawasan penyangga maupun program-program konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal secara tersembunyi yang selalu terjadi hendaknya jangan sempat meracuni kebersahajaan masyarakat hanya karena kekurangpedulian pihak pemerintah Kabupaten membekali masyarakat lokal melalui aspek pendidikan. Sesuai data yang terhimpun sebenarnya sejak tahun 1970-an perkebunan kelapa sawit telah berkembang di kawasan tersebut dan banyak penduduk yang telah menjual tanahnya kepada pihak perkebunan. Kegiatan pertanian yang mereka lakukan telah terjepit di antara perkebunan kelapa sawit dan Taman Nasional Gunung Leuser. Akibatnya penduduk semakin kekurangan lahan untuk menampung pertambahan populasi dan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu adanya alternatif ekonomi yang lain yang tidak bertumpu pada pemakaian atau pemanfaatan lahan. Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008

c. Sarana dan Prasarana