Mawdhu’ Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam

89 Dalam proses dakwah, inti ajaran Islam yang dijadikan materi dakwah bagi seluruh umat manusia, menurut Muhammad Abduh terdapat empat macam, hal ini dikemukakan ketika menafsirkan Q.S. al-Bâqarah 2: 21, yaitu 1 tawhid ulûhiyyah dengan menyembah Allah sendiri serta memperhatikan tawhid rubûbiyyah ; 2 Al-Qurân sebagai ayat-Nya yang agung dan agama-Nya yang terperinci; 3 kenabian Muhammad SAW. yang diutus dengan membawa Al- Qurân ini, dan 4 balasan di akhirat atas kekufuran dan tindakan-tindakan yang mengikutinya dengan neraka dan terhadap keimanan dan tindak-tanduk yang mengikutinya dengan balasan surga. 57 Mengenai bidang akidah sebagai materi dakwah tersebut telah dikupas secara rinci dalam karya Muhammad Abduh Risâlah Tawhîd.

b. Karakteristik Islam

Karakteristik Islam dimaksudkan sebagai sifat khas dan prinsip-prinsip yang dimiliki Islam yang dengannya ia berbeda dengan yang non_Islam. Berikut dikemukakan beberapa sifat khas Islam menurut pandangan Muhammad Abduh. Pertama , Islam merupakan dîn al-fithrah agama fitrah. Prinsip ini dijelaskannya ketika Muhammad Abduh menafsirkan Q.S. al-Baqarah 2:138, bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwasanya dalam Islam tidak diperlukan upaya membedakan seorang Muslim dari yang lainnya dengan kegiatan-kegiatan yang dibuat-buat seperti salib dalam kasus Nasrani, misalnya. Apa yang menjadi identitas seorang Muslim adalah apa yang disematkan oleh Allah dalam dirinya berupa fithrah lurus yang mewujud dalam bentuk keikhlasan, cinta kebaikan, keseimbangan, dan niat baik. Sesungguhnya, dalam tradisi Al-Qurân, Islam itu merupakan agama seluruh nabi sebagaimana ia juga merupakan agama fithrah. 58 57 Al-Manâr , jld. I, hlm. 183. Bandingkan dengan uraian mengenai empat pokok agama Islam oleh Muhammad bin Shalih al-Utsamain, Syarah Tsalâtsah al-Ushûl Ryadh: Dâr al- Tsuraya, 1994, hlm. 12-15. 58 Al-Manâr , jld. I, hlm. 486 dan Al-Manâr, jld. IV, hlm. 348. Ketika menafsirkan QS. Al- Rum 30:30, al-Sa di menjelaskan hakikat fitrah sebagaimana ia menulis: 90 Kedua , Islam merupakan agama ummah wasathâ umat siger-tengah. Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah 2:143. Menurutnya bahwa bagi umat Islam, Allah telah menghimpun dalam aspek agamanya dua kebenaran yakni kebenaran ruh dan jasad. Maka Islam itu bersifat ruhani dan jasmani. Bahkan jika mau, saya berpendapat bahwa masyarakat Islam itu diberi seluruh hak kemanusiaan. Manusia itu terdiri atas jasad dan ruh, hewan dan malaikat. Maka seolah-olah Allah berfirman: “Kami menjadikan kamu sekalian sebagai umat pertengahan.” 59 Ketiga , Islam merupakan agama keadilan dalam semua aspek kehidupan baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran 3:19, bahwa Allah SWT memberikan persaksian semacam itu seraya tegak dalam keadilan karena Dia Maha Adil dalam hal agama, syariat, dalam hal alam dan kealaman. Termasuk di antara yang pertama adalah penetapan keadilan dalam akidah seperti tawhid yang merupakan titik-tengah antara anti-tuhan dan kemusyrikan. Termasuk di antara yang kedua adalah hukum-hukum penciptaan dalam alam raya dan manusia yang menunjukkan hakikat akidah yang tegak di atas asas keadilan. Maka siapa saja yang melihat pada hukum-hukum tersebut dan tatanannya yang detail, akan tampaklah baginya keadilan universal Allah. Menegakkan keadilan semacam ini merupakan sinyal terhadap bukti akan kebenaran persaksian Allah Ta ala dalam makhluk hidup dan alam raya, karena kesatuan organisasi dalam keadilan tersebut menunjukkan kesatuan penciptanya. Hal ini membantah penafsiran sebagian mufasir atas maksud persaksian yang dipahami sebagai wujud persaksian itu Abd al-Rahman bn Nâshir al-Sa di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2001, hlm. 641. Selanjutnya al-Sa di dab Taysîr. 59 Al-Manâr , jld. II, hlm. 4-5. Selain ummah wasathâ, karakteristik Islam bagi Yusuf Qaradhawi adalah Robbâniyyah ketuhanan, insâniyyah kemanusiaan, syumûl universal, waqi iyyah kontekstual, wudhûh jelas, thathawwur wa tsabât integrasi antara transformasi dan konsistensi. Selanjutnya lihat Yusuf Qaradhawi, Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Al- Khashâish al-„Âmmah lî al-Islâm , oleh Rofi Munawwar,Lc. dan Tajuddin Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 1-241. 91 adalah penciptaan sesuatu yang menunjukkan keesaan berupa tanda-tanda alam dan makhluk hidup. 60 Muhammad Abduh percaya bahwa, hukum-hukum Allah SWT. berkenaan dengan ibadah, adab, dan berbagai amal diletakkan di atas dasar keadilan antara kekuatan ruhani dan badani dan antara sesama manusia satu sama lain. Itulah sebab mengapa Allah memerintahkan untuk dzikir dan syukur kepada-Nya dalam salat dan ibadah lainnya guna meningkatkan kemuliaan ruh dan menyucikannya. Allah juga membolehkan hal-hal yang baik dan perhiasan untuk memelihara kesehatan badan dan mendidiknya. Allah juga melarang sikap ekstrem dalam beragama dan berlebihan dalam hal duniawi. Itulah keadilan. Ini merupakan bentuk keadilan dalam ibadah dan kegiatan duniawi. Adapun keadilan dalam hal adab dan moral, amat jelas dalam Al-Qurân seperti jelasnya perintah adil dalam pemutusan hukum. Allah berfirman “Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebajikan...” QS. 16:90 dan Dia juga berfirman: “Jika kamu sekalian memutuskan hukum di tengah manusia, hendaknya memutuskan hukum secara adil..” QS. 4:58. 61 Keempat , Islam merupakan agama anti-kezaliman. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah 2:258, bahwa yang dimaksud dengan kezaliman dalam kasus ini adalah penyimpangan dari cahaya ilahi yaitu cahaya akal yang menjadi pedoman operasional akal dalam jalan agama. Maka siapa pun yang menzalimi dirinya dengan memadamkan lampu tersebut lalu ia berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan, maka ia tidak mendapat petunjuk dalam perjalanannya menuju jalan lurus al-shirât al-mustaqîm yang menghantarkannya kepada kebahagiaan. Alih-alih, ia tersesat dari jalan lurus hingga ia binasa tak tentu tujuan. 62 60 Al-Manâr , jld. II, hlm. 256. Karakteristik Islam sebagai agama keadilan ini bis dibandingkan dengan pendapat Sayid Quthb tentang ciri khusus citra Islam, lihat Sayid Quthb, Ciri Khusus Citra Islam dan Landasannya, terj. Al-Khashâis al-„Âmmah li al-Islâm oleh Abu Laila dan Muhammad Thahir, Bandung:Pt. Al-Ma arif, 1988, hlm. 63-287. 61 Al-Manâr , jld. III, hlm. 256. 62 Al-Manâr , jld. III, hlm. 47. Menurut al-Sa di, al-zhulm adalah: lawan dari keadilan dan ia mencakup kezaliman seseorang terhadap dirinya sendiri dengan beragam kemaksiatan dan kemusyrikan, serta 92 Kelima , Islam merupakan agama yang mementingkan keseimbangan mencari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah 2:207, bahwa sesungguhnya Islam mendorong kita untuk mencari kesenangan duniawi melalui cara-cara yang baik, sebagaimana ia mendorong kita untuk mengejar kebahagiaan akhirat. Bahkan hal itu diperkuat sedemikian rupa. Mencari kesenangan duniawi melalui berbagai jalan yang baik yang disyariatkan dan fungsional tidaklah menghilangkan keridhaan Allah SWT. Kita boleh menikmatinya secara halal sambil kita tetap mendapat pahala dan ridha Allah SWT. 63 Keenam , Islam merupakan agama yang memberikan kebebasan memilih dan tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah 2:256, bahwa Allah menjelaskan buat mereka bahwa pemaksaan itu terlarang dan bahwa pokok dakwah Islam adalah menjelaskannya sehingga tampak jelas antara jalan terarah dan jalan sesat dan bahwa manusia kemudian diberi kebebasan untuk menerima atau tidak menerima seruan dakwah itu. 64 Ketujuh , Islam merupakan agama yang mencintai kedamaian dan keamanan. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. Al-Nisa 4:86, bahwa ditetapkannya ucapan salam kaum Muslim adalah “salâm” guna mensosialisasikan bahwa agama mereka merupakan agama kedamaian dan keamanan dan bahwa mereka merupakan masyarakat pengusung kedamaian dan cinta keselamatan. 65 Karakteristik Islam yang ketujuh ini sama dengan pendapat Abdul Rozak Naufal, bahwa Islam mengajarkan cinta damai, cinta keamanan, dan anti perbudakan, anti rasialisme dan sukuisme sebagai penyebab kekacauan dan pertengkaran umat. 66 kezaliman terhadap orang lain dalam hal darah, harta, dan kehormatan mereka. Al -Sa di, Taysîr, hlm. 943. 63 Al-Manâr , jld. II, hlm. 256. 64 Al-Manâr , jld. III, hlm. 39. 65 Al-Manâr , jld. V, hlm. 311. 66 Selanjutnya lihat Abdul Rozak Naufal, al-Quran dan Masyarakat Modern, Jakarta: Mutiara, 1981, hlm. 22-43. 93 Kedelapan , Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi persaudaraan antarindividu dan sosial, dengan implementasi secara bertahap. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah 2:256 dan menghubungkannya pada Q.S. Al-Nur ayat 27, bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama semua orang. Di antara tujuannya adalah menebarkan keluhuran adabnya dan keunggulan nilai-nilainya di tengah manusia meski dengan cara bertahap. Islam mendekatkan satu manusia sama lain agar mereka menjadi masyarakat manusia yang bersaudara. 67 Kesembilan , Islam merupakan agama yang mampu dilaksanakan, ringan dan tidak sulit. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah 2:286, bahwa “Allah tidak memberikan kewajiban kecuali sesuai dengan kemampuan manusia”. Kemampuan adalah sesuatu yang manusia mampu melakukannya tanpa susah-payah dan kesulitan. Maksudnya adalah bahwa, sejatinya Allah dan sunnah-Nya berkaitan dengan pensyari atan agama, Allah tidak membebani kepada hamba-hamba-Nya dengan tugas-tugas di luar kemampuannya. 68 Hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam yang menjadi sifat khas yang melekat dalam islam sebagai materi dan agama dakwah yang telah dikemukakan oleh Muhammad Abduh mencakup aspek hikmah al-tasyrî , yakni tujuan, dan nilai guna yang dikandung dalam syari at Islam sebagai agama samawi yang universal. Sebab, hikmah al-tasyrî yang mencakup empat macam persoalan pokok terdapat dalam pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana dikaji oleh Ali Ahmad al-Jurjawi, menurutnya bahwa, seluruh syari at samawi tertuju pada empat hal, yaitu: 1 mengenal, mengesakan, dan memuliakan Allah serta menyebut-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, dan sifat-sifat yang boleh bagi-Nya; 2 tata cara pelaksaan ibadah kepada-Nya yang mencakup pengagungan terhadap-Nya, mensyukuri nikmat-Nya yang tidak bisa kita menghitungnya “Jika kamu sekalian menghitung 67 Al-Manâr , jld. V, hlm. 313. 68 Al-Manâr , jld. III, hlm. 145. Prinsip ini dalam ushûl al-fiqh disebut “taqlîl al-takâlîf,” “ Adam al-haraj,” dan “al-tadarruj fî al-tasyrî .” Lihat Abd Wahab al-Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942, hlm. 64-68. 94 nikmat Allah, kalian tidak akan kuasa menghitungnya,”; 3 himbauan untuk melakukan amar ma ruf nahy munkar berperangai dengan etika yang mulia, moral yang bersih, dan nilai-nilai luhur yang mengangkat manusia ke berbagai martabat kemuliaan dan keluhuran, seperti solidaritas menolong orang butuh, menjaga tetangga, memegang teguh amanah, sabar, dan semacamnya, yang itu semua merupakan nilai-nilai keunggulan yang agung; dan 4 memberi sangsi pelanggar batas dengan legislasi undang-undang menyangkut relasi sosial sehingga organisasi sosialnya tidak tercela dengan masalah stabilitas untuk melaksanakan sang-sangsi tersebut yang diabaikan pada aman sekarang dan perangkat hukum lainnya yang berkaitan dengan organisasi kehidupan mereka. Keempat hal ini merupakan tujuan diturunkannya berbagai syariat agama samawi. 69 Selain memuat aspek hikmah tasyri , corak pemikiran Muhammad Abduh dalam memahami hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam memuat pilar-pilar modernisme Islam tajdîd. Hal ini dipahami dari pemikiran Muhammad Abduh yang didalamnya terdapat ciri kemodernisan, yaitu bahwa, manusia hendaknya menguasai alam, tidak dikuasai alam, dengan menggunakan nalar dalam memahami hukum alam dan hukum kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dalam semua aspek kehidupan dan menyadari akan kezaliman sebagai penyebab kegagalan sistem sosial kehidupan manusia dalam sejarah kehidupan manusia. 70 Selain itu, apa yang menjadi karakteristik Islam sebagai pesan dakwah membuat imbauan pesan yang dapat memenuhi kebutuhan mad unya, baik imabauan rasional, emosional, rasa takut, ganjaran dan motivasional. 71 69 Lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyrî wa Falsafatuh Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 7. 70 Selanjutnya, mengenai corak pemikiran modern ini, lihat Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi , terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh Khairan Nahdiyyin Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003, hlm. 90-91, dan Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj. Unity and variety in Muslim Civilization , oleh Effendi N. Yahya Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983, hlm. 274-394 dan Azim Nanji ed., Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat , terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change, oleh Muamirotun Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003, hlm. 325-327. 71 Selanjutnya lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remadja Rosdakarya, 1994, hlm. 297. 95 Mengenai pesan dakwah bagi mad u yang sudah beragama Islam, yang disebut ummah al-ijâbah, menurut Rasyid Ridha bahwa, hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun yang berhubungan dengan masalah mu amalah menjadi materi dakwah dalam rangka pembentukan umat. Hal ini sebagaimana terkandung dalam Q.S. al- Bâqarah yang ringkasannya menurut Rasyid Ridha, yaitu: 1 menegakkan shalat dan menunaikan zakat, yang bagi para pelakunya memperoleh pujian ayat 3, 110; 2 pengharaman sihir sebagai fitnah dan kekufuran; 3 hukum-hukum qishas dan hikmahnya bagi para pelakunya ayat 178, 179; 4 ketentuan wasiat bagi kedua orang tua dan para kerabat ayat 181, 182; 5 hukum-hukum shaum dan perinciannya 183-187; 6 pengharaman memakan harta manusia dengan cara yang batal dan ketentuan hukum bagi pelanggarnya ayat 188; 7 fungsi- fungsi bulan untuk pelaksanaan agama, seperti waktu untuk shaum, haji, dan ketentuan „iddah 189; 8 ketentuan-ketentuan perang sebagai upaya membentengi dan melindungi agama, ayat 190-195, 216-218, dan 224-252 ; 9 perintah untuk mendayagunakan harta di jalan Allah dengan segala fungsi- fungsinya ayat 195, 254, dan 196-203; 10 ketentuan hukum haji dan umrah ayat 196-203; 11 ketentuan pendayagunaan harta bagi orang-orang yang berhak memperolehnya ayat 215, 219, dan 273; 12 pengharaman minuman keras dan judi ayat 219; 13 ketentuan pemeliharaan anak yatim ayat 220; 14 pengharaman terhadap mukmin laki-laki menikahi wanita-wanita musyrik dan perempuan muslimat dinikahi orang-orang musyrik ayat 221; 15 pengharaman bersetubuh bagi suami istri yang istrinya sedang haid ayat 222, 223; 16 ketentuan hukum bersumpah atas nama Allah ayat 224,225; 17 ketentuan hukum al-„ilâ bersumpah tidak akan mencampuri isteri ayat 226,227; 18 ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan suami isteri ayat 228-237 dan 241; 19 ketentuan hukum riba dan bahayanya ayat 275- 280; 20 ketentuan agama mengenai persaksian dalam mu amalah ayat 282 dan 283; 21 ketentuan hukum amalia berdo a kepada Allah sebagai akhir dari surat al-Bâqarah. 72 72 Al-Manâr , jld. I, hlm. 109-110. 96 Macam-macam hukum syariat Islam tersebut menjadi bagian dari objek kajian dakwah yang memfokuskan pada unsur maudhu dakwah dan disiplin ilmu yang mempelajarinya adalah fikih dan ushul fikih. Dalam ilmu dakwah dua macam disiplin ilmu ini termasuk dasar-dasar teoritik materi dakwah.

2. Da’i dan Mad’u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat

Manusia dan umat dalam rukun dakwah merupakan bagian dari komponen dakwah yang kepadanya taklîf syariat Islam diperuntukkan, baik sebagai dâ i maupun sebagai mad u. 73 Oleh karenanya, maka uraian mengenai hakikat manusia, menurut Muhammad Abduh, dibatasi pada keberadaan manusia sebagai mukallaf dakwah yang memiliki potensi nafs, dan dari nafs inilah terjadinya perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Sebab, Muhammad Abduh percaya bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan berpikir melalui penalaran al-hay al-nâthiq maju-mundurnya kualitas kehidupannya bergantung kepada proses perubahan nafs yang dimilikinya, ke arah mana perubahan itu ditujukan dan berangkat dari pengaruh apa perubahan itu terjadi. Pandangan Muhammad Abduh diistinbâth dari QS. Al-Ra du: 11 dan Qs, al- Anfal:53. Walaupun tidak menyebutkannya, terhadap ayat ini Muhammad Abduh berpandangan bahwa, sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada masyarakat berupa kenikmatan kecuali mereka mengubah sendiri apa yang ada pada nafs mereka, sehingga hal ini mengakibatkan perubahan pada kegiatan- kegiatan mereka. 74 Berikut beberapa pandangan Muhammad Abduh mengenai hakikat manusia dan umat.

a. Hakikat Manusia

Muhammad Abduh mengakui bahwa manusia merupakan bagian dari alam ciptaan Allah SWT. Keberadaan manusia terdiri dari kesatuan jasad fisik, badan 73 Lihat Abd al-karîm Zaidan, Ushûl al-Da wah, hlm. 5-6. 74 Lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 54 dan 164 mengenai taghyîr anfûs, dan Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 142-144 tentang hubungan fungsi qolam dalam memperoleh ilmu bagi manusia sebagai al-hay al-nâthiq. 97 kasar dan ruh nonfisik, badan halus. Ia dilengkapi dengan macam-macam hidayah dan alat kehidupan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, sesungguhnya manusia itu merupakan perpaduan jasad dan ruh, hewan dan malaikat. 75 Sementara itu, kata „al-nâs merupakan nama bagi jenis manusia. Menurut suatu pendapat, kata tersebut berasal dari kata „unâs, lalu dibuang hamzahnya ketika ditambahkan padanya alif dan lâm. 76 Lalu Muhammad Abduh menegaskan bahwa, telah diciptakan untuk manusia sejumlah indera untuk merasakan berbagai hal dan akal sebagai petunjuk terhadap apa yang dirasakan oleh indera. Allah menggelar bagi manusia sejumlah hukum agama dan tuntunan moral yang tidak terjangkau oleh kapasitas akal mereka guna hidup secara terarah dan terpelihara kemaslahatannya dari kemungkinan buruk dan memperkuatnya dengan janji dan ancaman. Maka, siapapun yang kemudian terjebak ke dalam hal-hal buruk yang membahayakan dan menyakiti dirinya, sehingga akibatnya, ia mendapat sangsinya, ia termasuk orang yang mezalimi dirinya karena Allah tidak pernah menzalimi siapapun. 77 Dalam pandangan Muhammad Abduh tersebut, Ia menyebutkan unsur jisim fisik, badan kasar, ruh nonfisik, badan halus, hayawan hewan, dan malak malaikat sebagai esensi manusia. Sedangkan dalam ungkapan ketiga, Muhammad Abduh menyebutkan kelengkapan keberadaan manusia berupa hidayah hawasi pancaindera, hidayah akal dan hidayah al-dîn agama yang membimbing penggunaan indera dan akal dalam menjalankan tugas hidup kemanusiaan. 75 Al-Manâr , jld. II, hlm. 4-5. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah 2:143, ayat ini mengenai fungsi Rasul dan umatnya menjadi saksi kebenarannya bagi manusia. 76 Al-Manâr , jld. IV, hlm. 322. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa 4:1. Al-Qurân menggunakan term al-nâs sebanyak 240 kali, al-insân 65 kali, ins 18 kali, unâs 5 kali dan basyar 36 kali, yang dalam tradisi tafsir dipandang sebagai kata-kata yang sinonim untuk menunjuk makhluk hidup berakal yang tidak buas dan sebagai makhluk sosial. Lebih lanjut lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qurân, terj. Maqâl fî al-Insân, oleh M. Adib al-Arief Yogyakarta: 1997, hlm. 7-22 dan Muhammad Fu ad Abd al-Baqi, al-Mu jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân al-Karîm Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995, hlm. 12-21, 93-94, dan 726-729. 77 Al-Manâr , jld. V, hlm. 106. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa 4:40, ayat ini mengenai sifat adil Allah ang tidak mendzalimi hamba-Nya. 98 Jisim fisik atau jasad manusia terdiri dari jutaan jenis sel dan berbagai macam benda mati. Sel-sel itu adalah makhluk hidup. Gerak-gerik dan kegiatan sel sebagai makhluk hidup yang tunduk kepada sunnah Allah SWT hukum yang mengatur gerak alam ciptaan-Nya. 78 Ruh badan halus berupa ether yang sejati hakikatnya merupakan urusan Allah SWT. Ruh adalah makhluk hidup ciptaan-Nya. Ketika ruh menyatu dengan jasad, manusia menjadi hidup di alam dunia. Hidup itu sendiri dicirikan dengan gerak, tidak diam. Mengenai ruh ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ruh merupakan jisim halus ether dalam bentuk jasad bentukan yang merupakan unsur pembentuk manusia di dunia. Melalui perantaraan jisim ether tersebut ruh bersemayam dalam jasad material ini. Jika seseorang mati dan ruhnya keluar, ruh itu keluar bersama jisim ether dan tetap bersamanya. Ia merupakan jisim yang tidak berubah, tidak berganti, dan tidak bersulih. Adapun jisim terindera ini, ia bisa berpindah dan berganti pada setiap sekian tahun. 79 Ruh badan halus atau soul dipakai untuk keadaan ruh belum bersatu dengan jasad. Apabila persatuan telah nyata, ini disebut nafs atau jiwa. Nafs inilah pada gilirannya menjadi pendorong terjadi sikap dan perilaku manusia. 80 Ruh itu juga merupakan sesuatu yang substantif serta responsif, sesuatu yang berdiri sendiri, yang hidup dan menghidupi, sesuatu yang mempertanggungjawabkan semua perbuatan manusia di hadapan Allah SWT di alam akhirat. Hidup merupakan sifat-keadaan yang diciptakan oleh Allah Maha Pencipta menurut kehendak-Nya. 81 Muhammad Abduh meyakini bahwa makhluk hidup itu terdapat dua bagian. Pertama, al-hayâh al-hissiyyah hidup inderawi yang dimiliki tumbuh- tumbuhan nabatât dan hewan hayawânât, baik hewan ternak dan semacamnya, maupun manusia dari segi jasadiahnya. Kedua, al-hayâh al-ma nawiyyah hidup 78 Lihat Muhammad al-Sayid Arnûth, al-I jâz al-„Ilmî fî al-Qurân al-Karîm Kairo: Madbuly, 1989, hlm. 231-233 dan Zuardin Azzaino, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem Mekanisme Hubungan Roh dan Jasad Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990, hlm. 3. 79 Al-Manâr , jld. II, hlm. 38-39. Pendapat Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah 2:154, ayat ini mengenai ruh para syuhada yng tetap hidup. 80 Lihat Syafa at, Pengantar Studi Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1964, hlm. 32-33. 81 Lihat S. Komarulhadi, Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi Sala: PTDI, 1975, hlm. 79. 99 maknawi atau immateri yang terdiri dari tiga macam, yaitu al-hayâh al-„aqliyyah kehidupan rasional, al-hayâh al-„ilmiyyah kehidupan ilmiah, dan al-hayâh al- rûhiyyah al-dîniyyah kehidupan pembangkit keagamaan. Tiga macam hidup yang terakhir ini dimiliki oleh manusia yang karenanya manusia memiliki daya mengetahui „ilm, berkehendak irâdah, daya mampu al-qudrah, daya mendengar al-sam u, daya melihat al-bashar, dan saya berbicara al-kalâm. 82 Kemudian, Allah SWT memberikan hidayah sebagai kelengkapan hidup kepada manusia. Hidayah secara etimologis diartikan oleh Muhammad Abduh sebagai dilâlah, yaitu menurut bahasa berarti dilâlah memberi petunjuk secara lemah lembut terhadap sesuatu yang mengantarkan pada suatu yang diinginkan. 83 Kemudian, sejalan dengan arti etimologisnya sebagaimana disebut di atas, menurut Muhammad Abduh, terdapat lima macam hidayah yang diberikan kepada manusia dan hewan, sebagian ada yang hanya diberikan kepada manusia secara khusus sebagai pembeda dari yang bukan manusia. Berikut penjelasan kelima macam hidayah dimaksud. Pertama , hidâyah al-wijdân al-thabî î wa al-ilhâm al-fithrî hidayah perasaan hati instinktif dan inspirasi naluri. Hidayah ini diberikan kepada manusia sejak kelahirannya berupa instink, misalnya menangis karena lapar dan sakit. Hal ini tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Semua hewan yang hidup diberi hidayah ini oleh Allah SWT. 84 Ahmad Musthafa al-Maraghi berpendapat sama dengan Muhammad Abduh mengenai hidayah yang pertama ini dan menyebutnya dengan hidayah ilham. 85 Kedua, hidâyah al-hawâs wa al-masyâ ir hidayah indera dan emosi. Hidayah ini berupa potensi kognitif indera lahir, yaitu pendengaran telinga, penglihatan mata, penciuman hidung, perasa lidah, dan peraba kulit. 82 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 73-74. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Fatihah:1. 83 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Fatihah: 6. 84 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62-63. 85 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jld.I., Beirut: Dar al-Fikr, tt hlm. 35. Ali Muhammad Hasan al-Amâri menyebutnya sebagai hidayah gharizah, lihat karyanya al-Qurân wa al-Thabâ iât al-Nafsiyyah, Riyadh:al-Lajnah Âmmah li al-Quraân wa al-Sunnah, 1966, hlm. 22. 100 Hidayah ini juga diberikan oleh Allah SWT. , selain kepada manusia, juga kepada hewan yang hidup selain manusia yang pertumbuhannya lebih cepat ketimbang manusia, sebab bagi manusia berlaku prinsip tadarruj berangsur-angsur. 86 Ketiga , hidâyah al-„aql hidayah akal. Bagi manusia sebagai makhluk sosial al-basyar tidak cukup dengan hidayah instink dan potensi inderawi, karena dua macam hidayah ini sering melakukan kesalahan kognitif dalam mengetahui obyek. Keduanya terbatas tidak mampu membuat analisis dan generalisasi keragaman obyek tahu dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, diberikan hidayah akal yang mampu memahami, mengerti, membetulkan kesalahan dan menunjukkan seba-sebab terjadinya kesalahan yang dialami oleh potensi instink dan potensi hawasi. Akal ini hanya diberikan kepada manusia tidak kepada hewan. Dengan akal ini manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memilih sesuatu sikap dan tindakan terhadap obyek yang dihadapinya. 87 Ibn Qayyim dan Muhammad Sulaiman al-Asyqâri berpendapat bahwa hidâyah al-dîn hanya diberikan kepada manusia yang berakal, dan karena akal itulah manusia menjadi objek taklif hidâyah al-dîn. 88 Makna etimologis term aql sebagai bagian dari hidayah Allah berdasarkan isyarat al-Quran yang semuanya menggunakan kata kerja mengandung makna memahami, mengerti, dan merenungkan sesuatu secara mendalam segala ma qûl obyek yang dipahami. Menurut Sayid Abul Majd, al-Quran mengisyaratkan term turunan dan sinonim kata-kata yang semakna dengan aql, yaitu: 1 al-fikr berpikir, 2 al-ray berpendapat, 3 al-nazhar memperhatikan, 4 tadabbur berpikir mendalam, 5 al-fiqh memahami, 6 al-rusyd kesadaran, 7 al- dzikr mengingat, 8 al-lub kecerdasan, 9 al-nuhd mengekang, 10 al-hijr mencegah, 11 al-qalb hati, 12 al-fuâd sentuhan hati, 13 al-hikmah kebijakan, 14 al-burhân argument demonstratif, 15 al-bayyinah penyajian 86 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. 87 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. 88 Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, Tafsir al-Qayyim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988, hlm. 9 dan Muhammad Sulaiman al-Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, Riyadh: Dâr al-Nafâis, 2004, hlm. 7. 101 penjelasan, dan 16 al-huda petunjuk. 89 Keanekaragaman makna akal ini menunjukkan keragaman fungsi akal bagi pemiliknya, yang membedakan kediriannya dari makhluk hidup lain yang tidak berakal dalam mengatasi berbagai macam problem kehidupannya. 90 Mufasir al-Zamakhsyari memaknai kata kerja aql dalam tafsirnya dengan 1 menggunakan kecerdasan tafathn, 2 memahami fahm 3 mengikat pengertian dhabath, 4 memikirkan secara mendalam nazhar, 5 mengambil pelajaran itibâr, 6 mengetahui ilm. 91 Tafsir ini menjadi salah satu rujukan bagi Muhammad Abduh. Bagi al-Fairuzâbâdi, term-term yang dipilih bagi makna kata kerja akal dalam tafsirnya adalah: 1 menyadari dalam hati atau kesadaran hati al-dzikri, 2 membenarkan tashdiq, 3 mengetahui ilm. dan memahami fahm. 92 Muhammad Abduh juga menjadikan Tafsir al-Jalalayn sebagai salah satu acuannya ketika menjelaskan kosa kata dalam penafsiran term-term tertentu. Imam al-Jalalayn menafsirkan makna kata kerja akal dengan: 1 memikirkan secara mendalam tadabbur, 2 mengetahui ilm, 3 memahami fahm dan 4 mempercayai iman. 93 Termasuk mufasir pengikut Muhammad Abduh, Ahmad Musthafa al-Maraghi memaknai kata kerja akal dengan menggunakan makna: 1 memahmi faqh, 2 mengikat pengertian dhabt, 3 memikirkan secara mendalam tadabbur, 4 memperhatikan nazhar, 5 memahami idrâk, dan 6 membedakan tamyîz. 94 89 Lihat Sayid Abul Majd, al-Malakat al-Aqliyyah fl al-Qurân al-Karîm dalam al- Muhâdharah al-Âmmah, Mesir. Mathbaah al-Azhar, 1960, hlm 80-81, dan Ibrahim Anis dkk., al-Mujam al-Washit, Kairo: Dar al-Maarif, I960, hlm 616. 90 Lihat Hasan Muhammad Musa, Qâmus Qurâni Kairo: Maktabah Khalil Ibrahim, 1966, hlm. 343 91 Lihat Abu al-Qasim Jar al-Lah Mahmud ibn Amr al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al- Kasyf an Haqâiq al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta wîl, Beirut: Dar al-Maarif, tt., hlm. 277, 289, 291, dan 326. 92 Lihal Abu Thahir Muhammad bin Yaqub al-Fairuzabadi al-Sairazi, Tanwîr al-Miqbas min Tafsîr Ibn Abbas, Jedah: al-Haramayn, tt., hlm. 7, 9, dan 18. 93 Lihat Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuthy, Tafsir al-Qurân al-Azhîm, Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt., hlm. 11, 23, dan 37. 94 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tqfsir al-Marâghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974, jld. I, hlm. 145, 149, dan jld II, hlm. 33-37. Mufasir Wahbah al-Juhaili mengikuti al-Maraghi memaknai kata kerja akal ini dalam tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz ala Hamisy al-Qurân al-Azhîm, sebagai ringkasan Tafsir al-Mun î r karya yang sama tentang tafsir secara tahl î li.