Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
5
perang itu dalam dakwah? Apa dan bagaimana peran al-mulûk para raja dan al-umarâ
aparat pemerintah dalam menyiapkan kader da’i profesional? Kemudian apa sajakah inti ajaran Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam? Dan
bagaimana metode penyajiannya dalam proses dakwah? Analisis atas jawaban persoalan-persoalan ini secara proporsional dipahami dengan menggunakan
pendekatan yang diajukan oleh Azyumardi Azra, yaitu pendekatan apologetik pembelaan diri, identifikatif inventarisasi problem dan mencari solusinya, dan
affirmative penegasan kembali kepercayaan kepada Islam dan menguatkan
kembali eksistensi masyarakat Muslim.
14
Selanjutnya Muhammad Abduh meyakini bahwa mendakwahi manusia kepada al-khair, memerintah perkara yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran
adalah perintah bagi semua muslim dan bagi muslim yang melaksanakannya menjadi khairu ummah yang memiliki keimanan yang hakiki, yaitu keimanan
yang disertai kepatuhan jiwa dan dibuktikan dengan pengamalan ajaran Islam.
15
Menurut Muhammad Abduh bahwa dakwah dapat digolongkan kepada tiga martabat peringkat‖, yaitu: peringkat pertama al-martabah al-ûla, berupa
dakwah kepada al-khayr yang dilakukan oleh umat Islam terhadap semua umat agar mereka bersama-sama melaksanakan cahaya dan petunjuk al-khayr al-
Islâm . Hal ini merupakan tahapan dakwah dalam peringkat pertama, yang diawali
dengan menyeru manusia kepada al-Islâm terlebih dahulu, jika mereka menerimanya maka dilanjutkan dengan memerintah mereka agar melaksanakan
perkara yang ma’rûf dan mencegah mereka dari perkara yang mungkar;
16
Peringkat kedua al-martabah al-tsâniyah, yaitu dakwah berupa amar
ma’rûf dan nahy munkar di kalangan kaum muslimin, sebagian dari mereka
mendakwahi yang lainnya kepada al-khayr begitu pula amar ma’rûf dan nahy munkar
; bagi peringkat kedua ini terdapat dua jalur dakwah yaitu: 1 al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah
dakwah universal‖ dengan menjelaskan bayân, jalan- jalan al-khayr, menerapkannya dalam kehidupan manusia, dan memberikan
14
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Posmodernisme,
hlm. v-vi.
15
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 64.
16
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 27.
6
contoh-contoh yang berpengaruh pada kejiwaan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi mad‘unya. Dakwah ini menurut Muhammad Abduh mesti
dilakukan oleh khawwash al-ummah komunitas khusus‖ yang terdidik dan terlatih yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang rahasia-rahasia
hukum, hikmah agama dan pemahamannya. Berdasar kepada kualitas keilmuan mereka khawwash al-ummah ini secara spesifik melakukan implementasi hukum-
hukum Allah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan mad’u dimanapun dan kapanpun; dan 2 al-dakwah al-juziyyah al-khâshshah dakwah parsial‖ yaitu
dakwah yang berlangsung antar individu yang sudah saling mengenal baik yang pandai maupun yang bodoh dengan menunjukkan kebaikan dan memotivasinya,
mencegah kejelekan dan memperingatkannya. Didalam jalur kedua ini termasuk taushiyah
dengan yang haq dan taushiyah dengan shabar, sesuai dengan kualitas kemampuannya dalam menjalankan kewajiban umum dakwah.
17
Muhammad Abduh tidak menyebutkan hukum Islam dalam jalur pertama dari al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah tersebut, tetapi hukum-hukum Allah SWT.
Hal ini mengandung arti bahwa materi dakwah bukan hanya hukum yang terkandung dalam syariat Islam yang diyakini mengatur tata kehidupan manusia,
tetapi juga hukum perilaku alam sunan al-kawn menjadi bagian yang menuntut diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia baik sebagai dâ’i maupun
sebagai mad’u. Sedangkan implementasi syariat Islam dan hukum perilaku alam sebagai proses dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan macam-macam
kemaslahatan manusia di sepanjang zaman dan di manapun manusia itu berada,
dengan menjadikan dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem psikologis dan sosiologis mad’u yang dihadapinya.
Dari sudut pandang sistem dakwah, penjelasan hakikat dakwah tersebut dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan tiga bentuk dakwah
17
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 28. Paparan Abduh mengenai dakwah ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S.. Ali Imran:104, ayat ini memuat bagian dri ketentuan dakwah. Secara
metodologis Abduh memahami hakikat dakwah ini dengan pendekatan qishmah tafshiliyah” taksonomis tidak dengan al-ta’rîf bi al-hadd atau al-ta’rîf bi al-rasam, yaitu menjelaskan
hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep ta’rîf
merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al-Sayyid al-
Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, Kairo: Maktabah al- Zahra, tt hlm. 92-93.
7
menurut caranya, yaitu: 1 bentuk tathbîq, yaitu berupa implementasi ajaran Islam dan hukum alam dalam kehidupan manusia, 2 bentuk bayân penjelasan
lisan yang berkaitan dengan tablîgh bî ahsan al-qawl menyiarkan Islam dalam bentuk penjelasan bahasa lisan kepada kelompok besar dan khalayak dengan
materi tablîgh al-khayr al-islâm, dan 3 bentuk bayân penjelasan lisan yang berkaitan dengan irsyâd al-qawl bimbingan mad‘u individu dan kelompok kecil
dengan bahasa lisan dengan membuat contoh-contoh yang mempengaruhi kondisi psikologis para pendengar sebagai mad’u. Muhammad Abduh juga
mengajukan bahwa situasi dan kondisi obyektif mad‘u menjadi pertimbangan penting dalam proses dakwah dengan berbagai macam bentuknya.
18
Pemahaman atas apa dan bagaimana penjelasan Muhammad Abduh lebih lanjut mengenai tiga bentuk dakwah menurut caranya tersebut dikaji dengan
menggunakan analisis perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah yang lain, juga menggunakan teori komunikasi yang relevan.
Kemudian Muhammad Abduh menyebutkan al-Islâm dengan al-khayr sebagai materi dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah yang telah
dikemukakan. Menurutnya, al-khayr sebagai al-Islâm itu sebagaimana ditegaskannya bahwa, yang dimaksud dengan al-khayr kebajikan adalah al-
Islâm sebagai agama Allah yang diturunkan melalui lisan seluruh nabi bagi
seluruh umat manusia. Ia tiada lain adalah al-ikhlâsh karena Allah SWT. dan meninggalkan hawa nafsu menuju hukum-Nya.
19
Al-Islâm yang berintikan mengesakan ke-Mahaesaan Allah, menaati
hukum-Nya dan menjauhi dominasi hawa nafsu, yang diberikan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan universalitas ajaran Islam yang di bawa oleh
18
Bandingkan dengan penafsiran Q.S. Fushilat: 33 mengenai bagian dari ketentuan dakwah oleh Abd al-Rahman al-Sa‘di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân
Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001, hlm. 749, dan Abd al-Munshif Mahmûd al-Fatah, Manhâj al-Da’wah al-Islamiyah min Al-Qur’an wa al-sunnah al-Nabawiyah,
Mesir: Al-Azhar, 1419 H, hlm. 29-42.
19
Pengertian ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 104 Surah Ali Imran, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27.
8
seluruh nabi Allah SWT., walaupun bentuk bahasa, hukum, dan amaliahnya dapat berbeda-beda.
20
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, dakwah Islam yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai nabi Allah
terakhir merupakan kelanjutan dan menyempurnakan syariat Islam dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelumnya.
21
Nabi Muhammad saw. menghidupkan kembali ruh ajaran Islam berupa al-ishlâh yaitu memperbaiki dan
mencari solusi problem umat dengan mempertahankan yang baik dan memperbaiki yang jelek. Lalu Muhammad Abduh mengemukakan beberapa
prinsip ajaran Islam sebagai materi dakwah yaitu: 1 ruh ajaran agama Islam adalah tawhid dan ikhlas yang diungkapkan dengan istilah islâm; 2 tujuan setiap
kegiatan yang diperintahkan oleh agama tiada lain adalah perbaikan hati ishlâh al-Qalb
dan akal-ishlâh al-‘Aql melalui keselamatan keyakinan dan kebaikan tujuan; 3 memelihara seluruh kegiatan konkret tanpa tujuan yang benar tidak
memberikan faidah apa-apa bahkan ia berbahaya tanpa itu, yang akan membuat manusia disibukkan oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dan menghalanginya dari
hal-hal yang berguna.
22
Dalam pada itu, untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam diperlukan penggunaan potensi akal dan kalbu secara terpadu. Sebagaimana ditegaskannya
bahwa, pertama, apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki hati nurani kecerdasan spiritual, dan
kedua, fungsi segala apa yang dibawa oleh nabi adalah upaya menghidupkan ruh
agama yang menjadi pijakan seluruh nabi dan rasul, menyempurnakan syariat dan
20
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 52 surah Ali Imran, ayat ini memuat tentang bagian kisah al-hawâriyun penolong dakwah nabi Isa a.s. Al-Manâr, jld. III, hlm.
314.
21
Syariat dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw. disebut syar’u man qablanâ‖. Lihat Muhammad al-Hudhori Bek, Ushûl al-Fiqh Beirut: Dâr al-
Fikr, 1981, hlm. 35-36.
22
Penjelasan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 139, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dialog nabi Muhammad SAW dan mad‘u dengan mengedepankan hujah. Al-
Manâr , jld. I, hlm. 488.
9
tata susilanya dengan etika yang maslahat bagi sekalian manusia pada setiap ruang dan waktu.
23
Dari sudut pandang dakwah, dalam penegasan Muhammad Abduh mengenai ruh agama yang telah dikemukakan, ada beberapa Hal yang unik dan
menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana tawhîd dan ikhlâsh sebagai rûh Islam? Apa dan bagaimana ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql sebagai
sasaran pengamalan Islam? Apa dan bagaimana sesuatu yang dihadirkan oleh Nabi Muhammad saw. sunnah sebagai upaya menghidupkan rûh al-dîn yang
dibawa oleh para nabi dan rasul Allah untuk semua manusia al-basyar? Analisis atas jawaban persoalan ini akan menggunakan pendekatan hikmah tasyrî’ nilai
dan fungsi filosofis ajaran
24
dan pemikiran para pakar tentang konsep ishlâh. Hasil analisis ini diharapkan untuk menguji apakah benar bahwa makna
fungsional dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah ishlâh”
25
perbaikan dan mencari solusi problem mad’u dan ihyâ menghidupkan ruh agama yang dibawa para rasul Allah.
Term ishlâh reformasi memiliki muatan makna fungsional yang murâdif dengan term da’wah. Demikian menurut pemahaman Abbas al-Aqqad ketika
mengomentari perjuangan Khalifah Ali bin Abu Thalib KAW. dalam buku Syarh Nahj al-Balâghah
karya Syaikh Muhammad Abduh, buku ini menghimpun pidato, surat-surat, dan kata-kata hikmat khalifah Ali KAW yang dihimpun oleh
Syarif Ridha.
26
23
Al-Manâr , jld. I, hlm. 489.
24
Antara lain dari pemikiran Ali Ahmad al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh
Beirut: dâr al-Fikr, tt..
25
Menurut Abd al-Rahman Al-Sa‘di, hakikat ishlâh adalah:
Ishlâh reformasi adalah upaya dalam memperbaiki aqidah, akhlak dan semua keadaan manusia
yang memungkinkan tercapainya kebaikan hidup manusia. Selain itu, ia juga memperbaiki segala urusan keagamaan, keduniawian, individu dan golongan. Sedangkan lawan dari perbaikan adalah
perusakan. Lihat Abd al-Rahman al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al- Mannân
, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001, hlm. 749.
26
Lihat Abbas al-Aqqad, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah
, ed. Ahmad Jad Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd, 2006, hlm. 27.
10
Sebenarnya, upaya ishlâh reformasi dan tajdîd pembaruan merupakan ciri yang menyatu dalam diri Islam. Bahkan, menurut Moshe Sharon,
sebagaimana dikutip Akh. Minhaji, bahwa kedatangan Islam itu dapat dipandang sebagai gerakan reformasi dan pembaruan pertama yang amat menakjubkan dan
telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental di kalangan masyarakat Arab ketika itu.
27
Oleh karena itu, gagasan Muhammad Abduh tentang ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql
merupakan bagian metode irsyâd al-nafsî internalisasi Islam dalam memperbaiki dan mencari solusi probelm psikologis mad’u pada level
intraindividu merupakan aktualisasi watak Islam yang reformis dan modernis. Analisis atas irsyâd al- nafsî ini selain menggunakan pemikiran pakar muslim
tentang konsep nafs dalam Al-Qur‘an juga menggunakan pendekatan psikologis dalam komunikasi, teori ini meyakini bahwa bagi pemikir yang memiliki konsep
religius pada waktu yang sama memiliki perhatian atas kehidupan dan penghormatan terhadap rasio dan realitas problem kehidupan manusia dan
berupaya menemukan solusi-solusi baru bukan melalui irasionalitas dan kebencian, melainkan melalui penguatan terhadap rasio dan menumbuhkan cinta
kehidupan.
28
Mengingat di dalam Irsyâd al-nafsî‖ terdapat tehnik muhâsabah bi al- nafs
mawas diri, maka teori interaksionisme dalam komunikasi digunakan dalam memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang irsyâd al-nafsî ini, teori ini
meyakini bahwa proses mawas diri bersifat sosial, karena diri melaksanakannya bertindak atas dirinya, dan menggunakan tindakan perilaku yang sesuai dengan
situasi tertentu. Diri juga mengevaluasi kesesuaian respon tersebut dan menyimpannya untuk dipakai sebagai referensi di masa yang akan datang.
29
27
Akh. Minhaji, Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,‖ dalam Amin Rais dkk., Muhammadiyah dan Reformasi Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000,
hlm. 42.
28
Lihat Eric Fromm, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. v.
29
Lihat B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication
, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat Bandung: Remaja Karya, 1986, hlm. 233.
11
Muhammad Abduh meyakini bahwa dâ’i pelaku dakwah Islam digelari sebagai khayr ummah umat terbaik oleh Allah SWT, yang mengerjakan bentuk
dakwah amr ma’rûf memerintah yang baik dan nahy munkar mencegah yang mungkar, selain para nabi Allah, mereka adalah semua orang beriman. Mengenai
hal ini, Muhammad Abduh mengemukakan perlunya kriteria dan peran dâ’i, yaitu: 1 mereka merupakan orang-orang beriman kepada Allah dengan tingkat
keimanan yang mengontrol akal, hati, dan perasaan mereka, menguasai kecenderungan hawa nafsu mereka yang dijelaskan oleh Allah SWT. mengenai
keistimewaan dan ciri-cirinya dalam banyak ayat Alquran; dan 2 kualitas keimanan dâ’i selain bermanfaat bagi dirinya sebagai penggerak al-musayyir
umat juga besar pengaruhnya dalam melakukan dalam perubahan taghy
îr
formasi kehidupan di muka bumi.
30
Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan selain kualitas
keimanan kepada Allah SWT. sebagai syarat seorang dâ’i, ada dua hal yang menjadi fungsi dan peran utama dâ’i, yaitu al-musayyir pengemudi, pengendali,
dan penggerak umat dan taghyîr hay-ah al-ardh pelaku perubahan kehidupan sosial-ke arah yang lebih baik. Hal ini menjadi petunjuk bahwa bagian inti dari
gagasan Muhammad Abduh adalah da’i sebagai agen perubahan sosial mushlih di tengah-tengah kehidupan umat, yang berupaya memperbaiki kehidupan agama
umat dalam berbagai bidangnya yang paradoks dengan ajaran agama, upaya ini berfungsi sebagai ikhtiar dan gerakan merespons dan mencari solusi persoalan
internal umat Islam berupa kemerosotan pengamalan ajaran Islam dan membentengi umat serta menolak pengaruh budaya negatif dari luar.
Muhammad Abduh mengakui bahwa dalam upaya memperbaiki kehidupan beragama umat, perlu dilakukan gerakan amr ma’rûf dan nahy munkar
sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah Islam, sebab menurutnya, amr ma’rûf,
30
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran: 110, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58.
12
nahy munkar dan kemestian untuk menunaikan ajaran Islam itu merupakan bagian
dari bentuk dakwah Islam.
31
Persoalan dalam pendapat Muhammad Abduh tentang fungsi da’i dan salah satu bentuk dakwah tersebut yang ditelusuri lebih lanjut, adalah apa dan
bagaimana al-musayyir dan al-mughayyir sebagai fungsi da’i? Dan apa serta bagaimana amr ma’rûf nahy munkar sebagai bagian dari bentuk kegiatan dakwah?
Analisis atas jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menggunakan teori komunikasi yang diambil dari teori perubahan sosial, yaitu yang meyakini bahwa paling tidak
ada empat unsur utama yang menjadi sumber perubahan, yaitu gagasan ideas, tokoh-tokoh besar heroes and heroes worship, gerakan-gerakan sosial, dan
revolusi.
32
Hasil analisis tersebut diharapkan menjadi argumen bahwa bagian dari makna fungsional pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh adalah
perubahan ke arah situasi kehidupan umat yang lebih baik melalui upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat.
Selanjutnya, menurut pengamatan Muhammad Abduh, bahwa pemikiran dan aktivitas dakwah Islam pada zamannya menjadi bagian persoalan internal
umat Islam yang menuntut adanya upaya ishlâh al-da’wah mereformasi dakwah. Reformasi dakwah ini dipandang urgen oleh Muhammad Abduh, karena dakwah
bukan mengatasi masalah tetapi menimbulkan masalah. Muhammad Abduh mengemukakan beberapa macam problem dakwah pada saat itu, yakni: 1
menasihati individu-individu umat nash
î
hah al-Afrâd , menegakkan perkara
ma‘ruf dan menjebol perkara munkar menjadi ajang menyebarkan perbedaan dan perpecahan; 2 tidak adanya upaya menyeru kepada kerukunan dan kesatuan
umat; 3 saling menasihati menjadi penyebab terjadinya permusuhan dan perdebatan sehingga menjadi masalah krusial hubungan persaudaraan dan
31
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 62.
32
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi Bandung: Rosdakarya, 1999, hlm. 81. Jika esensi dakwah adalah perubahan dan perbaikan kehidupan sosial
, maka secara sosiologis dakwah berfungsi sebagai upaya reformasi, yakni proses perubahan tatanan sosial lama secara mendasar dan cepat kepada tatanan sosial baru yang lebih baik dengan
cara damai. Lebih lanjut, lihat Salman Luthan, Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,‖ dalam Kritik
Sosial dalam Wacana Pembangunan ed. Moh. Mahfud MD, dkk. Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 448.
13
persahabatan di kalangan umat. Oleh karena itu, solusinya dakwah dengan bahasa lisan menyeru kepada kebaikan, memerintahkan ma’rûf dan menjebol
kemunkaran secara bersama-sama di kalangan muslim, harus didasarkan pada tambatan kasih sayang dalam hati mereka dan menyelamatkan mereka dari
kehidupan siksa sehingga mereka merasakan kehadiran ajaran Islam sebagai nikmat Allah SWT.
33
Dari bagian persoalan dakwah yang dinyatakan Muhammad Abduh tersebut, yang dikaji lebih lanjut adalah apa dan bagaimana nashihah al-afrâd?
Apa dan bagaimana upaya ishlâh al-da’wah melalui kaderisasi da’i profesional? Analisis atas jawaban pertanyaan ini menggunakan perbandingan dengan
pendapat pakar dakwah lain tentang konsep takwîn al-du’ât kaderisasi da’i profesional dan pakar pendidikan. Da‘i profesional adalah ilmuwan muslim yang
menjadikan dakwah sebagai pekerjaannya berdasarkan keahlian yang dimilikinya dan keahliannya itu berbasis penguasaan ilmu islam dan keterampilan
mempraktikannya.
34
Adanya term al-hujjah argumen rasional dan al-burhân argumen demonstratif dalam mendakwahkan Islam, yang diajukan oleh Muhammad
Abduh, menunjukkan bahwa Hal ihwal yang berkaitan dengan dakwah Islam adalah termasuk kandungan alquran, sebab al-hujjah argumen rasional dan al-
burhân argumen demonstratif adalah bagian dari makna fungsional Alquran.
35
Selain itu, al-hujjah dan al-burhân merupakan dua istilah yang mengacu pada aktivitas berpikir dalam pembentukan dan menghubungkan antara konsep berupa
proposisi-proposisi tentang obyek yang dipikirkan yang menghasilkan kebenaran ilmiah.
36
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh
33
Al-Manâr , jld. IV., hlm. 29. Problem dakwah yang dikemukakan Abduh ini merupakan
bagian dari problem perkembangan sosial di Mesir pada zamannya, yang menjadi bagian dari tantangan perjuangan pembaruan yang dihadapinya.
Lihat Abd al-Badi al-Shaqâr, Kayfa Nad’u al-Nâs, Kairo: Maktabah Wahbah, 1976, hlm. 108-109.
35
Term al-hujjah antara lain disebutkan dalam Q.S. al-An‘âm 6: 149, ayat ini memuat penjelasan bahwa adanya rasul dan al-kitab sebagai bagian dari hujjah Allah SWT. dan al-burhân
antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ 4: 174, ayat ini memuat penjelasan bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai burhân.
36
Lihat Muhammad Sayid al-Jalind dan Sayid Rizq al-Hijr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts
Kairo: Maktabah al-Zahra, tt., hlm. 9-10.
14
berpandangan mengenai apa dan bagaimana hakikat dakwah Islam itu mesti dipahami dari Al-Qur‘an dengan pendekatan rasional ’aqliyyah.
Oleh karena itu Al-Qur‘an sebagai sumber pemaknaan hakikat dakwah Islam ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa unsur esensi keberadaan Al-
Qur‘an yang diyakininya, ialah 1 Al-Qur‘an adalah firman langit yang diturunkan kepada hati nabi yang paling sempurna oleh Maha Pencipta yang
hakikat-Nya tidak dapat diketahui; 2 Al-Qur‘an di dalamnya terkandung banyak pengetahuan yang tinggi dan kebutuhan-kebutuhan yang urgen; dan 3 Al-Qur‘an
tidak dapat diserap maknanya kecuali oleh para pemilik jiwa yang bersih al-nufûs al-zâkiyah
dan para pemilik akal yang jernih al-‘uqûl al-shâfiyah
37
Penegasan Muhammad Abduh mengenai keberadaan Al-Qur‘an tersebut tampaknya lebih mengacu pada saat Al-Qur‘an belum dikodifikasikan dalam
mushhaf , sebab Muhammad Abduh juga mengungkapkan pemahamannya tentang
Al-Qur‘an menurut keyakinannya bahwa: 1 Al-Qur‘an itu adalah al-kitâb yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.; dan 2 Al-Qur‘an itu
termaktub dalam mushaf-mushaf yang terpelihara di dalam dada orang-orang Islam yang menghafalnya hingga hari ini.
38
Mengacu pada dua pemahaman keberadaan Al-Qur‘anyang diajukan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memahami Al-Qur‘an
hendaknya menggunakan dua instrumen metodis, yaitu kecerdasan intelektual‖ al-‘uqûl al-shâfiyyah dan kecerdasan spiritual‖ al-nufûs al-zâkiyyah secara
terpadu. Proses pemahaman ini disebut penafsiran Al-Qur‘an. Dengan demikian, keterpaduan dua instrumen metodis ini menjadi basis epistemologis bagi
Muhammad Abduh ketika merumuskan konsep-pemikiran dakwah dalam tafsir Almanar.
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, tafsir Al-Qur‘an itu hendaknya memuat unsur esensi penafsiran Alquran, yaitu berupa pemahaman al-kitâb yang
37
Al-Manâr , Jld. I, hlm. 17. Penggunaan instrumen metodis al-nufûs al-zakiyyah dan al-
‘ûqûl al-shafiyyah dalam memahami Al-Qur‘an sebelum Abduh, antara lain sudah digunakan oleh
Taqiy al-Dîn Abi al-Abbâs Ahmad bin Taymiyah w.728H. Lebih lanjut, lihat karyanya Kitâb al- Nubuwwât
Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 284.
38
Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1960, hlm. 145.
15
dipandang sebagai ajaran dan petunjuk dari Allah bagi semua alam, yang menggabungkan antara penjelasan urusan kemaslahatan manusia dalam
kehidupan duniawi dan urusan keselamatan kehidupan ukhrawi.
39
Kemudian Muhammad Abduh juga menegaskan karakteristik pemahaman sebagai proses penafsiran Al-Qur‘an yang unsur–unsurnya terdiri dari: 1 suatu
upaya pemikiran yang berbasis rasa yang bersih, yang terbingkai oleh pola-pola Al-Qur‘an dengan segala kelebihannya dan terkendali oleh petuah-petuahnya
sehingga ia mengabaikan yang lainnya; 2 pemahaman itu bukan pemahaman yang timbul dari kepasrahan buta terhadap kitab-kitab; dan 3 pemahaman itu
bukan suatu ketundukan hampa yang tidak berpangkal pada rasa dan apa yang mengikutinya berupa kelembutan perasaan dan kehalusan nurani yang keduanya
merupakan sumber penalaran al-ta’aqul, penyerapan al-taatstsur, pemahaman al-fahm, dan perenungan al-tadabbur.
40
Dengan demikian dapat dipahami bahwa diantara sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah
untuk memberantas mental taklid di internal umat Islam. Sedangkan tujuan utama penafsiran Alquran, bagi Muhammad Abduh,
adalah selain sebagai al-ihtidâ bî al-Qur’an menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk hidup, juga ditegaskan ketika menjelaskan peringkat tafsir, menurutnya
bahwa peringkat minimal penafsiran Al-Qur‘an itu adalah penafsiran yang dilakukan secara global dengan tujuan agar hati menjadi; 1 mampu menyerap
keagungan Allah dan menyucikan-Nya; dan 2 membuat jiwa berpaling dari keburukan dan cenderung pada kebajikan.
41
Muhammad Abduh menulis tafsir Al-Manâr sebagai reaksi dan jawaban atas persoalan adanya klaim sebagian umat pada zamannya bahwa penafsiran Al-
Qur‘an itu adalah menelaah kitab-kitab tafsir karya sebagian ulama tafsir yang di
39
Al-Manâr , jld. I, hlm. 19.
40
Al-Manâr , jld. I, hlm. 27. Dalam pernyataan Abduh ini memuat term epistemologis
yang dijadikan pegangan dalam menafsirkan Al-Qur‘an dengan menggabungkan fungsi nafs dan akal rasa dan rasio, dan Hal ini dapat terjadi dalam mengkaji Islam, berupa penggabungan unsur
subyektif dan obyektif, keberpihakan imani dan obyektivitas akademis. Lihat Komaruddin Hidayat, Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat‖ dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme:
Sikap terhadap Tradisi Barat,
terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. xx.
41
Al-Manâr , jld. I, hlm. 21.
16
dalamnya banyak termuat aneka ragam perbedaan pendapat sehingga fungsi hidâyah al-Qur’an
terabaikan. Mereka menganggap cukup dengan kitab fiqih yang ada dalam menjawab tantangan zaman dan penafsiran ulang dipandang tidak
diperlukan lagi.
42
Hal ini mengandung petunjuk bahwa termasuk sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk membangkitkan
semangat ijtihad di kalangan umat Islam yang saat itu mengalami stagnasi dalam pengembangan pemikiran tafsir.
Kemudian Muhammad Abduh juga menyadari adanya problem umat Islam dalam menyikapi Al-Qur‘an dan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-
Qur‘an tidak lagi menjadi rujukan kehidupan. Begitu pula tradisi umat salaf dalam keimanan dan amal saleh tidak lagi dihiraukan. Oleh karena itu kondisi
masyarakat yang demikian itu tidak bisa dijadikan sebagai argumen yang melemahkan posisi Alquran.
43
Oleh karena itu, penafsiran yang berorientasi kepada ihtidâ bî al-Qur’an menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk merupakan kebutuhan yang selalu masa
kini mengingat universalitas ajaran yang dikandungnya berlaku dalam mengatasi problem keumatan di sepanjang zaman. Sebab, menurut Muhammad Abduh
bahwa secara fungsional kehadiran Al-Qur‘an itu berfungsi: 1 Al-Qur‘an ini merupakan petunjuk hâdi dan pembimbing mursy
îd
hingga hari kiamat; 2 makna-makna kandungan Al-Qur‘an berlaku umum dan bersifat komprehensif;
3 Al-Qur‘an tidak memberikan janji wa’d, ancaman wa‘îd, nasihat wa’azh dan arahan irsyâd hanya kepada segelintir orang tertentu; dan 4 muatan janji,
ancaman, berita gembira, dan peringatannya memuat akidah, akhlak, kebiasaan, dan kegiatan yang terdapat pada berbagai masyarakat dan bangsa. Oleh sebab itu,
Muhammad Abduh mengingatkan bahwa, siapapun jangan terkecoh oleh pendapat sebagian penafsir bahwa ayat-ayat ini berkaitan dengan orang-orang
42
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 19 dan 25.
43
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 151 surah Ali Imran, ayat ini memuat informasi tentang orang kafir dan musyrik yang qalbunya penuh dengan keraguan kepada
Allah dan segala yang datang dari pada-Nya. Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 179.
17
munafik yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. sehingga diduga bahwa ayat-ayat itu tidak lagi relevan meski berkaitan dengannya.
44
Ternyata urgensi orientasi penafsiran Al-Qur‘an yang digagas oleh Muhammad Abduh tersebut didukung oleh murid Muhammad Abduh, Sayid
Muhammad Rasyid Ridha 1865-1935 yang mengakui bahwa, terdapat kebutuhan mendesak atas suatu tafsir yang pusat perhatiannya pada petunjuk
hid
â
yah Al-Qur‘an melalui cara-cara yang karakternya sesuai dengan tujuan
diturunkannya Al-Qur‘an itu sendiri, yaitu untuk memberi peringatan al-indz
â
r ,
warta gembira al-tabsy
î
r , memberi petunjuk al-hid
â
yah , dan perbaikan al-
ishl
â
h .
45
Mencermati urgensi pembaharuan sikap terhadap keberadaan Al-Qur‘an dan penafsirannya yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Ridha
tersebut, di dalamnya juga ditemukan term-term yang berkaitan dengan sebagian aktivitas dakwah, yaitu ishlâh perbaikan, irsyâd bimbingan, bayân
penjelasan, wa’azh nasihat, indzâr peringatan, wa’ad dan wa’îd reward dan punishment
, tabsyîr kabar gembira, tanzîh al-nafs pembersihan jiwa, dan hujjah
argumen rasional. Dengan demikian, bahwa sebagian kandungan dalam tafsir Al-Manâr adalah berhubungan dengan pemikiran dakwah Islam menurut
penulisnya. Asumsi ini juga didasarkan pada pendapat Muhammad Abduh sendiri, menurutnya bahwa surat makiyyah merupakan surat-surat Al-Qur‘an yang
diturunkan pada masa awal Islam untuk kepentingan dakwah dan untuk menjelaskan dasar-dasar agama dan prinsip-prinsip umumnya berupa: 1
keimanan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para nabi, 2 meninggalkan berbagai keburukan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dikenali
oleh manusia melalui akal dan fitrahnya, dan 3 melakukan berbagai kebajikan dan kebaikan yang diketahui menurut kemampuan penalaran dan kesungguhan
44
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 20 surah al-Baqarah, ayat ini berkaitan dengan perumpamaan kehidupan orang kafir yang menjalani jalan yang gelap. Lihat Al-
Manâr , jld. I, hlm. 179.
45
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 10.
18
berpikir yang menjadi fungsi hati dan nurani.
46
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Al-Qur‘an sebagai kitab dakwah.
Term-term dakwah yang tercantum dalam urgensi penafsiran Al-Qur‘an yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh tersebut, terdapat pula term al-wa’zhu
ceramah peringatan, indzâr peringatan, wa’ad reward, wa’îd punishment, tabsyîr
kabar gembira, tanzîh al-nafs pembersihan jiwa, peranan fitrah potensi dalam penciptaan, dan dhamir nurani dalam memahami kebajikan dan
kebijakan. Apa dan bagaimana posisi term-term ini dalam struktur sistem dakwah menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan menggunakan analisis perbandingan
dengan pemikiran pakar dakwah selain Muhammad Abduh. Sehubungan dengan pendapat Muhammad Abduh mengenai Al-Qur‘an
sebagai kitab yang diturunkan untuk kepentingan dakwah, Sayid Kutub berpendapat bahwa Al-Qur‘an merupakan satu-satunya tempat kembali bagi para
penyeru dakwah dalam melakukan kegiatan dakwah, dan dalam menyusun gerakannya.
47
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu al-A‘la al-Maududi juga berpendapat bahwa:
Al-Qur‘an adalah kitab dakwah dan metode pergerakan
48
. Kemudian Muhammad Abduh juga menjelaskan argumennya bahwa
tanâsub hubungan kandungan Q.S. al-Baqarah dengan Q.S. Ali Imran
menggambarkan perihal dakwah Islam,yaitu: 1 masing-masing surat diawali dengan menyebut al-kitâb dan perihal sikap manusia dalam meresponsnya, yaitu
ada yang menerima mu’min, menolak kâfir, dan oportunis munâfiq. Hal ini menunjukkan bahwa awal surah al-Baqarah merupakan informasi perjalanan
episode awal dakwah Islam. Sedangkan dalam surah Ali Imran dijelaskan pula respons manusia terhadap Alquran, ada yang ragu zaygh dan ada yang yakin
râsikh. Hal ini menunjukkan bahwa sikap itu terjadi setelah menyebarnya dakwah Islam; 2 masing-masing surah menyebutkan klaim keyakinan Yahudi
46
Al-Manâr , jld. I, hlm. 32.
47
Sayid Kutub, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al-Da’wah wa al-Harakah
, oleh Suwardi Effendi Jakarta: Pustaka Amani, 1986, hlm. 11.
48
Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qur’an Lahor: Dâr al- Arubah li al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1960, hlm. 34.
19
dan Nasrani sebagai keyakinan yang benar, dan bahwa dakwah Islam ditujukan kepada mereka; 3 dalam surah al-baqarah diinformasikan penciptaan Adam a.s.
dan dalam surah Ali Imran diinformasikan penciptaan Isa a.s. yang di antara keduanya terdapat kesamaan penciptaan tanpa ayah keduanya sebagai da‘i pada
zamannya; 4 masing-masing surah memuat penjelasan tentang hukum perang sebagai pembelaan diri, kebenaran, dan keberlangsungan dakwah Islam; 5 pesan
moral dan etik dalam do‘a yang dimuat di akhir surah al-Baqarah berkaitan dengan permulaan dakwah yang diorientasikan pada tugas-tugas keagamaan dan
memohon perlindungan dari para penentang dakwah. sedangkan do‘a di akhir surah Ali Imran berkaitan dengan penerimaan dakwah dan permohonan balasan
amal di akhirat; dan 6 di awal surah al-Baqarah dijelaskan bahwa kemenangan dan keselamatan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan Hal yang sama
dimuat dalam surah Ali Imran yang ditempatkan di akhir, sehingga awal dan akhir terdapat konsistensi yang sama tentang akibat pilihan positif terhadap pesan
dakwah Islam.
49
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an yang dikerjakan oleh Muhammad Abduh dan dituliskan oleh muridnya Rasyid Ridha dalam tafsir Almanar hanya sampai
ayat 125 surah al-Nisa, yaitu:
50
Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan adalah pengetahuan Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
Dalam pada itu, salah satu misi diterbitkannya Tafsir Almanar sebagaimana ditegaskan oleh Rasyid Ridha:
51
Dan saya menerbitkan Almanar untuk dakwah ishlâh. Sehubungan dengan Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh, menurut
Abdullah Syahatah bahwa, menurut corak penafsirannya termasuk penafsiran Al-
49
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 153. Mengenai tanâsub surat dengan surat dalam struktur mushaf al-Quran, antara lain telah dikaji secara khusus oleh al-Suyuthi mengenai tanâsub antara
surat al-Baqarah dengan surat Ali-Imran ini. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Tanâsuq al-Durar fi Tanâsub al-Suwar,
Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah , 1986, hlm. 63-74.
50
Nomor ayat ini dalam mushaf Utsmani adalah ayat ke 126. Lihat Al-Manâr jld. V hlm. 440-445.
51
Al-Manâr , jld. I, hlm. 12.
20
Qur‘an yang rasional yang ditujukan pada para pemikir modern, yang hanya dapat menerima sesuatu yang rasional.
52
Sementara itu Muhammad Quraish Shihab mengomentari Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh sebagai salah satu kitab
Tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.
53
Sedangkan menurut komentar Mukti Ali tentang Tafsir Almanar, bahwa dalam ajaran tafsirnya, Muhammad Abduh berusaha menserasikan antara Islam
dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern dan mengikuti cara-cara pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dengan teori-teori ilmiah.
Nilai yang paling besar dalam ajaran tafsirnya adalah bahwa ajaran itu menghidupkan perasaan dan menggerakkan emosi lebih banyak daripada kepada
pembahasan masalah-masalah ilmu. ajaran tafsirnya itu lebih banyak ditujukan kepada hati daripada ditujukan kepada ilmu dan akal, sehingga kehidupan
beragama orang akan dapat terpengaruh.
54
Dari beberapa komentar mengenai tafsir Almanar tersebut dapat dipahami bahwa penulisan tafsir Almanar terkandung maksud untuk kepentingan dakwah
dalam bentuk tulisan yang merupakan bagian dari macam kegiatan tablîgh Islâm. Dengan demikian Tafsir Almanar merupakan sebuah teks tafsir yang lahir dalam
sebuah wacana yang memiliki banyak variabel. Hal ini didasarkan atas pendapat Komaruddin Hidayat bahwa Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang
memiliki banyak variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan sebagainya;‖
55
dan pendapat Abdullah Ahmed al-Naim, menurutnya bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam dipengaruhi oleh beberapa
kondisi, yaitu kondisi sosiologis dan ekonomis dari masyarakat tertentu.‖
56
52
Lihat Abdullah Syahatah, Manhâj al-Imâm Muhammad Abduh fî Tafîir al-Quran al- Karîm
Kairo: al-Majlis al- Alâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al- Adab wa al- Ulûm al-Islamiyah, 1963, hlm. 84.
53
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 5. dan lihat Muhsin Abd al-hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî Herendon,
al-Ma‘had al- Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995, hlm. 106.
54
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 491.
55
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan Jakarta: Teraju, 2004, hlm. 19.
56
Abdullah Ahmed al-Na‘im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam
, terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law
oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai Yogyakarta, 1977, hlm. xx.
21
Variabel-variabel yang menjadi wacana dan mempengaruhi penulis tafsir dan penafsirannya yang dikemukakan oleh dua ilmuwan tersebut tidak serta-merta
langsung terungkapkan dalam tafsir Al-Manâr secara utuh. Hal ini menuntut penelusuran di luar teks tafsir Al-Manâr untuk mengetahui latar variabel yang
mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, sehingga apa yang diungkapkan dalam teks tafsir Al-Manâr yang berkaitan dengan hal ihwal dakwah Islam dapat
dipahami dengan pemahaman yang mendekati maksud Muhammad Abduh sebagai penulisnya. Maka pendekatan biografis sosial penulisnya dapat
digunakan. Hal ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh Zainal Abidin Ahmad, terutama ketika mengkaji tentang Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina 980-
1037 M.
57
Kemudian bagaimana memahami kandungan teks tafsir Almanar tentang pemikiran dakwah Islam, yang dipaparkan oleh Muhammad Abduh, hal ini dapat
menggunakan pendekatan dilâlah teori pemaknaan, teori dakwah, psikologi qurani dan teori komunikasi yang berkaitan dengan obyek material kajian
dakwah, yakni perilaku manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang lain, dan lingkungan hidupnya sebagai proses implementasi al-Islam.
Kajian yang menghadirkan kembali pemikiran dakwah Islam menurut Muhammad Abduh yang menitikberatkan pada upaya perbaikan dan mencari
solusi problem kehidupan umat baik problem psikologis maupun problem sosiologis sebagai suatu hal yang baru pada zamannya dipandang perlu. Sebab
masih relevan dengan kehidupan bergama umat Islam pada zaman sekarang. Hal tersebut antara lain didasarkan atas pendapat tiga ilmuwan muslim,
yaitu: pertama, pendapat Azyumardi Azra, bahwa Islam tidak hanya memberikan ukuran-ukuran moral, tetapi juga memberikan kesempatan kepada potensi yang
dimiliki manusia untuk ikut menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan
membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber dari wahyu Allah itu
57
Lihat H. Zainal-Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 18.
22
termasuk akal dan qalbu hati nurani-nya;
58
kedua, pendapat Komaruddin
Hidayat, bahwa tatkala prestasi di bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas
hidup. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang antarsesama, mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika
keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh keberhasilan iptek menjadi acuan yang dominan;
59
dan ketiga, pendapat M. Yunan Yusuf, bahwa gerakan dakwah mestinya muncul sebagai solusi untuk membawa umat kepada sesuatu yang
menghidupkan dan menyemangati, bukan mengancam dan menakut-nakuti. Upaya menghidupkan dan menyemangati dalam arti memberikan advokasi
material maupun sepiritual yang menyejahterakan kehidupan mereka sehari-hari.
60
Dalam ketiga pendapat tersebut, bagi yang pertama terdapat kesejalanan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai perlunya menggunakan akal dan
qalbu dalam memahami teks Alquran. Pendapat yang kedua sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh tentang adanya problem keumatan yang
memerlukan upaya perbaikan dan mencari solusi melalui dakwah. Sedangkan pendapat yang ketiga sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai
urgensi adanya gerakan dakwah sebagai upaya mengatasi problem psikologis dan sosiologis keumatan.
Muhammad Abduh diyakini oleh Ibrahim Imam sebagai salah seorang ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan dakwah Islam, yang gerakannya
disebut dakwah salafiah.
61
Sedangkan pemikiran dakwah yang berintikan pendapat dan gagasan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Karim Bakar, adalah
58
Azyumardi Azra, Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial ‖ dalam Nurcholis Madjid dkk. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai
Islam menuju Masyarakat Madani , peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer Jakarta: Media
Cita, 2000, hlm. 391.
59
Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam
menuju Masyarakat Madani , hlm. 98.
M. Yunan Yusuf, Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju
Masyarakat Madani , hlm. 438. Lihat Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Bandung: Humaniora Utama, 2006, hlm. 50. Lihat Ibrahim Imam, Ushul al-‘Ilâm al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Fikr al- arabi, 1985, hlm.
186-188.
23
aktivitas akal dalam memahami, mengkaji dan memecahkan persoalan dakwah dengan menggunakan cara kerja akal.
62
Selain itu, Muhammad Abduh adalah salah seorang da’i dan pemikir dakwah, karena aktivitas dakwah bagi Muhammad Abduh merupakan bagian dari
tekad dan sumpah atas nama Allah dalam perjuangan hidupnya, isi sumpah itu sebagaimana dijelaskan oleh Utsman Amin yang dikutip oleh Firdaus AN, bahwa
Muhammad Abduh bersumpah atas nama Allah akan berpegang teguh kepada kitab Allah Alquran dalam segala amal bakti dan sikap moralnya tanpa
penyimpangan dan penyesatan; Ia akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah
sepanjang hayatnya tanpa pamrih; Ia bersumpah akan rela mengorbankan apa yang ada pada dirinya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam ukhuwwah
islâmiyyah yang mendalam; tidak akan mendahulukan kecuali apa yang
diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak akan menta‘khirkan kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama; tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan
membawa kerugian bagi agama sedikit ataupun banyak; dan Ia berjanji kepada Allah akan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk
kekuatan Islam dan kaum muslimin.
63
Dari substansi sumpah Muhammad Abduh di atas dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh bukan hanya memiliki pemikiran dakwah, akan tetapi juga
merealisasikan pemikirannya itu. Sehubungan dengan hal ini Rif‘at Syauqi Nawawi mengakui bahwa Muhammad Abduh sesungguhnya mempunyai
komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam‖. Dakwahnya tidak hanya ditujukan kepada kaum yang telah beriman, tetapi juga ditujukan untuk kaum penganut
materialisme agar mereka juga mengakui dan mengerti akan adanya malaikat.‖
64
Pengakuannya ini dikemukakan ketika menganalisis pendapat Muhammad Abduh mengenai keberadaan malaikat.
Lihat Abdul Karim Bakar, Muqaddimât li al-Nuhudh bi al-‘Amal al-Da’awi, Damaskus: Dâr al-Qalam, 2001, hlm. 13-18.
63
Firdaus AN, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya dalam Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd
, terj. Firdaus AN. Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 19-20.
64
Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadah,
hlm. 137.
24
Oleh karena itu, fokus persoalan penelitian mengenai apa sajakah dan bagaimana substansi pemikiran dakwah Muhammad Abduh yang termuat dalam
Tafsir Al-Manâr adalah persoalan yang memiliki relevansi dan urgensi bagi perbaikan dan mensolusi persoalan keumatan masa kini yang menarik untuk
dikaji.