Ali Imran: 138-139, ayat-ayat ini bagian dari fungsi maw idzah.
187
pemahaman syariat Islam yang otentik; 7 wâ izh hendaknya memberikan perbantuan dalam hal yang dibenarkan oleh syariat Islam; dan 8 niat yang ikhlas
melaksanakan kewajiban al-wa zh.
62
Pertimbangan mengenai macam-macam materi al-wa zh ditentukan oleh kondisi obyektif kebutuhan mad u. Begitu pula prinsip-prinsip metodenya dengan
mengacu pada prinsip-prinsip metode hikmah dan mau izhah hasanah.
63
Implementasi prinsip-prinsip al-wa zh tersebut oleh wa izh akan menggerakkan dirinya menjadi kredible di hadapan mad u dan akan lebih besar
efektifitas ma izhah dalam mencari solusi probleh yang dihadapi mad u.
b. Al-Nashîhah
Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku individu merupakan manifestasi dari situasi qalbnya. Misalnya, perilaku nifâq merupakan indikasi
situasi qalb yang sakit dan kesalehan merupakan indikasi dari qalb yang sehat. Sedangkan akar timbulnya stuasi qalb yang sehat adalah pilihan quwah „aqliyah
manusia dengan menggunakan potensi nafs muthmainnah dan situasi qalb yang sakit adalah pilihan quwh syahwat dan hawa dengan menggunakan nafs ammârah
yang membuat manusia menjadi bodoh, jelek pemahaman, dan jelek niat dalam melakukan interaksi dengan sesama individu lain. Di sinilah perlunya nashihat
bagi individu yang qalbnya sakit dan bagi yang situasi qalbnya sehat juga memerlukan pemeliharaan agar berkesinambungan dan meningkatkan kualitas
pemahaman dan pengamalan agamanya. Nasihat ini merupakan hak bagi mereka yang mengalami problem psikologis dan kewajiban bagi nâshih, yaitu individu
Muslim yang posisi situasi qalbnya berada pada situasi sehat dan memfungsikan nafs muthmainnah
.
64
Nashîhah dapat ditujukan kepada setiap individu dengan berbagai macam
status dan peran sosial yang dipikulnya, agar mereka memiliki jiwa mukmin yang
62
Lebih lanjut lihat Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 27-31.
63
Kajian lebih lanjut lihat Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da wah Mesir: Dâr al- I tishâm, 1979, hlm. 61.
64
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 249-251. Urgensi nashihat ini dipahami dari bagian paparan Muhammad Abduh dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 204-206. Nasihat didefinisikan oleh Abd
al-Aziz bin Ahmad al-Mas udi sebagai upaya mencarikan solusi atas problem yang dihadapi orang lain dengan ucapan dan perbuatan demi kebaikannya. Lihat karyanya, al-Nashihah Syurutuha wa
Dhawabithuha, Riyadh: Dar al-Wathan, 1993, hlm. 8-9.
188
selalu mengamalkan hukum-hukum kehidupan menurut syariat Islam. Dalam hal ini, antara lain Muhammad Abduh menegaskan bahwa, jiwa orang mukmin adalah
milik Allah bukan dikuasai oleh syahwat, kenikmatan hewani, dan tipuan setan. Maka barang siapa mendahulukan syahwat di atas keridhaan Tuhannya, menaati
batasan-batasannya, dan memelihara hidayah agamanya, ia tidak memiliki keuntungan apa-apa dari perniagaannya ini dan tiada bernilai apa-apa. Kita
sungguh telah mengetahui bahwasanya kata-kata ini akan terasa berat bagi orang- orang yang tersilaukan dengan kehidupan duniawi, serba kesenangan, gedung-
gedung, minuman keras, dan wanita-wanita yang ada di dalamnya, meski mereka mengaku bahwa mereka merupakan para tokoh dan abdi agama yang ikhlas,
karena kebenaran itu pahit rasanya bagi kaum kebatilan.
65
Salah satu prinsip dalam melakukan nashîhah adalah menggunakan qawl ma rûf
bahasa yang sesuai dengan sistem budaya, terutama ketika menghadapi individu yang safîh belum atau tidak cerdas baik karena belum dewasa berpikir
dan bertindak yang disebabkan oleh pengaruh internal dirinya dan pengaruh lingkungan hidupnya dan safîh ini buka tabiat yang tetap. Bahkan bahasa yang
sesuai dengan sistem budaya ini juga berlaku dalam konseling irsyâd dan belajar-mengajar ta lîm.
Sehubungan dengan hal ini, antara lain Muhammad Abduh menyatakan bahwa, apa yang dimaksud ma rûf di sini meliputi pembersihan hati dengan
memberikan pemahaman kepada orang pandir bahwa harta itu harta-Nya, tidak ada kelebihan bagi seseorang dengan berinfak, agar mudah baginya meninggalkan
harta. Ma rûf juga mencakup nasihat, pengarahan, dan pengajaran sesuatu yang seyogyanya diketahui oleh orang bodoh dan sesuatu yang memungkinkan ia
menerima arahan. Sebab, orang kebodohan itu seringkali menghinggapi seseorang bukan sesuatu yang bersifat bawaan. Maka, jika ia disembuhkan melalui nasihat
dan penempaan, akan membaiklah keadaannya.
66
65
Al-Manâr , jld. II, hlm. 253. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Baqarah: 207, ayat ini mengenai orang yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah.
66
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 385. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Nisa: 5-6, ayat ini mengenai ketentuan berbuat ma ruf dalam mengurus dan mengelola harta anak yatim.
189
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, selain prinsip menggunakan perkataan yang sesuai dan santun kepada manshûh yang dinasihati, juga nasihat
dan ta dîb penempaan moral berfungsi pula sebagai terapi memperbaiki perilaku jelek agar menjadi baik.
Term nashîhah dari segi urgensi dan sebagian prinsip-prinsipnya, menurut „Uqaily, secara lughawi, al-nashîhah berarti al-khulûsh selai terbuat dari kurma.
Secara ishthilâhi, al-nashîhah adalah menghendaki kebaikan bagi orang yang dinasihati.
67
Sedangkan Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, mengutip pendapat al-Khathabi, memberikan pengertian al-nashîhah sebagai sebuah kata inklusif,
yang artinya adalah menghimpun kepedulian terhadap orang yang dinasihati.
68
Sementara itu, Abu „Amar bin Shalâh, seperti dikutip oleh Abd al-Aziz bin Ahmad al-Mas ûdi, mendefinisikan al-nashîhah adalah sebuah kata inklusif yang
memuat makna upaya seorang pemberi nasihat untuk menempuh beragam jalan kebaikan bagi orang yang dinasihatinya, baik sebatas keinginan maupun dengan
pelaksanaannya.
69
Setelah mengartikan al-nashîhah dari segi lughawi dan ishthilâhi, al- Mas ûdi menegaskan pendapatnya, bahwa hendaknya orang mengikhlaskan
niatnya dalam perkataan dan perbuatannya manakala ia hendak menasihati saudaranya sesama Muslim dan yang lainnya. Nasihatnya itu tidak boleh
dimaksudkan untuk kepentingan duniawi apapun, atau untuk kemenangan diri, atau untuk menurunkan martabat yang dinasihatinya. Ia hendaknya mengerahkan
segenap kemampuannya dalam memberikan nasihat dengan cara menggunakan bahasa terbaik di hadapannya.
70
Dalam pendapat al-Mas ûdi di atas, dapat dirumuskan prinsip-prinsip dalam melakukan nashîhah, yaitu: 1 al-nâshih hendaknya berangkat dari niat
yang ikhlas, yaitu tidak karena memenuhi kepentingan pribadi dan memandang
67
Ahmad bin „Abd al-Wahab Farh al-„Uqaily, al-Thariq ilâ al-Jannah, hlm. 174.
68
Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, al-Adâb al-Nabawi Beirut: Dâr al-Fikr, tt, hlm. 17.
69
Abd al-Aziz bin Ahmad al-Mas ûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993, hlm. 9.
70
Abd al-Aziz bin Ahmad al-Mas ûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993, hlm. 10.
190
rendah orang yang dinasihati, 2 bersungguh-sungguh dalam melakukan nasihat, 3 menggunakan metode yang baik, 4 metode nasihat dapat menggunakan
bahasa lisan dan perbuatan, dan 5 individu yang dinasihati dapat ditujukan kepada Muslim atau nonmuslim.
Pertimbangan pemilihan dan penentuan materi al-nashîhah ditentukan oleh kondisi kebutuhan obyektif orang yang dinasihati dengan mengacu pada
prinsip hikmah dan mau izhah hasanah.
c. Al-Taushiyah
Secara lughawi, al-taushiyah atau al-îshâ adalah kata benda dari kata kerja yang berarti memberikan pesan penting, memerintahkan melakukan sesuatu,
membuat perjanjian. Dalam bentuk mujarad kata dasar adalah yang berarti,
antara lain, sampai dan
menyampaikan, menyambungkan.
71
Dalam hal ini Muhammad Abduh memberikan penjelasan bahwa, wasiat adalah kata
benda abstrak dari kata îshâ dan taushiyah. Ia digunakan untuk sesuatu yang dipesankan baik berupa benda atau pekerjaan. Hukumnya sunat dalam keadaan
sehat dan lebih kuat lagi tingkat hukum kesunatannya dalam keadaan sakit. Berpesannya Allah dengan sesuatu atau tentang sesuatu sama dengan perintah-
Nya.
72
Dalam konteks hak dan kewajiban antara kedua orangtua terhadap anaknya dan kerabat terdekat, washiyah merupakan bagian dari ajaran Islam yang
mensolusi agar tidak terjadi konflik internal keluarga dalam mewujudkan kemaslahatan ahli waris dan keluarga besarnya. Namun demikian, mengingat
antarindividu muslim dengan individu lainnya secara sosial merupakan sudara, maka taushiyah ini juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan.
71
Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu jam al-Wasîth, jld. II, hlm. 1038.
72
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 134-135. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 180-182. Taushiyah ini sudah dilakukan oleh Lukman al-Hakim
ketika memberikan mau izhah kepada anak dan umat pada zamannya. Lihat Muhammad Anwar Ahmad al-Baltaji, Min Washâyâ al-Qurân Kairo: Dâr al-Turâts al-„Arabi, 1987, hlm. 21-51.
191
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, taushiyah dengan hak dan sabar, mencegah terjadinya kejelekan dan mengingatkan di antara sesama saudara
Muslim untuk menjauhkan diri dari perilaku salah merupakan esensi dari macam- macam aktivitas taushiyah. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan
prinsip-prinsip taushiyah ini dengan mengacu pada keumuman kandungan QS. Al-„Ashr 103:1-3, yaitu: 1 meyakini bahwa waktu dan tempat bukan penentuan
untung-rugi dan selamat-celakanya kehidupan manusia; 2 meyakini bahwa perilaku manusialah yang mementukan nasib untung-rugi perjalanan hidupnya
dalam memilih dan mendayagunakan potensi nafsnya; 3 meyakini bahwa perilaku manusia sebagai manifestasi potensi nafsnya dapat terjadi pluktuatif, oleh
karenanya diperlukan taushiyah di antara sesama manusia; 4 memberi contoh meminta dan memerintahkan orang lain dengan cara hikmah untuk merealisasikan
al-haq , yaitu sesuatu yang ditetapkan berupa hakikat yang tetap atau syariat yang
benar. Ia adalah sesuatu yang ke arah itu kita dipandu oleh dalil yang pasti atau bukti-bukti atau saksi-saksi; 5 memberi contoh meminta dan memerintahkan
orang lain dengan cara hikmah untuk bersabar dalam menaati perintah ajaran Islam, meninggalkan segala larangannya dan dalam mengatasi segala macam
ujian hidup; dan 6 hendaknya bagi wâshî pelaku nasihat terlebih dahulu mengisi jiwanya dengan al-haq dan al-shabr, serta merealisasikan amal saleh
sehingga orang yang dinasihati dapat melihat dan mengambil pelajaran, sebab jika tidak demikian, ia termasuk yang tidak kredibel di hadapan mad unya. Sebab,
tidak mungkin anda melakukan hal itu sebelum jiwa anda sendiri terisi dengan apa yang nasihatkan, jika tidak, anda termasuk orang yang berkata tetapi tidak
melakukan apa yang dikatakannya.
73
Kredibilitas wâshî pemberi nasihat merupakan bagian yang ikut menentukan keefektifan taushiyah dalam memberikan solusi atas problem
psikologis orang yang diberi taushiyah. Kredibilitas ini akan muncul jika wâshî melakukan tahalî mengisi nafs dengan akidah tauhid yang mewujud dalam sikap
73
Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175-177 dan lihat pula M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Qur an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan
Turunnya Wahyu Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997, hlm. 471-489.
192
dan akhlak terpuji dan amal saleh, sehingga menjadi uswah hasanah suri tauladan bagi mad u individu dan kelompok.
74
Sehubungan dengan tahalî yang dimajukan oleh Muhammad Abduh sebagai esensi perilaku terpuji yang akan membentuk perilaku wâshî yang
kredibel amanah, al-Khuly mengemukakan beberapa karakteristik bagi pelaku wasiat yang mesti dipenuhi sebelum mewasiati orang lain, yaitu hendaknya wâshî
memiliki karakteristik sebagai berikut: 1 kecerdasan akal, kesempurnaan jiwa, dan budi perangai yang mulia dan terpuji menurut syariat Islam; 2 memahami
karakertistik kondisi obyektif mad u; 3 menguasai secara mendalam materi taushiyah
yang bersumber pada Al-Qurân dan al-sunnah; 4 bersemangat dan tidak mengenal putus asa dalam menjalankan tugas hidup; 5 sopan dan penuh
toleransi dalam bergaul antarsesama, penuh cinta-kasih dan menyayangi mad u seperti menyayangi diri sendiri; dan 6 mampu menghadapi setiap individu
mad u secara proporsional sesuai dengan prinsip metode hikmah dan mau izhah
hasanah .
75
Taushiyah dilihat dari segi pelakunya adalah Allah SWT, para nabi, dan
umatnya, terakhir umat Nabi Muhammad SAW. Beberapa prinsip taushiyah yang telah dikemukakan di atas terbatas pada taushiyah yang pelakunya Muslim umat
nabi terakhir. Taushiyah Proses al-wa zh, al-nashîhah dan taushiyah dari al-da wah al-fardiyah
yang sudah dikemukakan, dari sudut pandang komunikasi termasuk komunikasi antarpribadi yang mempunyai keunggulan berlangsung dalam suasana tatap muka
yang lebih besar peluangnya untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Dengan demikian di dalamnya mengandung makna persuasif, yang
74
Syekh Muhammad Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175- 177. Dalam teori komunikasi, kredibilitas ini merupakan esensi dari ethos, lihat Arthur R. Cohen,
Attitude Change and Social Influence, New York: Basic Books.Inc,1964, hlm. 23-25.
75
Lihat Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-Dînî, hlm. 16-17. Mengenai perlunya akhlak terpuji bagi dâ I sebagai sumber kredibilitas, selanjutnya lihat Fathi Yakan, Kunci
Sukses Petugas Dakwah , terj. Qawarib al-Najât li Hayâh al-Du ât, oleh M. Hasan Baidawi
Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984, hlm. 146-162, dan Amin Hasan Ishlahi, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj al-Da wah ilâ al-Lâh
, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif Jakarta: Litera Antarnusa, 1985, hlm. 23-29, dan Sayid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis
Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da i , terj. Âfât „alâ al-
Tharîq , oleh Asad Yasin Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994.
193
akan efektif apabila dâ i sebagai komunikator menguasai hal-hal sebagai berikut: 1 frame of reference mad u selengkapnya; 2 kondisi fisik dan mental mad u
sepenuhnya; 3 suasana lingkungan pada saat terjadinya proses dakwah antarpribadi; dan 4 tanggapan mad u secara langsung
Dengan mengetahui, memahami dan menguasai hal-hal tersebut, maka dâ i
akan mampu mengendalikan diri pada waktu berlangsungnya dakwah antarindividu, yaitu, hal-hal sebagai berikut: 1 mengontrol setiap kata dan
kalimat yang diucapkan; 2 mengulangi kata-kata yang penting disertai penjelasannya; 3 memantapkan pengucapan dengan bantuan mimik dan gerak
tangan sesuai proporsinya; 4 mengatur intonasi sebaik-baiknya; dan 5 mengatur rasio dan perasaan
Selanjutnya, dâ i ketika melakukan dakwah antarpribadi yang berlangsung secara tatap muka, hendaklah memperhatikan etika, yaitu sebagai berikut: 1
bersikap empatik dan simpatik; 2 menunjukkan sikap sebagai dâ i terpercaya; 3 mengutamakan tindakan sebagai pembimbing daripada sebagai pendorong;
4 mengemukakan fakta dan kebenaran; 5 hendaklah berbicara dengan gaya mengajak bukan dengan gaya menyuruh; 6 hindari dari memperlihatkan sikap
yang super; 7 jangan menganggap enteng hal-hal yang mengkhawatirkan; 8 jangan mendahulukan kritik; 9 hindari dan kendalikan emosi; dan 10
berbicaralah secara meyakinkan.
76
C. al-Da’wah al-Ummah
Al-da wah al-Ummah , menurut Muhammad Abduh, merupakan kewajiban
berupa mengimplementasikan tathbîq hukum-hukum Allah SWT yang inti proses penegakannya adalah tertumpu pada aktivitas amr ma rûf nahy munkar.
Secara fungsional, amr ma rûf nahy munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh, yaitu: langkah pertama yang menjadi keharusan adalah menyeru manusia ke
pangkuan Islam. Jika mereka memenuhi, keharusan berikutnya adalah menghimbau mereka akan kebaikan dan mencegahnya dari kemunkaran. Adapun
76
Penjelasan ini diadaptasi dari Onong Ukhjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 125-126.
194
alasan mengapa hal ini bisa menjaga kesatuan dan mencegah perpecahan adalah karena umat jika bersatu untuk mencapai tujuan luhur lagi mulia ini, yakni
hendaknya menggiring umat-umat semuanya, mendidiknya dan membina jiwanya, tidaklah ragu lagi bahwa seluruh kepentingan pribadi akan saling bertemu dan
berembuk di antara mereka. Maka, jika muncul rasa iri dan resistensi dari salah seorang anggota masyarakat, mereka akan segera menyadari tugas mereka yang
luhur lagi mulia, yang tidak akan tercapai dengan baik kecuali melalui kerjasama dan kebersamaan. Kesadaran ini dapat meredam kepentingan pribadi tadi dan
sembuhlah jiwa-jiwa sebelum menderita sakit.
77
Urgensi dakwah ummah menjadi gerakan untuk memperbaiki dan mencari solusi problem keumatan tersebut. Muhammad Abduh mengamati situasi umat
pada zamannya dihinggapi macam-macam penyakit umat yang berpangkal-tolak dari taklid buta kepada pendapat mazhab bukan mengikuti perilaku Imam mazhab.
Memahami ajaran Islam dan mengamalkannya tidak merujuk pada dalil-dalil Al- Qurân dan contoh sunnah rasul. Akibatnya, umat berada pada situasi jahiliah yang
diindikasikan antara lain dengan adanya perpecahan dan permusuhan, subyektivisme hawahu menjadi hakim dalam beragama, Muslim menjadi
terkotak-kotak, masing-masing saling mengklaim bahwa mazhab yang benar adalah mazhabnya, memusuhi umat yang berbeda pendapat, tertinggal dalam
urusan ilmu dan teknologi modern, etos kerja lemah, ekonomi jauh tertinggal, sistem ekonomi riba melanda kaum elit Mesir. Situasi ini membuat kesatuan dan
persatuan dan nilai keadilan individual dan sosial dalam sistem keumatan yang dikehendaki syariat Islam yang autentik berdasarkan dan menurut contoh sunnah
rasul, tidak menjadi kenyataan sosial umat Islam.
78
Dalam pemikiran Muhammad Abduh mengenai dakwah al-ummah di atas, termuat sasaran amr ma rûf nahy munkar sebagai upaya memelihara kesatuan
77
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 28. Ungkapan Muhammad Abduh ini merujuk QS. Al-Hajj 22:
41, ayat ini mengenai keharusan tamkin ummah.
78
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 24-25, 29 dan 30. Problem keumatan abad modern sekarang, selain yang diamati Muhammad Abduh juga ada yang diakibatkan pengaruh budaya Barat dan
dampak negative sains dan teknologi yang tidak berbasis tauhid sebagai problem dakwah. Lihat Abdullah Nashih Ulwan, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al Âlami Beirut: Dâr al-Salam,
1985, hlm. 24-34.
195
umat dan mencegah perpecahan, mendidik jiwa umat dan memusnahkan egoisme individual seperti hasad dan kebrutalan yang bersumber pada tuntutan hawa
nafsu. Selain sasaran ini, juga Muhammad Abduh mengatakan bahwa amr ma rûf nahy munkar
merupakan upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan umat dengan melaksanakan segala kewajiban beragama. Kemudian Muhammad
Abduh menyatakan bahwa, tak syak lagi, bahwa dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut terkandung perbaikan umat secara keseluruhan.
79
Sebelum Muhammad Abduh, penjelasan makna fungsional amr ma rûf nahy munkar
ini dikemukakan oleh Taqiyudin Ibn Abbas Ahmad bin Taimiyah w.728H. Menurutnya bahwa, sesungguhnya nabi sendiri dan segenap kaum
beriman tidak memberikan informasi kecuali kebenaran. Mereka tidak memerintahkan apa-apa selain keadilan, sehingga mereka menyerukan kebaikan
dan mencegah kemunkaran. Mereka mengimbau atas berbagai kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Mereka tidak mengajak pada kekejian,
tidak kezaliman, tidak kemusyrikan, dan tidak pula perkataan tanpa dasar ilmu. Mereka merupakan delegasi penyempurnaan fitrah dan pemantapannya, bukan
untuk mengganti atau mengubahnya. Mereka tidak memerintahkan apa-apa kecuali hal-hal yang sejalan dengan kebaikan menurut pertimbangan akal yang
diterima oleh hati yang bersih.
80
Dari penjelasan Ibn Taimiyah di atas, dapat dipahami bahwa, di dalamnya termuat prinsip-prinsip amr ma rûf nahy munkar sebagai tugas nabi dan umatnya
guna mewujudkan kemaslahatan segenap manusia hamba Allah SWT. di dunia kini dan di akhirat kelak. Penyakit masyarakat yang termasuk kategori munkar
adalah perbuatan kotor, kezaliman dan syirik yang bertentangan dengan fitrah manusia keyakinan tauhid Allah. Bahasa lisan yang dipergunakan dalam
menegakkan ma rûf dan menjegal yang munkar mesti mengacu pada kecerdasan penalaran rasional dan kesucian hati.
79
Al-Manâr , jld. I, hlm. 368. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 83. Implementasi kandungan ayat ini merupakan bagian dari cara membangun umat.
80
Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad bin Taimiyah, Kitâb al-Nubuwât Beirut: Dâr al-Fikr, tt., hlm. 284.
196
Amr ma rûf nahy munkar merupakan bagian dari metode da wah ummah
yang esensial, yang mencirikan keberadaannya sebagai khayr ummah, sebagaimana ditunjukkan oleh QS. Ali Imran 3: 110. Dari ayat ini menurut
Muhammad Abduh, menunjukkan bahwa,
81
kebaikan dan keunggulan umat Islam dibanding umat lain terletak pada hal-hal berikut: memerintahkan kebaikan,
mencegah kemunkaran, dan keimanan kepada Allah. Al-ma rûf
dan al-munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh bahwa, ma rûf
dalam penggunaannya secara umum dimaksudkan sebagai sesuatu yang dipandang baik oleh akal dan watak yang waras. Kemunkaran adalah sebaiknya,
yaitu sesuatu yang ditolak oleh akal dan tabiat yang sehat.
82
Kemudian, Muhammad Abduh menguatkan ma rûf dengan keadilan dan munkar dengan
kezaliman, menurutnya bahwa, tiada kebaikan yang paling baik selain keadilan dan tiada kemunkaran yang paling tertolak selain kelaliman.
83
Sementara itu, Semakna dengan penjelasan Muhammad Abduh, al-Sa di menjelaskan ma rûf dan munkar bahwa, ma rûf merupakan sebuah kata benda
yang mencakup segala sesuatu yang dikenal kebaikan dan manfaatnya baik menurut syariat maupun menurut akal. Munkar adalah kebalikannya.
84
Sedangkan yang dimaksud dengan „adil, Muhammad Abduh, menurut Rasyid Ridha, tidak memberikan penjelasannya. Al-Jurjâni, mengartikan term
„adil, yaitu, „Adil merupakan gambaran tentang sesuatu yang berada di tengah-
tengah antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan „Adalah merupakan ungkapan tentang konsisten di atas jalan kebenaran dengan menjauhi sesuatu yang
diwaspadai agama.
85
Sedangkan al-zhulm, menurut al-Jurjani, adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Secara syariat, al-zhulm merupakan ungkapan
penyimpangan dari kebenaran ke arah kebatilan.
86
81
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 57.
82
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 27.
83
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 45.
84
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Mannân, hlm. 944.
85
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta rîfât Jeddah: al-Haramain, tt., hlm. 147.
86
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta rîfât, hlm. 144
197
Penyebutan beriman kepada Allah setelah amr ma rûf nahy munkar, menurut Muhammad Abduh, adalah mengandung hikmah, yaitu adapun rahasia
mengapa amr dan nahy didahulukan penyebutannya sebelum iman itu adalah karena amr dan nahy itu merupakan sesuatu yang terpuji dalam tradisi seluruh
manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir. Mereka semua memandang orang yang melakukannya sebagai terhormat. Tatkala pembicaraan berada dalam
konteks keunggulan umat Islam di atas seluruh umat yang lain, baik mukmin maupun kafir, didahulukanlah deskripsi sesuatu yang disepakati kebaikannya di
kalangan kaum mukmin dan kafir. Juga ada rahasia lain yakni bahwa amr ma rûf nahy munkar
itu merupakan perisai dan benteng keimanan.
87
Dalam penjelasan Muhammad Abduh di atas, terkandung fungsi menegakkan ma rûf dan menjebol perkara munkar sebagai upaya membentengi
dan memelihara keimanan umat terbaik. Jika tidak ada amr ma rûf nahy munkar, maka akan terjadi robohnya tatanan keumatan. Dengan demikian, transformasi
dan institusionalisasi syariat Islam merupakan esensi dan fungsi amar ma rûf nahy munkar
yang wajib dilakukan oleh umat Muslim sesuai kemampuan masing- masing individu dan status serta perannya dalam struktur keumatan, baik dengan
bahasa lisan, bahasa perbuatan, dan gerakan komunal, dengan mengacu pada prinsip metode hikmah dan mau izhah hasanah. Pelaku amr ma rûf hendaknya
menguasai pengetahuan syariat Islam yang akan ditegakkannya, memeiliki keterampilan dan kemampuan metodologis dan teknis menegakkan ma rûf dan
menjebol yang munkar, memiliki niat yang ikhlas, dan memiliki kepribadian uswah hasanah
.
88
1. Amr Ma rûf Prinsip-prinsip menegakkan ma rûf dalam memperbaiki perpecahan dan
permusuhan yang disebabkan oleh penyakit pemahaman dan mental taklid,
87
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 63-64
88
Kajian lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abd Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da wah al-Islâmiyah
, hlm. 48-56. Imam Ghazali memandang amr ma rûf nahy munkar sebagai bagian dari pokok agama, yang prosesnya melibatkan unsur pelaku, materi, metode, dan obyek. Ia
menyebutnya dengan ihtisâb perjuangan memperoleh ridha Allah. Lebih lanjut lihat karyanya Al- Mursyid al-Amîn ilâ Mau izhah al-Mu minîn
Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt., hlm. 114-
119.
198
Muhammad Abduh berpesan agar memperhatikan sikap dan perilaku: 1 toleransi atas perbedaan pendapat; 2 tidak saling mengafirkan di antara penganut paham
mazhab yang berbeda sepanjang perbedaan itu masih menerima dan tidak menolak kitab Allah SWT.; 3 tidak mengingkari dan masih menghormati
kerasulan Muhammad SAW.; 4 menghindari polemik yang tidak etis dalam diskusi dan pembahasan masalah baik secara lisan maupun tulisan; dan 5
menyadari dan menjaga agar perbedaan pendapat pemahaman keagamaan tidak membuat perpecahan dan permusuhan dengan mengembalikan segala persoalan
hukum kepada sumbernya yang autentik, melalui fungsi dan peran uli al-amr.
89
Sikap dan perilaku dalam menyikapi perbedaan pendapat yang diajukan oleh Muhammad Muhammad Abduh tersebut termasuk kajian etika berbeda
pendapat dalam Islam. Mengenai etika ini, menurut Thaha Jabir Fayyad al-Alwani bahwa perbedaan pendapat bagian dari tradisi akademik ilmuwan muslim.
90
Amr ma rûf sebagai upaya mewujudkan kesatuan umat, kesatuan
keorganisasian umat, dan kesatuan kepemimpinan umat dalam keragaman dicapai melalui gerakan merealisasikan sasaran dan aspek-aspek syariat Islam. Sasaran
syariat Islam berupa pemeliharaan aqidah dan ibadah, penjaminan keselamatan jiwa, pembinaan dan pemeliharaan kesehatan dan kecerdasan akal, pembinaan
generasi muda, pembinaan keadilan sosial dengan pemerataan kesejahteraan sosial. Sasaran-sasaran syariat Islam ini pencapaiannya melalui aplikasi aspek-
aspek aqidah, ibadah, akhlak, keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan, ekonomi,
pendidikan, seni-budaya, kesehatan
bio-psiko-sosio-spiritual, keterampilan dan keamanan. Sasaran dan aspek-aspek syariat Islam ini merupakan
esensi ma rûf yang menjadi acuan sistem nilai dan norma khayr ummah.
91
89
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 25.
9090
Lihat Thaha Jabir Fayyad al Alwany, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, hlm. 133.
91
Kajian lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 365-370, Yusuf Qaradawi, Anatomi Masyarakat Islam
, hlm. 5-344, dan Runben Levy, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 56-100, Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi
Islam , terj. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila Bandung:
Mizan, 1999, dan Muhammad Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al- Islâm lî al-Mujtama
, oleh Shodiq Noor Rohmat Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
199
Khayr ummah dibangun melalui penerapan asas-asas wahdah al-ummah
sebagai al-ma rûf, yaitu: tauhid Allah, ukhuwah Islamiyah, musâwâh
persamaan, musyâwarah, ta âwun gotong-royong, takâful ijtimâ i solidaritas sosial, jihâd perjuangan, ijtihâd kreasi dan inovasi, „amal shâlih karya yang
bernilai guna dan berhasil guna, musâbaqah fî al-khayrât berlomba-lomba dalam kebaikan, tasâmuh toleransi, dan istiqâmah keberlangsungan melalui
disiplin.
92
2. Nahy al-Munkar Prinsip-prinsip amr ma rûf,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, direalisasikan sejalan dan secara simultan dengan merealisasikan prinsip-prinsip
nahy munkar . Sesuatu disebut munkar, tidak lain sejumlah larangan syariat Islam
yang penentuannya melibatkan dan mengakui pertimbangan akal sehat manusia. Beberapa macam kemunkaran yang diamati Muhammad Abduh pada zamnnya,
antara lain, menurutnya bahwa, induk kemungkaran yang merusak tatanan sosial meliputi kebohongan, pengkhianatan, iri-dengki, dan penipuan.
93
Dari empat macam kemunkaran induk itu, menurut Muhammad Abduh, akan muncul berbagai macam kemunkaran yang lain sebagai penyakit
masyarakat, seperti perzinahan prostitusi, meminum minuman yang memabukkan khamar, fasâd merusak tatanan lingkungan hidup, dan pada
gilirannya, kemunkaran itu menjadikan manusia tidak lagi menghiraukan kewajiban beragama, tidak lagi merasakan nilai luhur kemanusiaan, tidak lagi
menjunjung tinggi sopan santun kemanusiaan dan tidak ada bedanya dengan perilaku kehewanan.
92
Kajian lebih lanjut, lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 130, Yusuf Qaradawi, Konsep Islam Solusi Utama Bagi Umat
, terj. Al-Hill al-Islâmi Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, hlm. 28-177, Abu Yazid, Islam Akomodatif
Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal Yogyakarta: LKis, 2004, hlm. 42-69,
dan Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih ed. Idris Thaha Bandung: Mizan, 2000. Semua kandungan buku ini, dari perspektif dakwah, merupakan pemikiran strategis
kontemporer bagi pembangunan khayr ummah yang proses aplikasinya sebagai proses dakwah ummah.
93
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 36.
200
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh bahwa, tidak beragama, tidak memiliki rasa malu dan rikuh, tidak beradab, nyaris tak ada bedanya antara
kelompok manusia dengan kerumunan kambing atau lembu.
94
Muhammad Abduh beralasan bahwa, nahy munkar bukan fardhu kifâyah seperti salat jenazah, tetapi wajib „ain individual dan sekaligus komunal
kifâyah. Secara individual, siapapun yang menyaksikan kemunkaran berkewajiban untuk mencegah dan mengubahnya. Dalam hal ini, Muhammad
Abduh menegaskan bahwa, manakala orang melihat kemunkaran, ia berkewajiban untuk mencegahnya dan tidak boleh menunggu orang lain, karena bisa jadi ia
memiliki persepsi lain tentang kemunkaran yang disaksikannya.
95
Kemudian menurut Muhammad Abduh, nahy munkar dapat dilakukan dengan tiga macam cara, sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu sabda Nabi
Muhammad SAW. yang artinya, siapa saja yang melihat kemunkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa dengan tangan, hendaklah
mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu dengan lisan, dengan hatinya. Hanya saja, itu merupakan tingkat keimanan paling lemah.
96
Muhammad Abduh mengakui bahwa, terdapat perbedaan mengenai siapa yang berkompeten untuk melaksanakan kewajiban nahy munkar dan taghyîr
munkar . Perdapat pertama meyakini bahwa wajib bagi umarâ pemerintah,
pemimpin, pendapat kedua setiap individu menurut kemampuannya, berdasarkan tiga macam pilihan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits nabi di atas. Media
nahy dan taghyîr munkar dapat menggunakan bahasa lisan dan perbuatan.
Dalam pada itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip amr ma rûf dan nahy munkar
, yaitu bagi mereka penganjur ma rûf dan pencegah munkar hendaknya mereka menyeru dengan cara hikmah dan mau izhah hasanah.
94
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 30.
95
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 36.
96
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 34. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim,
dan empat pemilik kitab al-Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasa i, dan Ibn Majah. Hadits ini termasuk shahih. Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Jâmi al-Shaghîr fî Ahâdîts al-
Basyîr al-Nadzîr Bandung: PT. Al-Ma arif, tt., hlm. 171.
201
Kiranya dakwah tidak membuat orang-orang tidak lari dari Islam atau membuat mereka tersakiti.
97
Selain itu, Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hendaknya dibedakan antara nahy mencegah dengan taghyîr mengubah sebagaimana ia tegaskan
bahwa, sesungguhnya mencegah sesuatu hanya bisa dilakukan sebelum sesuatu itu
dilakukan. Jika sudah dilakukan, ia bukan mencegah melainkan menghilangkan suatu kejadian atau mewujudkan sesuatu yang sudah terwujud.
Maka, jika anda melihat seseorang memperdaya orang gemuk, misalnya, wajiblah anda mengubahnya dan mencegahnya dengan perbuatan jika anda mampu.
Kekuasaan dan kemampuan di sini dipersyaratkan oleh nash. Jika anda tidak mampu melakukan hal itu, wajiblah anda mengubah dengan lisan. Hal ini tidak
berlaku khusus untuk mencegah penipuan dan mengingatkannya, melainkan termasuk pula di dalamnya mengangkat persoalan tersebut kepada pemerintah
atau pemimpin yang bisa mencegahnya dengan kekuasaan di atas kekuasaan anda.
98
Sudah menjadi bagian dari kenyataan kehidupan bermasyarakat selalu ada yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin ini memiliki otoritas
sebagai salah satu fungsi dari kepemimpinannya, sehingga ia dapat mempengaruhi perilaku anggota kelompok yang dipimpinnya. Dâ i dalam hal ini dapat berfungsi
sebagai pemimpin. Ketika berfungsi sebagai pemimpin maka dia akan memperoleh kepengikutan dari anggota masyarakat yang dipimpinnya, yang
ditentukan oleh adanya beberapa faktor, misalnya adanya dorongan mengikuti pemimpin sebagai sesuatu yang diharuskan, adanya sifat yang menjadi daya tarik
yang dimiliki pemimpin sehingga anggota menjadi kagum dan tertarik untuk mengikutinya, dan adanya kemampuan pada pemimpin itu sendiri untuk
menggunakan teknik kepemimpinanannya. Ketika pemimpin menjalankan tugas nahy munkar
dan taghyîr munkar akan lebih besar peluang untuk berhasil apabila ia memiliki faktor kepengikutan tersebut.
97
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 31-32.
98
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 34. Macam pendapat mengenai metode nahy munkar ini,
selanjutnya lihat Uways Wafa al-Arunjani, Manhaj al-Yaqîn „alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn Jedah: al-Haramayn, tt., hlm. 156-163.
202
Dari sudut
pandang komunikasi,
pertimbangan-pertimbangan kepengikutan terhadap pemimpin ditentukan dengan lima faktor alasan, yaitu:
Pertama, kepengikutan karena naluri, hal ini terjadi disebabkan oleh
dorongan untuk menaruh kepercayaan kepada seseorang, sehingga siap bersedia untuk melakukan tindakan tertentu yang dikehendaki orang yang memperoleh
kepercayaan itu. Orang yang menerima kepercayaan tersebut diakui sebagai pemimpin karena dianggap mampu melindungi kepentingan atau mewujudkan
aspirasi orang yang menaruh kepercayaan tadi; Kedua,
kepengikutan karena tradisi yang disebabkan oleh kebiasaan turun menurun. Kepengikutan jenis ini terdapat di tengah-tengah masyarakat, mereka
mengikuti pemimpin dengan tidak melakukan penilaian-penilaian kualitas kebijakan yang dijalankan oleh pemimpin;
Ketiga, kepengikutan karena rasio, yakni kepemimpinan yang ditandai
dengan berbagai ciri ilmu pengetahuan, sebagaimana umumnya yang dimiliki oleh setiap ilmuwan. Dalam aplikasinya bermanfaat untuk memecahkan berbagai
persoalan yang komplek, dan kepemimpinan juga didukung dan ditunjang oleh lembaga, sehingga ia sebagai pemimpin memperoleh pengakuan sosial secara
formal; Keempat,
kepengikutan karena agama dan budi pekerti, yakni para pengikut mengikuti pemimpin berdasarkan agama yang sewaktu-waktu bersifat
fanatik dan memandang bahwa mengikuti pemimpin sebagai pelaksanaan agama, yang berarti pula sebagai pelaksanaan ibadah. Dalam suasana interaksi antara
pemimpin dan
pengikutnya di
tengah-tengah masyarakat yang
mempertimbangkan agama dan budi pekerti pemimpin akan berhasil menjalankan kepemimpinannya apabila memenuhi beberapa hal berikut: 1 apabila mutu
keputusan yang diambil oleh pemimpin dipandang penting dan mendapat perhatian; 2 penerimaan para bawahan menyadari bahwa keputusan yang
diambil itu adalah penting; 3 para bawahan cenderung menolak keputusan yang diambil apabila mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilannya; dan 4
para pengikut dapat dipercayai untuk memberikan perhatian pada tercapainya tujuan yang menggambarkan mengakomodir kepentingan bersama.
203
Kelima, kepengikutan karena peraturan dan hukum, yaitu yang merupakan
tindakan bahwa pengikut diatur hak dan kewajibannya dalam aturan dan hukum tersebut, sehingga mereka merasa terikat untuk mengikuti pemimpin.
Faktor-faktor kepengikutan tersebut dalam prakteknya dapat saja terakumulasi atau faktor yang satu mempengaruhi faktor-faktor lainnya, serta
sangat mungkin pada satu pribadi pengikut terdapat dua atau lebih afktor kepengikutannya. Kendati demikian, faktor-faktor tersebut merupakan hal yang
ikut menentukan jenis dan keberhasilan pemimpin.
99
Di antara persyaratan bagi pelaku nahy munkar di dalam penegasan Muhammad Abduh di atas, selain aspek kekuasaan dan kemampuan, juga
termasuk aspek penguasaan ilmu dan keadilan. Sejalan dengan Muhammad Abduh di atas, mengenai persyaratan kuasa
dan mampu, Abd al-Fatah mengajukan pendapat tentang syarat bagi pelaku amr ma rûf nahy munkar
dengan mengutip pendapat Sofyan al-Tsauri, yaitu: bahwasanya orang tidak bisa memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran
kecuali ia memiliki tiga hal, yaitu: 1 bersikap lemah lembut dalam hal memerintahkan dan mencegah; 2 bersikap adil dalam hal memerintahkan dan
mencegah; dan 3 berilmu mengenai apa yang ia perintahkan dan apa yang ia cegah.
100
Selain taghyîr munkar melalui bahasa lisan, juga terdapat cara lain, yaitu cara taghyîr munkar dengan qalb, menurut Muhammad Abduh yaitu, taghyîr
dengan hati adalah dalam bentuk marah atas pelaku dan tidak meridhai perbuatannya.
101
Muhammad Abduh percaya bahwa, banyak cara dan media untuk melakukan nahy munkar selain yang telah dikemukakannya, menurutnya bahwa,
99
Lihat, Wahjosumijo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Balai Aksara, 1985, hlm. 132-135.
100
Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da wah al-Islâmiyah, hlm. 54. Mengenai karakteristik dâ i di medan dakwah ummah dalam menunaikan nahy munkar, lebih
lanjut lihat Said bin Ali bin Wakf al-Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan Dâ I di Medan Dakwah, terj. Muqawamât al-Dâ iyah al-Nâjih
, oleh Muzadi Hasbullah Solo: Pustaka Arofah, 2001.
101
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 34.
204
terdapat banyak cara dan berbilang media bagi nahy munkar. Bagi setiap tempat ada pembicaraan yang tepat seuai peruntukannya.
102
Muhammad Abduh lebih lanjut menegaskan bahwa, metode nahy munkar selain tiga macam metode yang telah dikemukakan, adalah jihâd fî sabîl al-Lâh
berjuang di dalan Allah melalui pengorbanan harta benda dan jiwa raga. Termasuk bagian dari esensi jihad ini adalah al-qitâl perang untuk membentengi
diri dan mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam dari serangan dan gangguan manusia yang memusuhi dan menghalangi jayanya dakwah Islam. Jika jalan
damai tidak disepakati dan mereka mengobarkan dan memulai memerangi umat Islam, maka al-qitâl sebagai suatu kewajiban komunal dan masal umat Islam
direalisasikan.
103
Tujuan utama diperintahkannya al-qitâl perang di jalan Allah adalah untuk meninggikan Kalimah Allah, menegakkan agama Allah, dan mewujudkan
keberlangsungan dakwah. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, perang di jalan Allah dilakukan dengan prinsip, yaitu: 1
merupakan perang demi meninggikan Kalimah Allah, pengamanan agama-Nya, dan penyebaran dakwah-Nya; 2 membela pasukan Allah agar hak mereka tidak
tersisihkan dan tidak terhalangi untuk mengurus urusannya; 3 perang di jalan Allah bersifat lebih umum daripada perang demi agama karena perang di jalan
Allah mencakup perang mempertahankan agama dan memelihara dakwahnya; dan 4 merupakan upaya mempertahankan diri dari serbuan manakala seorang
serakah menyerbu negeri kita dan menguras potensi-potensi tanah kita, atau musuh yang tiran hendak menghinakan kita dan mengancam kemerdekaan kita,
meski hal itu bukan untuk membahayakan agama kita.
104
Hal tersebut di atas bersifat mutlak, seolah-olah ia merupakan perintah bagi kita untuk menyandang sifat berani dan berpenampilan penuh kekuatan dan
harga diri, agar hak-hak kita terpelihara dan kehormatan kita terjaga. Kita tidak boleh tercerabut dari agama kita, tidak tergusur dari dunia kita, melainkan kita
102
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 35.
103
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 61-64. Pendapat Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran atas QS. Ali Imran: 111, ayat ini bagian dari ketentuan perang di jalan Allah.
104
Al-Manâr , jld. II, hlm. 461.
205
tetap dalam keadaan mulia dalam hal agama dan dunia, meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tidakkah anda melihat bahwa orang-orang yang Allah
pertunjukkan kepada kita, keadaan mereka sebagai pelajaran, kita mengingat sunnah-Nya berkenaan dengan kematian dan kehidupan mereka. Allah tidak
menyebut bahwa mereka telah terbunuh dan membunuh demi agama. Maka, perang untuk menjaga hakikat sama dengan perang demi memelihara kebenaran.
Semuanya merupakan jihad di jalan Allah.
105
Dalam paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, termuat prinsip- prinsip al-qitâl dalam menegakkan dan memelihara kebenaran guna memeproleh
keselamatan dan kebahagiaan di dunia kini dan di akhirat kelak. Ketentuan startegis dan ketentuan operasional mengenai al-qitâl menjadi kajian fiqh Islam
dan banyak dikaji walaupun tidak secara langsung dikaitkan sebagai bagian dari metode nahy munkar dalam kerangka dakwah ummah. Yusuf Musa sependapat
dengan pandangan Muhammad Abduh mengenai jihad dan qitâl dalam kaitannya dengan dakwah Islam ini.
106
Sebab, jihad dan qitâl dalam dakwah merupakan bagian dari sunah Rasul Allah, Rasul telah memberikan contoh dalam memimpin
qitâl pada zamannya.
Qitâl perang dalam upaya membentengi kebebasan dan mewujudkan
keberlangsungan dakwah, mengacu pada prinsip-prinsip keadilan, perang hanya dibolehkan apabila mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1 sebagai
pembelaan diri dari kezaliman musuh; 2 perang untuk mengokohkan sendi-sendi perdamaian; 3 perang dilakukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan; 4 perang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi; 5 perang dilakukan bukan untuk kepentingan golongan; dan 6 perang dilakukan bukan
untuk mengejar keuntungan materil.
107
105
Al-Manâr , jld. II, hlm. 461. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Baqarah: 243-244. Bandingkan dengan kajian al-Jurjani, al-Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr,tt, hlm. 329-350.
106
Selanjutnya lihat Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah, oleh Ahmad Daudi Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 102-105.
107
Lihat Mahmûd Syît Khathab, al-Rasûl al-Qâid, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989, hlm. 473- 482.
206
D. Kaderisasi Da’i Profesional
Term takwîn al-du ât tarbiyah al-du at ini digunakan sebagai realisasi dari perintah kewajiban dakwah yang sementara ini kurang mendapat perhatian ilmuan
muslim, yaitu kalimah dan
yang memberikan petunjuk sebagai amar takwîn
perintah pembentukan kader dâ i, yaitu tenaga terpelajar, terdidik, terlatih, dan terampil melaksanakan tugas dakwah. Dalam tatanan khayr ummah,
dâ i profesional ini oleh Muhammad Abduh disebut sebagai khawâsh al-ummah
individu terpilih dengan tugas-tugas sebagai dâ i.
108
Oleh karena itu, kaderisasi dâ i profesional dapat dipahami sebagai upaya menyiapkan calon-calon dâ i yang memiliki keahlian teoretis dan praktis hal-
ihwal dakwah Islamiah sebagai komponen umat yang memiliki persyaratan profesionalisme kedakwahan melalui proses takwîn al-du ât yang berintikan
proses ta lîm transmisi ilmu, tadrîs pembelajaran intensif, tafaqquh pendalaman paham, tazwîd pembekalan keahlian, dan tadbîr pemberian
keterampilan manajerial. Khawâsh al-ummah
sebagai du ât yang dimajukan Muhammad Abduh, sejalan dengan pendapat Shaqr, menurutnya, bahwa, apa yang kami maksud
sebagai du ât tiada lain adalah mereka yang kepentingan dakwahnya menguasai kehidupannya atau menjadi pusat pekerjaan mereka.
109
Term takwîn al-du ât untuk menyebut „pendidikan keahlian dakwah digunakan antara lain oleh Abd al-badi Shaqr, Ahmad Ahmad Ghalwusy, dan Ali
bin Shalih al-Mursyid.
110
Muhammad Abduh menyadari betapa pentingnya menyiapkan kader-kader dâ i
profesional dalam menghadapi persoalan kehidupan umat yang semakin rumit pada zamannya. Sebab, menurut pengamatan Muhammad Abduh dan
108
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, 36, 37 dan 44. Selain kalimah dalam QS. Ali
Imran: 104 dan dalam QS. Ali Imran: 110, juga kalimah
dalam QS. Ali Imran: 79, ayat 79 ini mengenai ketentuan talim.
109
Abd al-badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs Kairo: Maktabah Wahbah, 1976, hlm. 108.
110
Lihat Ahmad Ahmad Ghalwusy, al-Da wah al-Islâmiyah Kairo: Dâr al-Kitab al-Mishri, 1987, hlm. 434. Selanjutnya disebut Ghalwusy, dan Ali bin Shalih al-Mursyid, Mustalzamât al-
Da wah fî al-„Ashr al-Hâdhir Damanhur: Maktabah Layinah, 1989, hlm. 93. Selanjutnya disebut
al-Mursyid.
207
sekaligus sebagai kritiknya adanya orientasi para mahasiswa sudah mengabaikan nilai-nilai kemaslahatan jiwa nafs dan perjuangan memajukan Islam. Dalam hal
ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, Kita telah menyaksikan dan akan terus menyaksikan di negeri kita bahwa para mahasiswa yang tengah mengkaji
berbagai ilmu dan seni seraya mengabaikan pendidikan jiwa tidak melakukan apa- apa selain memperbudak orang lain. Sebagaimana berlangsung di kota Astanah
dan Kairo, dan daerah lainnya, anda melihat orang bersenang-senang mengumbar syahwat, kesenangan, dan kemewahan. Inilah apa yang dilakukan oleh setiap
tingkat pemerintahan negeri ini. Mereka menguras kekayaan rakyat dengan menarik korupsi, pungli, makanan ilegal. Dan setiap hal yang mereka utamakan
dari syahwat mereka tiada lain kecuali apa yang mereka belanjakan itu memperbesar bagian pihak-pihak lain.
111
Berikut diuraikan secara singkat pemikiran Muhammad Abduh mengenai urgensi, dasar dan tujuan, materi dan metode kaderisasi dâ i profesional takwîn
al-du ât .
1. Urgensi Kaderisasi
Muhammad Abduh percaya bahwa keberlangsungan pelaksanaan dakwah akan terjadi jika ada kader dâ i yang meneruskan dâ i sebelumnya, dan begitu juga
seterusnya. Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, QS. Al-Taubah 9:122 memberikan tuntunan pentingnya melakukan kaderisasi lewat proses tafaquh fî
al-dîn .
112
Dalam kandungan ayat QS. Al-Taubah 9:122, menurut Muhammad Abduh, merupakan pembagian tugas dalam struktur khayr ummah. Tidak semua
menekuni tugas yang sama, sebab tenaga ahli yang mengurusi kehidupan beragama umat perlu dilakukan takwîn secara profesional pula, untuk
mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam. Menurut Muhammad Abduh,
111
Al-Manâr , jld. I, hlm. 6.
112
Terjemah dari QS. Al-Taubah: 122 adalah sebagai berikut: ”Tidaklah semestinya kaum beriman pergi seluruhnya ke medan perang. Mengapa tidak ada sekelompok di antara yang
mendalami agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya manakala mereka pulang ke tengah mereka, kiranya mereka bersikap waspada”
208
kalimah liyundzirû dan yahdzarûn merupakan bagian dari aktivitas dakwah Islam.
113
Sepaham dengan pandangan Muhammad Abduh, pandangan yang dikemukakan oleh al-Sa di ketika menafsirkan QS. Al-Taubah: 122, menurutnya
bahwa, hendaknya mereka mempelajari ilmu syariat, mengetahui pesan-pesannya, dan memahami rahasia-rahasianya. Hendaknya mereka mengajari orang-orang
lain. Hendaknya mereka memberi peringatan kepada masyarakatnya ketika mereka sudah kembali ke kampungnya. Dalam hal ini tampak keutamaan ilmu,
khususnya ilmu fiqih dalam agama. Ia merupakan hal terpenting. Siapa pun yang mempelajari ilmu wajiblah menyebarkan dan menyiarkannya kepada hamba-
hamba Allah dan menansihatinya, karena penyebaran ilmu dari ilmuan merupakan bukti keberkahan dan pahala baginya. Adapun ilmuan yang memanfaatkan
ilmunya hanya untuk dirinya sendiri, tidak berdakwah di jalan Allah dengan hikmah dan mau izhah hasanah, tidak mengajari orang-orang bodoh ihwal apa
yang mereka belum mengetahuinya, lalu manfaat apa yang ia berikan kepada kaum muslim? Nilai apa yang ia raih dari ilmunya? Paling-paling puncaknya ia
meninggal, maka matilah ilmu dan buahnya. Jelas ini merupakan kerugian yang tak terkira bagi orang yang dianugrahi ilmu dan pemahaman oleh Allah.
114
Dalam ayat ini juga terdapat dalil, arahan, dan peringatan halus bagi suatu pesan penting, yakni bahwa kaum muslim mestilah mempersiapkan orang-orang
yang menunaikan pekerjaan publik untuk berbagai kemaslahatan umum. Kelompok ini mencurahkan waktunya untuk mengurus kepentingan publik.
Mereka bekerja keras untuk itu. Mereka tidak berpaling pada urusan lain. Ini agar kemaslahatan umum dapat terlaksana dan kepentingannya terpenuhi. Kepentingan
publik ini mesti menjadi arah pemikiran bersama dan menjadi satu tujuan bagi segenap lapisan masyarakat. Tujuan itu adalah tegaknya kemaslahatan agama dan
dunia mereka, meski jalan yang ditempuhnya beragam dan mata pencahariannya
113
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Pendapat yang sama, ddikemukkan antara lain oleh Muhammad Sulayman “abd Allah al-„Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, Riyadh: Dâr al-Nafâis,2004
hlm. 206.
114
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al- Mannân
Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001, hlm. 355.
209
berbeda-beda. Pekerjaan itu boleh berbeda-beda, namun tujuannya tetap satu. Ini termasuk nilai publik yang bermanfaat bagi seluruh urusan.
115
Mengenai urgensi kaderisasi dâ i profesional ini, al-Mursyid juga berpendapat yang sama dengan Muhammad Abduh dan al-Sa di, sebagaimana ia
menegaskan bahwa, sudah tampak jelas pada zaman modern ini muncul sejumlah orang yang dalam kaitan dakwah mengklaim diri sebagai dâ i. Padahal, mereka
menyesatkan dan tidak berjasa. Sebabnya terpulang pada keterbatasan mereka dalam pembentukan dirinya sebagai dâ i yang menyeru kepada agama Allah.
Sesungguhnya pada zaman modern ini, Islam lebih banyak membutuhkan tenaga dâ i
yang memahami fiqh yang tak bisa ditawar-tawar dan mereka menyebarkannya di kalangan manusia secara jelas dan lengkap. Mereka
bersungguh-sungguh berkhidmat kepadanya dan menjadikannya sebagai kesibukan satu-satunya bagi mereka. Mereka juga menjadikannya sebagai ajang
mendekatkan diri kepada Allah Tuhan semesta alam.
116
Senada dengan pendapat al-Mursyid mengenai pentingnya kaderisasi da i, Abdullah Syahatah mengajukan pendapatnya yaitu: 1 hendaknya kader-kader
dâ i memahami dan mampu menggunakan media massa modern untuk
menyebarluaskan pesan-pesan dakwah; 2 mendirikan pusat-pusat dakwah Islamiyah untuk menyelenggarakan kegiatan pengkaderan dâ i; 3 perlu
dilakukan perluasan dalam pengiriman tenaga dâ i terlatih ke seluruh penjuru dunia yang dipersiapkan secara baik; 4 mengupayakan dana dan sarana yang
diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan dakwah oleh kader dâ i; dan 5 menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dalam pengamalan ajaran Islam
yang penggeraknya dilakukan oleh para kader dâ i terdidik.
117
Mengenai urgensi kaderisasi dâ i tersebut, juga didukung oleh pendapat Fathi Yakan, menurutnya kaderisasi dâ i sebagai proses pembekalan kemampuan
dan keterampilan bagi mereka sebelum terjun ke medan dakwah. Oleh karena itu menurutnya agar proses kaderisasi dipandang sebagai upaya penanaman hal-hal
115
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al- Mannân
, hlm. 356.
116
Al-Mursyid, Mustalzamât al-Da wah fî al-„Ashr al-Hâdhir, hlm. 94.
117
Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 17.
210
seperti: 1 pemahaman agama Islam yang mendalam dengan berbagai macam ilmu yang diperlukannya; 2 kemampuan memberikan perilaku percontohan; 3
mental ketabahan dalam menjalankan tugas; 4 solidaritas sosial; 5 kedermawanan kepada orang lain; 6 perilaku sopan santun dalam pergaulan; 7
kemampuan berpenampilan baik dan menarik dalam berbicara; 8 kemampuan pengelolaan pendayagunaan materi; dan 9 mental melayani orang lain.
118
Kehadiran da i yang memiliki penguasaan ilmu agama Islam , keterampilan dalam melakukan pembaruan, perubahan dan perbaikan kehidupan
beragama umat sangat dibutuhkan oleh umat Islam dalam mencari solusi problem kehidupan yang dihadapi dimanapun mereka berada.
2. Dasar Hukum dan Tujuan
Muhammad Abduh meyakini bahwa perintah dakwah yang secara manthûq sesuatu yang ditunjuk ungkapan ditujukan kepada ummah dan khayr ummah
berarti upaya menjadi dan menyiapkan individu komponen umat menjadi dâ i yang profesional adalah bagian dari kewajiban pelaksanaan dakwah itu sendiri.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan argumennya tentang dasar hukum dan tujuan takwîn al-du ât, yaitu, bila ternyata setiap individu umat Islam
berkewajiban menyeru kepada kebaikan dan amr ma rûf nahy munkar sesuai dengan implikasi segi pertama dalam penafsiran ayat tersebut, tentu mereka juga
berkewajiban, sesuai dengan implikasi segi yang kedua ini, untuk memilih sekelompok orang di antara mereka yang melaksanakan pekerjaan ini, agar
kelompok ini bekerja secara sempurna dan mampu menunaikannya. Jika kelompok ini tidak ada secara alamiah sebagaimana pada zaman sahabat, tentu
upaya membentuk kelompok khusus ini menjadi suatu fardhu „ain yang setiap orang mukallaf wajib berpartisipasi di dalamnya bersama yang lain. Tidak ada
kesulitan bagi kita mengenai hal ini. Mudah saja bagi penduduk suatu kampung
118
Lihat Fathi Yakan, al-Isti âb Fi al-Hayâh al-Da wah wa al-Dâ iyah Beirut: Muasasah al-Risâlah, 1983, hlm. 16-62 dan bandingkan dengan konsep guru profesional dalam karya Moh.
Uzer Usman Menjadi Guru Profesional, Bandung: Rosda Karya, 2009, hlm. 14-16.
211
untuk berkumpul dan memilih sekelompok orang yang dipandang ahli untuk mengerjakan tugas dakwah ini.
119
Muhammad Rasyid Ridha mengomentari dan memperkuat argumentasi gurunya tersebut di atas. Menurut Ridha, bahwa, mengenai ungkapan ustadz
[Muhammad Abduh] „dan mereka memilih satu orang atau lebih dari kalangan mereka, sepertinya apa yang ia maksud dengan satu orang adalah hendaknya
yang satu orang ini bergabung dengan orang-orang terpilih di desa-desa dan negeri lain, agar melakukan perjalanan di muka bumi guna berdakwah menyeru
kepada Islam di luar kampungnya, atau untuk menegakkan sebagian kefarduan, syiar Islam, atau mengenyahkan sebagian kemunkaran dari negeri lain dari negeri
Islam. Jika tidak dipahami demikian, bukankah yang menjadi kewajiban penduduk desa adalah hendaknya mereka memilih sekelompok orang yang bisa
disebut sebagai ummah dan mereka menunaikan tugas-tugas yang bisa dikerjakan oleh setingkat ummah dengan persatuan dan kekuatan, agar mereka berwenang
menegakkan kefarduan tersebut di sana, sebagaimana hal itu menjadi kewajiban setiap masyarakat Islam, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sebab, arti
ummah itu termasuk juga di dalamnya ikatan dan kesatuan yang membuat para
anggotanya, meski tugas dan pekerjaannya berbeda-beda hingga dalam menegakkan kefarduan ini tatkala pekerjaan mereka dalam hal ini bermacam-
macam, seolah-olah satu orang. Inilah tampaknya yang coba dikemukakan oleh ustadz [Muhammad Abduh] dalam konteks ini.
120
Ungkapan Muhammad Abduh, yang diperkuat oleh Ridha di atas, menunjukkan bahwa hukum takwîn al-du ât itu wajib „ain dengan dasar nash Al-
Qurân mengenai kewajiban dakwah. Kewajiban ini dalam pengertian bahwa masing-masing individu yang mukallaf sebagai komponen dakwah berhak dan
berkewajiban menyelenggarakan takwîn al-du ât dan menjadi du ât dâ i
119
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 37-38. Seseorang sebagai ahli jika ia memiliki kemampuan
akademik dan melakukan tugasnya berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. IAIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di Indonesia memiliki peran besar dalam mengubah citra
keberadaannya sebagai lembaga dakwah menjadi lembaga akademik, termasuk akademik bidang dakwah. Lebih lanjut, lihat Fuad Jabali dan Jamhari peny., IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia
Jakarta: Logos, 2002.
120
Al-Manâr , jld. IV, hlm. 38.